Pesan dari Abah terus terngiang belakangan ini, aku harus berubah, aku harus lebih lembut menghadapi Bang Anwar. Semoga dengan begitu, Bang Anwar juga bisa berubah menjadi suami yang aku impikan.
"Mir, temanku datang. Buatkan kopi, ya?!" titah Bang Anwar ketika aku sedang memandikan si kembar.
Aku hanya mengangguk tanpa menyahutinya. Biasanya aku akan langsung menjawab bila Bang Anwar memberi perintah di saat aku sedang sibuk, dengan nada yang tidak enak didengar tentunya.
Bang Anwar kembali mendatangiku ketika aku masih merapikan anak-anak.
"Kopinya mana? Kok lama banget?!" cerocos Bang Anwar tanpa peduli kesibukanku yang jelas terlihat di depan matanya. Mulutku sudah gatal ingin menimpali namun seketika aku teringat kembali pesan abah.
"Sabar, Mir!" aku menenangkan diri, mengusap dadaku.
Setelah beres merapikan anak-anak, aku antarkan kopi yang dipesan Bang Anwar ke teras. Ada dua orang tamu di sana, aku hanya senyum sekenanya lalu kembali masuk.
Seperti itulah sekarang diriku, sekuat hati dan tenaga berusaha untuk menjadi istri yang baik, lemah lembut. Aku sudah berniat, aku harus berubah!
Malam ini, sengaja aku tunggu Bang Anwar di depan tv. Anak-anak seperti biasa, sudah tertidur lelap sejak maghrib tadi. Sengaja aku kirim pesan pada suamiku, menanyakan kapan ia pulang? Satu hal yang sudah sangat jarang aku lakukan semenjak memiliki si buah hati, kesibukanku mengurus mereka membuatku lupa akan hal-hal kecil seperti ini.
Ponselku bergetar, sebuah notifikasi pesan muncul di layarnya, gegas aku membacanya dan ternyata pesan balasan dari Bang Anwar.
[Aku masih narik]
[Belum tahu kapan pulang]
[Kenapa?]
Kenapa? Haruskah ada alasan dulu seorang istri menanyakan kepulangan suaminya? Tiba-tiba aku merasa kesal usai membaca pesan dari suamiku itu.
"Astaghfirullah! Jangan begitu, Mir. Kan kamu memang udah jarang tanya-tanya, mungkin dia jadi merasa heran," aku mencoba berpikir positif.
"Ah, akunya saja yang terlalu perasa!" Kembali aku berusaha tenang.
Tak ada gunanya marah-marah, toh sepertinya pesan Bang Anwar itu tidak terkesan kalau dia marah atau kesal. Biarlah, aku enggan membalasnya. Ku letakan kembali telpon genggam yang bentuknya sudah tidak karuan itu karena terlalu sering jadi ajang rebutan si kembar ketika main game atau menonton youtube.
Rasa kantuk tiba-tiba menyergap, berulang kali aku menguap dan kulihat jam dinding di atas tv. Pantas saja sudah jam sepuluh malam, biasanya aku sudah pulas dari satu jam yang lalu, aku memang mencoba menguatkan mata ini demi menunggu Bang Anwar pulang tapi sepertinya aku sudah tidak kuat lagi kalau harus menunggunya yang tidak jelas kapan pulangnya. Paling lambat memang biasanya dia pulang jam 12 malam, usai nongkrong dengan teman-temannya dulu tentunya karena biasanya jam 9 malam pun penumpang sudah sepi, maklum trayek atau rute angkutan suamiku terbilang jarak dekat jadi penumpang juga tidak terlalu banyak.
Baru saja aku mmematikan saklar lampu, hapeku menyala, ada pesan masuk lagi. 'Suamiku' tulisan yang tertera di layar ponsel. Aku pun membacanya.
[Ditanya malah gak bales]
[Tumben kamu tanya]
[Ada apa?]
[Jangan bilang kamu mau titip pesan makanan?]
[Gak ada, tarikan sepi]
Aku yang sudah berusaha tenang sejak tadi kembali tersulut emosi. Kata-kata kasar seperti biasa ingin aku lontarkan kembali. Rasanya sia-sia aku menunggunya, padahal niatku sejak awal ingin melayaninya ketika ia pulang, layaknya istri yang baik. Tapi lihat? Dia selalu membuat emosiku meledak, dia yang selalu menyebabkan aku tak bisa bersikap baik. Aku taruh asal ponselku, berlari ke kamar dan mengunci pintunya.
