Aku kembali kepada sifat dan kebiasaanku, aku merasa percuma merubah diri tapi suamiku sendiri tidak pernah ada perubahan dan justru semakin kasar. Aku pasrah, mungkin sudah menjadi takdir rumah tanggaku seperti ini. Aku semakin merasa tersiksa setiap harinya, aku muak dengan kehidupan pernikahanku dan aku semakin membenci Bang Anwar, suamiku.
"Assalamu'alaikum!" Terdengar ucapan salam di depan pintu.
Bergegas aku keluar, menemui tamu yang datang. Ternyata Kak Nurul, aku langsung menyambutnya senang, sudah lama memang kami tidak bertemu. Raka dan Rai turut menyambut uwanya penuh suka cita.
"Udah lama Kakak gak ke sini, sibuk ya?!" tanyaku memulai pembicaraan.
"Iya lumayan, soalnya aku mau ambil cuti juga minggu ini," jawab Kak Nurul, aku bisa membaca raut wajahnya yang tampak tak bergairah.
"Cuti? Pasti mau jalan-jalan ya?!" seruku penuh antusias agar kakakku ini terbawa semangat.
"Iya," jawabnya singkat.
"Kakak nih aneh, masa orang mau jalan-jalan malah lemes begitu?!" Aku menyenggol lengannya, sekedar menggoda.
Kak Nurul menghela napas berat, aku dapat merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
"Kalau Kakak mau cerita, bilang aja Kak!" ucapku sambil mendekati kakakku satu-satunya ini.
"Iya, rasanya aku perlu teman curhat, Mir!" lirih Kak Nurul memegang tanganku.
Aku hanya tersenyum seraya mengangguk. Aku siap menjadi pendengar yang baik, menampung segala keresahan Kak Nurul.
"Kakak lagi ada masalah apa?" tanyaku mengusap lembut bahunya.
"Mas Danar, Mir!" lirih Kak Nurul tertunduk.
"Kenapa sama Mas Danar, dia kasar sama Kakak?" Seketika aku emosi.
"Bukan, bukan itu. Alhamdulillah Mas Danar gak pernah kasar sama aku cuma ----" Kak Nurul menghentikan ucapannya, seperti ada sesuatu yang memberatkannya.
Kenapa juga aku harus berprasangka buruk pada Mas Danar? Jelas-jelas dia lelaki yang sangat baik, mungkin karena aku terbiasa dengan sikap Bang Anwar jadi seakan aku menyamaratakan semua lelaki.
"Terus kenapa, Kak?" Aku menjadi penasaran.
"Akhir-akhir ini Mas Danar sering membahas tentang anak," jawab Kak Nurul semakin membenamkan wajahnya, hingga tidak bisa aku lihat lagi raut wajahnya yang tertutup kerudung itu.
Usia pernikahan Kak Nurul memang sudah memasuki tahun ke dua bulan ini dan sampai sekarang mereka belum juga dikaruniai sang buah hati, pantas saja kalau Kak Nurul serisau ini.
"Aku merasa belum menjadi wanita seutuhnya." Kak Nurul mengangkat wajahnya, aku lihat bulir bening di pelupuk matanya.
Segera aku tarik ia ke dalam pelukanku, ternyata setiap rumah tangga itu ada ujiannya masing-masing. Bahkan rumah tangga Kak Nurul yang sangat sempurna di mataku juga tetap memiliki masalah.
"Kakak jangan bilang seperti itu, coba ikhtiar aja Kak, sekarang kan banyak program-program hamil." Aku mencoba memberi saran.
"Justru Kakak jangan terlalu banyak pikiran nanti malah stress, itu juga bisa jadi penyebab sulit hamil," lanjutku menjelaskan.
"Memang seperti itu ya, Mir?" tanya Kak Nurul sambil mengusap air matanya yang sempat menetes.
