"Za, apa aku ganggu?!" tanyaku saat panggilan telpon terhubung.
"Gak kok, Mir! Ada apa?" tanya Reza di seberang telpon.
"Bisa ... Jemput aku?" Ragu-ragu aku bertanya.
"Jemput? Di mana?" Reza kembali bertanya, dari nada suaranya tampak ia terkejut.
"Aku shareloc ya?!" jawabku lalu mengakhiri panggilan telpon tersebut.
Setelah mengirim lokasiku sekarang berada, air mataku luruh membasahi pipi, aku sudah tak peduli lagi pandangan orang yang mungkin sekarang menatapku penuh tanda tanya di depan halte ini. Ayla ikut menangis, seolah turut merasakan kesedihanku, bahuku berguncang, aku menangis terisak. Sungguh hatiku sakit.
Sakit! saat pulang dari rumah Kak Nurul tadi, Bang Anwar langsung menamparku. Ada dua pria yang paling aku benci di dunia ini. Pertama, pria yang ringan tangan dan yang kedua pria yang berselingkuh. Bagiku tidak ada maaf bagi mereka yang melakukannya. Lima tahun aku berjuang mempertahankan rumah tangga dengan segala sikap dan sifat buruknya, aku masih sabar. Namun kali ini setelah ia menamparku, kesabaranku sudah habis. Aku tidak bisa menerima perlakuannya, bahkan abah dan ummiku sendiri tidak pernah sampai memukulku dan betapa sakitnya kini saat suamiku sendiri melakukannya.
Sungguh, aku tak terima perbuatan Bang Anwar dan tanpa banyak bicara, aku langsung pergi lagi meninggalkan rumah lalu saat berada di jalan, aku baru tersadar bahwa aku tak punya tujuan. Ke mana aku harus pergi? Kembali ke rumah Kak Nurul tidak mungkin, aku tak mau menambah bebannya. Bisa saja pulang ke rumah orang tuaku tapi tidak sekarang, bisa semakin runyam masalahnya. Aku perlu tempat untuk menenangkan diri dan saat itulah hanya Reza yang aku ingat.
"Mbak, maaf! Ada yang bisa saya bantu?" Seorang ibu mendekatiku dan bertanya, mungkin ia mengira aku membutuhkan pertolongan.
Dengan Ayla yang masih menangis di gendonganku, aku usap air mata ini namun aku tak sanggup berkata-kata lagi, aku hanya bisa menggeleng.
"Jangan takut, Mbak! Saya gak berniat jahat, saya cuma —"
"Makasih tapi saya benar-benar gak perlu apapun." Aku coba menjawabnya karena ibu ini terkesan semakin memaksa menawarkan bantuannya.
Terlihat ibu ini begitu cemas, terlebih Ayla juga tak kunjung berhenti menangis, ia berusaha semakin mendekatiku sampai seseorang menghadangnya.
"Maaf, Bu! Dia sama saya!" ucap Reza yang datang di saat yang tepat.
Ibu itu semakin kebingungan, ia menatapku dan Reza bergantian. Gegas aku menarik tangan Reza.
"Ayo, Za! Kita pergi dari sini!"
***
Di dalam mobil Reza, aku berusaha keras menghentikannya laju air mataku dan beruntung Ayla sudah lebih dulu tenang, mungkin hawa panas di luar juga menjadi penyebab ia begitu rewel, setelah masuk ke dalam mobil, ia pun berhenti menangis.
Reza masih menatapku yang duduk di sebelahnya dengan tatapan bingung. Aku bisa melihat raut wajahnya yang bertanya-tanya, kemudian ia pun mengasongkan tissu kepadaku.
"Kamu pasti belum makan? Kita makan dulu ya?!" ajak Reza bersiap menarik rem tangan.
"Gak usah, aku gak laper!" jawabku dengan suara sengau karena hidungku tersumbat setelah menangis.
"Nanti kamu sakit, mau gak laper, kamu harus tetep makan. Aku tahu kalau sedang ada masalah pasti kita gak ada nafsu makan tapi jangan menyiksa diri. Kasian juga anak kamu," celoteh Reza.
Aku seperti kembali menjadi sosok gadis yang pernah menjadi pacarnya, yang sering ia omeli ketika sedang datang sifat keras kepalanya. Untuk hal-hal seperti itu, Reza terbilang bawel memang. Tanpa menunggu jawaban dariku lagi, Reza segera tancap gas, entah ia akan membawaku ke mana.
Sekitar sepuluh menit kami berkendara, Reza memarkirkan mobilnya di depan sebuah restoran. Restoran Sunda dengan konsep lesehan, ia memang paling paham kesukaanku, rupanya ia masih mengingatnya.
