"Maafkan aku, Sayang. Sebelum kau pergi, mampirlah ke tempatku. Aku membuatkanmu sarapan, paling tidak kau tidak pergi dengan perut kosong," kata Rose saat bertemu dengan Anya di lantai bawah. Anya baru saja selesai membersihkan flat itu, sebelum meninggalkannya. Ia tak mau merepotkan Rose dengan barang-barang bertumpuk dan tak terpakai miliknya.
"Ah, kau baik sekali, Nyonya Rose. Tapi aku tak mau merepotkanmu-"
"Anya, kau sama sekali tak merepotkan aku. Terimalah jamuanku, anggap saja itu sebagai acara perpisahan kita. Dan sebagai simbol permintaan maafku, karena telah memintamu pergi secepat ini dari flatmu." Wajah wanita tua itu tampak menyesal, akan tetapi Anya lebih dari mengerti kenapa Rose melakukan ini.
Anya hanya tersenyum kecut, berusaha menutupi rasa sedihnya. Rose memandang iba, lalu memeluk gadis itu erat-erat.
"Kalau kau mau, kau boleh mampir kapan saja ke tempatku. Jangan pernah melupakan aku, sering-seringlah berkunjung. Lagipula setiap hari kau akan lewat sini kan? Karena tempat ini tak jauh dari restoran Janice."
Anya menggelengkan kepalanya.
"Aku sudah tidak bekerja lagi disana," sahut Anya.
"Apa? Kau keluar dari pekerjaan itu?" tanya Rose dengan wajah kaget.
"Janice memecatku," lenguh Anya.
"Benarkah itu? Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Rose.
"Aku akan pulang ke rumah ayahku, aku harap dia mau menerimaku disana."
Rose kembali memeluk gadis itu, wanita tua itu mengeluarkan air dari matanya. Kemudian menyeluk kantong daster yang ia pakai, memberikan beberapa puluh dolar untuk Anya.
"Maafkan aku, Sayang. Ini, aku hanya bisa memberikan ini. Semoga uang ini bisa berguna untukmu. Memang tidak banyak, sekali lagi maafkan aku. Jika bukan karena-"
"Sudahlah, Nyonya Rose. Aku tidak apa-apa, aku juga mengerti keadaanmu. Lagipula selama ini kau sudah sangat baik kepadaku, terima kasih," ujar Anya.
Anya pun akhirnya segera meninggalkan tempat tersebut, tanpa mampir ke tempat Rose. Ia tidak bisa berlama-lama di sini, karena ia harus segera berangkat ke sebuah kota kecil yang terletak di kawasan East End, dekat dengan pelabuhan London. Tempat dimana ayahnya tinggal seorang diri.
Anya akan menaiki komuter untuk menuju kesana. Untuk menghemat uang, dia terpaksa berjalan kaki dengan susah payah menyeret kopernya yang berisi pakaian dan beberapa buku novel favoritnya. Anya bukanlah gadis yang mempunyai banyak pakaian, dia adalah gadis sederhana yang hanya memiliki satu atau dua lembar baju yang terlihat bagus. Selebihnya ia hanya punya pakaian yang ibunya belikan tujuh tahun lalu. Bentuk fisiknya tak banyak berubah, ia bahkan masih bisa memakai kaos yang ia beli saat masih di junior school.
Anya bertubuh mungil dan terlihat lebih muda dari usianya. Dia kini berusia dua puluh tiga tahun, namun ia tampak seperti anak remaja berusia lima atau enam belas tahun. Sehingga ia seringkali dijadikan objek cat calling oleh para remaja berandal yang biasanya sering berkumpul di sekitar restorannya.
Cuaca pagi ini cukup terik, membuat Anya meringis menahan sengatan panas matahari. Dengan langkah cepat ia menuruni tangga yang menghubungkan jalanan dan stasiun komuter.
Kereta akan datang sebentar lagi, jadi ia sudah bersiap-siap untuk naik. Berharap kereta tak terlalu penuh sehingga ia bisa mendapatkan tempat duduk.
"Hai," sapa seseorang memanggilnya. Anya menoleh dan mendapati seorang pemuda tinggi berdiri di sampingnya sambil mengunyah permen karet. Karena tak merasa kenal, Anya pun mengacuhkannya.
Ia kemudian kembali mengarahkan pandangan ke depan.