"Iya, Kak! Aku sempat baca katanya stress itu bisa menghambat masa subur." Aku memang tak asal bicara, hobiku memang membaca, dari artikel yang pernah aku baca, stress berakibat pada kesuburan seseorang.
"Pantas aja Mas Danar ajak aku berlibur, biar rileks dan bisa cepat dapat momongan katanya," ucap Kak Nurul menatapku serius.
"Nah, iya gitu Kak! Itu ide yang bagus," seruku sambil mengacungkan jempol.
"Awalnya aku pikir Mas Danar terlalu berlebihan, memang harus segitunya ya untuk punya anak. Tapi syukurlah aku dapat penjelasan dari kamu, makasih ya!" ucap Kak Nurul yang terlihat lebih ceria, ia memelukku sebentar.
"Sama-sama, Kak! Makanya kalau ada apa-apa tuh curhat sama ademu ini," tunjukku pada diri sendiri.
Kak Nurul hanya tersenyum, aku pun turut senang jika bisa memberi saran dan mendengarkan keluh kesahnya karena selama ini lebih banyak aku yang curhat padanya, sedangkan Kak Nurul tipe orang yang tertutup sejak kecil, ia lebih sering memendam perasaannya sendiri.
"Eh, kalian mau berlibur ke mana?" Mendadak aku ingin tahu.
"InsyaAllah ke Bali," jawab Kak Nurul tersipu.
"Wah ... Mantap!" Aku turut senang tapi kenapa ada rasa iri yang tiba-tiba merasuk?
***
Setelah mendengar kabar kalau Kak Nurul akan pergi jalan-jalan, membuatku sedikit iri. Rasanya aku juga perlu sesekali refreshing untuk menyegarkan pikiranku dan aku pun utarakan semua itu pada Bang Anwar.
"Kayak kebanyakan duit kamu!" ucap Bang Anwar, yang sebenarnya sudah ku duga reaksinya ini.
"Kita kan udah lama banget gak jalan, Bang! Inget gak terakhir kapan? Waktu Raka sama Rai umur setahun, itu juga cuma ke kebun binatang." Aku mencoba mengingatkan suamiku, aku akan memaksa kali ini.
"Jangan aneh-aneh deh, Mir! Kalau aku punya uang juga pasti udah aku ajak kalian pergi," ketus Bang Anwar.
"Ya gak usah jauh, Bang! Renang gitu yang deket. Segitu juga anak-anak udah seneng." Aku masih bersikeras.
"Kita mau renang ya, Bu?!" Tiba-tiba Raka menimpali.
"Tuh kan, gara-gara kamu tuh! Jadi anak-anak nanti ikut rewel, maksa jalan!" ucap Bang Anwar setengah berteriak.
"Aku juga mau renang, Bu!" rengek Rai.
"Kan ... Kerjaan kamu tuh selalu bikin pusing!" bentak Bang Anwar lalu mengambil kunci angkot dan seperti biasa ia akan pergi dari rumah bila ada masalah.
"Bu, ayo kita renang..." Raka dan Rai semakin merengek.
Aku hanya diam tak bisa menjawab. Kesalku pada Bang Anwar semakin menumpuk membentuk bukitan di hatiku ini. Lama-lama mungkin bisa menjadi gunung dan tinggal menunggu waktu untuk meletus.
Terdengar suara ponselku berdering, aku pun segera mengambilnya dan melihat panggilan telpon yang ternyata dari ummi.
"Assalamu'alaikum, Ummi!" Aku mengucap salam begitu ku terima panggilan telpon itu.
"Waalaikumsalam," jawab ummi dari seberang telpon.
Kemudian terdengar suara tangis Raka dan Rai yang terus meminta untuk berenang, sehingga aku menjadi kesulitan mendengar suara ummi.
"Duh, maaf Umi! Anak-anak lagi rewel."
"Memang kenapa? Mereka minta apa?"
"Biasa, pengen jalan-jalan. Minta berenang."