"Kalau tempat begini kan enak, kamu bisa tidurin Ayla. Tuh dia udah pules," ucap Reza seraya menunjuk dengan dagunya.
"Tapi Za —! Aku beneran gak laper," tuturku, bukan ku gengsi tapi kenyataannya aku memang tidak berselera.
"Kamu gak kasian sama Ayla?" Bola matanya memutar, melihat ke arah Ayla yang sudah ku geletakan dengan bantal kecil yang tersedia.
"Anak kamu masih Asi kan? Itu artinya kamu perlu makan demi dia," ucapan Reza menyadarkanku, bagaimana dia bisa pengertian seperti ini?
Aku hanya bisa menarik kedua sudut bibir, memaksa tersenyum karena aku tak mampu berkata-kata lagi. Reza membalas dengan senyum yang lebar, membuat lesung pipinya terlihat semakin jelas.
"Hei! Kenapa dia terlihat begitu tampan sekarang?" pujiku dalam hati.
Sudah satu jam kami habiskan waktu di restoran ini, menceritakan apa yang sebenarnya terjadi agar tak membuat Reza penasaran dan bingung. Aku hanya mengatakan bahwa aku sedang ada masalah dengan suamiku dan perlu tempat untuk menenangkan diri.
"Maaf ya, Za! Aku cuma kepikiran kamu yang bisa bantu aku tapi kalau kamu —"
"Terus sekarang kamu mau ke mana?"
"Aku belum tahu," lirihku seraya menggeleng lemah.
***
"Maaf ya, rumahnya berantakan. Maklum udah lama gak ditempatin," ucap Reza seraya tangannya mulai sibuk membersihkan debu dan kotoran.
"Memang ini rumah siapa?" tanyaku bingung.
Setelah selesai makan tadi, Reza hanya memastikan kalau aku memang sedang butuh tempat dan ternyata ia membawaku ke sini tanpa ia menjelaskan apapun sebelumnya.
"Oh ... Ini rumah tante sama om ku. Mereka pindah ke Jogja," terang Reza.
Keluarga besar Reza memang tinggal di sana, itulah alasan kenapa dulu dia juga memilih untuk kuliah di Jogja, tinggal bersama pakde dan budenya.
"Sayang banget rumahnya, kenapa gak dijual atau dikontrakin aja?" tanyaku seraya melihat sekeliling.
"Tadinya mau dijual tapi sayang katanya buat nanti anaknya kalau udah besar. Pernah dikasih tanda kalau rumah ini dikontrakan tapi kayaknya copot atau hilang jadi gak ada orang yang tahu," kekeh Reza.
"Kamu gak pa-pa kan tinggal di sini?" tanya Reza menatapku serius.
Sebenarnya agak menakutkan juga tinggal di rumah yang sudah lama kosong tapi mengingat aku tak punya tujuan lain, aku tak punya pilihan. Lagi pula setelah melihat lingkungan sekitar, rumah ini diapit oleh rumah-rumah yang lainnya, depan dan belakangnya pun ada rumah lagi karena ini merupakan rumah komplek yang dindingnya memang saling menempel antar tetangga, rasa takutku pun hilang.
"Iya, gak pa-pa kok, Za! Tapi apa boleh aku tinggal sementara di sini?" tanyaku memastikan.
"Memang siapa yang larang? Rumah ini memang udah tanggung jawabku. Biasanya dua minggu atau sebulan sekali aku datang untuk membersihkan tapi belakangan ini aku sibuk, jadi sudah dua bulan ini gak terawat," papar Reza.
"Oh ya, di lemari masih ada baju tanteku kok. Untuk sementara kamu bisa pakai," lanjut Reza.
Rupanya dia sadar kalau aku memang tidak membawa apapun. Aku merasa sedikit malu, terkesan aku begitu merepotkannya. Aku pun segera berjalan ke kamar yang tadi sempat Reza tunjuk, melihat isi lemari yang katanya masih berisi baju-baju.
Benar saja, tumpukan baju masih berada di tempatnya, ada beberapa juga yang digantung, sepertinya aku memang tidak akan kerepotan mencari baju ganti. Kembali aku menutup pintu lemari itu dan ternyata Reza sudah berada di sampingku.
"Ah ya ampun! Kamu bikin kaget aja," seruku mendekap dada, jantungku serasa mencelos.
Perlahan Reza mendekatiku, reflek kakiku melangkah mundur, wajah Reza pun semakin mendekat, membuat aku bisa merasakan setiap hembusan napasnya.
"Za! Apa yang kamu lakukan?"
****