***
Pagi ini sebelum sibuk dengan pekerjaan rumah, aku sengaja sudah menyediakan cemilan untuk suamiku. Ada pisang dan juga singkong yang sudah aku goreng, tak lupa kopi Bang Anwar juga sudah tersaji di atas meja.
Semalam aku memang marah tapi setelah bangun tidur tadi, aku kembali berucap bahwa aku harus berubah, tidak akan mudah memang tapi aku harus terus berusaha. Terkadang segala sesuatu memang harus dipaksakan agar terbiasa.
Aku mendengar pintu kamar dibuka dan Bang Anwar keluar lalu masuk ke kamar mandi, tidak lupa dengan hape yang selalu ia bawa sehingga jangan tanya kapan ia keluar? Bisa satu jam ia betah di kamar mandi dengan ponselnya terkadang malah lebih. Ia akan cepat keluar kalau aku atau anak-anak berteriak karena kebelet ingin buang air juga.
"Wah, Ayla pintar ya makannya?! Habis nih!" aku cubit manja pipi putriku itu setelah selesai menyuapinya.
Selesai dengan Ayla, aku ke dapur untuk mencuci pakaian. Raka dan Rai belum bangun, memang biasanya lebih dulu adiknya bangun karena setiap aku bangun, Ayla juga turut bangun, selalu terasa jika tidak ada ibunya di sampingnya.
Benar saja, Bang Anwar baru keluar satu jam kemudian. Ia mengacuhkan makanan dan juga kopi yang sudah aku buat.
"Bang, ini ada cemilan! Kopi kamu juga udah aku buat," aku letakan semuanya di meja, di depan suamiku duduk.
Ia tak menyahut hanya memegang gelas kopi "Udah adem nih! Kamu sih, aturan bikin kalau aku udah bangun aja, kan gak enak kopi adem!"
"Ya Tuhan..." pekikku dalam hati.
Seharusnya dia bisa bicara baik-baik, tidak perlu dengan nada sinis seperti itu. Aku menghela napas dalam dan menghembuskannya perlahan, mencoba tetap tenang agar tidak ada balasan kata-kata pedas yang keluar dari mulutku ini.
"Biar aku ganti aja ya, Bang!" ucapku selembut mungkin.
"Dah, gak usah!" jawab Bang Anwar ketus.
"Tapi tetap diminum ya, Bang?! Sayang kan," balasku dengan intonasi lemah.
"Hem..." Bang Anwar menarik sudut bibirnya tanpa berkata.
Ayla yang sedang asik bermain tiba-tiba rewel meminta digendong. Aku turuti keinginannya sambil menyapu lantai. Baru saja aku mengangkat sapu, mendadak aku rasakan perutku melilit, aku mulas.
"Turun dulu ya sayang, Ibu ke kamar mandi dulu." aku melepaskan Ayla mendudukkan ia di dekat ayahnya.
Tangisan Ayla seketika pecah, ia menjerit tak mau lepas dariku, sedangkan aku sudah tidak tahan. Aku lirik Bang Anwar yang cuek saja dengan hapenya.
"Bang, tolong jaga Ayla sebentar ya, aku kebelet!" pintaku sambil meringis memegangi perut yang sakit.
Bang Anwar berdecak "Orang anaknya maunya juga sama kamu!"
"Tapi kan Abang bisa gendong Ayla sebentar, ajak dia keluar. Tolong Bang, aku udah gak tahan!" aku begitu memelas.
"Kamu nih! Ribet banget sih?!" bentak Bang Anwar dengan matanya yang membulat sempurna. Jelas ia marah padaku.
"Bang! Gue cuma minta tolong bentar, gue mules! Lagi lo juga kan cuma main hape doang?! Apa salahnya sih gendong anaknya sebentar, susah banget kalau disuruh pegang anaknya sendiri!" teriakku sambil menyerahkan Ayla ke pangkuannya.
Segera aku berlari ke kamar mandi, aku sudah tidak bisa menahannya. Gagal sudah aku jadi istri yang lemah lembut.
****