"Hai, aku Noah," katanya sambil mengulurkan tangan. Anya pun kembali menoleh dan menatap pemuda tampan, yang saat ia lihat untuk kedua kalinya, Anya merasa tak asing. Tapi ia lupa dimana pernah melihatnya.
"Apa aku mengenalmu?" tanya Anya.
dengan dahi mengerut.
"Tidak, kau tidak mengenalku. Oleh sebab itu aku meminta perkenalan ini," katanya dengan santai.
Sesaat Anya tak membalas uluran tangan pemuda itu. Ia sibuk memindai wajah tampan yang berada di balik Hoodie hitam tersebut.
"Kau bekerja di restoran fast food yang ada di distrik enam kan?" tanyanya lagi, tanpa mengatakan apapun—Anya terlanjur terhipnotis olehnya, ia pun mengangguk pelan.
"M—maksudku dulu, tapi sekarang aku sudah tidak bekerja lagi disana," jelas Anya.
Pemuda itu melirik ke arah koper yang sedari tadi tergeletak di samping Anya.
"Kau mau kemana?" tanya Noah.
"Aku mau ke East End, kalau kau?"
"Aku tidak kemana-mana, hanya ingin naik komuter ini saja lalu kembali lagi kesini," jelasnya.
"Maksudmu kau tidak punya tujuan?"
Pemuda itu menggelengkan kepalanya pelan.
"Tidak, aku hanya merasa bosan saja berada di kamarku terus menerus. Aku hanya ingin menghirup udara segar," katanya.
Mendengar jawaban konyol sang pemuda, Anya pun terbahak-bahak.
"Bukankah itu menyenangkan? Menghabiskan waktu di dalam kamar, tanpa perlu bekerja keras di jalanan seperti diriku." Anya mengatakan itu sembari menatap pemuda jangkung di depannya.
Pemuda beriris mata biru dan rambut pirang itu memandang Anya dengan wajah manis, senyum yang tersungging tunjukkan dua lesung pipi.
"Tidak, itu sama sekali tidak menyenangkan. Karena meskipun hanya berada di dalam kamar, banyak pekerjaan dari ayahku yang harus ku kerjakan."
"Oh, kukira kau pelajar, jadi kau sudah bekerja?"
"Ya, ini tahun terakhirku berada di kampus. Setelah kelulusan aku akan kembali ke kota asal untuk membantu pekerjaan ayahku."
"Wow, itu bagus. Pasti menyenangkan bekerja dengan ayah sendiri," tukas Anya.
"Entahlah," kata pemuda itu penuh keraguan. Selang beberapa detik kemudian, komuter yang mereka tunggu pada akhirnya tiba. Anya bergegas mengangkat koper yang terlihat terlalu besar untuk tubuhnya yang kecil dengan kesusahan.
"Biar kubawakan untukmu!" kata pemuda itu lalu mengangkat koper Anya secara suka rela.
"Jangan, jangan!" Anya merasa tak enak.
Pemuda yang sudah berjalan terlebih dahulu itu hentikan langkah dan menoleh, "aku memaksa."
Anya pada akhirnya tak bisa mengatakan apapun, hanya mengangguk pelan. Dan ikuti langkah Noah masuk ke dalam komuter.
Noah mencarikan tempat duduk untuk Anya.
"Duduklah," kata Noah.
"Bukankah itu tadi ada yang menduduki?" tanya Anya.
"Aku memintanya untuk berdiri," kata Noah dengan suara berbisik.
"Apa yang kau katakan pada lelaki itu?" tanya Anya dengan mata membelalak lebar.
Noah seperti menahan tawa dan tak segera menjawab. Biasanya mendapatkan tempat duduk di komuter akan sangat sulit terutama di jam-jam sibuk seperti ini.
"Noah, apa yang kau katakan pada lelaki gemuk itu?"
"Apa kau mengenalnya?" tanya Noah.
"Tidak, hanya saja dia terlihat menyebalkan. Jadi aku ragu kalau dia akan memberikan kursinya secara cuma-cuma."
"Duduklah dahulu, aku akan memberitahumu sesuatu," pinta Noah. Anya pun segera menuruti pemuda yang baru saja ia kenal beberapa menit ke belakang itu.
Gadis itupun memasang telinganya.
"Aku mengatakan pada pria itu kalau kau adalah istriku. 'Pak istriku sedang hamil muda, maukah kau berikan tempat duduk ini untuknya?'," kata Noah sambil menahan tawa.