"Bawalah, Mir! Kasian juga mereka."
"Tapi Bang Anwar gak bisa, Ummi!"
"Besok ajak mereka ke sini, biar Ummi yang bawa."
Setelah itu telpon pun ditutup. Aku beritahukan hal itu pada Raka dan Rai, seketika mereka bersorak.
***
Pagi-pagi sekali setelah Bang Anwar jalan, aku membawa anak-anakku untuk berenang bersama neneknya. Kali ini aku tak pamit pada Bang Anwar, semalam pun aku mengacuhkan dia. Suamiku itu juga tak membahas lagi tentang keinginanku, dia memang selalu masa bodo. Tak mau peduli apa yang diinginkan, apa yang sedang diperlukan istrinya. Itu yang membuatku semakin merasa rumah tanggaku tak berarti.
Untuk apa aku menjalani hidup dengan pria yang tidak pernah peduli padaku, ada baiknya aku hidup sendiri saja kalau kenyataannya begini, seringkali pikiran seperti itu muncul.
"Ayo, Bu! Itu mobilnya datang," tunjuk Rai pada taksi online yang sudah ku pesan.
Kami pun naik ke mobil, menuju rumah orang tuaku. Sesampainya di sana rupanya ummi dan abah sudah siap, mereka langsung mengajak kami segera jalan. Tapi Ayla mulai rewel, sejak kemarin ia memang sedang batuk pilek.
"Loh, Ayla sakit ya?!" tanya ummi yang terlihat begitu khawatir.
"Iya, Ummi! Lagi batuk pilek," jawabku jujur.
"Ya udah kamu gak usah ikut. Kasian kalau Ayla dibawa jalan, apa lagi kita mau renang, main air!" sambung ummi yang melarang.
"Benar kata Ummi, kamu di rumah aja!" pinta abah, setuju pada pendapat ummi.
Aku pun tak bisa membantah, lebih baik aku ikuti saja perintah kedua orang tuaku. Walaupun sebenarnya aku sedikit kecewa, keinginanku untuk jalan-jalan, gagal sudah. Mereka pun pergi, meninggalkan aku berduaan dengan Ayla.
Ketika di rumah orang tuaku seperti sekarang ini, aku seperti berada di surga. Aku menyebutnya perbaikan gizi karena di sini banyak sekali makanan dan aku bisa ngemil sepuasnya. Ayla sudah tidur dari setengah jam yang lalu, mulutku tidak berhenti mengunyah sambil asik berselancar di dunia maya hingga sebuah pesan masuk.
[Mir, apa kabar?]
[Ada waktu gak? Ketemuan yuk!]
Pesan itu dari Ayu, aku berpikir sesaat setelah membacanya. Sebaiknya aku pergi saja, kan aku memang sedang ingin jalan agar pikiranku lebih fresh.
[Aku baik, Yu!]
[Mau ketemu di mana?]
Setelah pesan itu ku kirim, Ayu langsung mengirimku sebuah lokasi, sepertinya sebuah caffe. Ayla yang masih tertidur pun aku gendong paksa dan aku segera pergi.
Dua puluh menit perjalananku ke sana dengan ojek online, aku hanya berdua dengan Ayla jadi tak perlu naik mobil, agar jauh lebih hemat juga.
Aku masuk ke sebuah caffe yang selama ini hanya aku lihat di akun media sosial teman-temanku. Mereka memang sering upload tengah asik nongkrong di caffe-caffe unik seperti ini. Suasananya memang sangat nyaman ketika aku masuk, banyak sudut yang bisa menjadi latar bagus ketika berfoto, pantas mereka senang nongkrong di tempat seperti ini.
"Mirna!" seru Ayu melambaikan tangan.
Gegas aku menuju ke mejanya, sudah ada beberapa orang di sana. Wajah-wajah mereka sepertinya tidak asing tapi aku lupa nama mereka.
"Mirna! Bengong aja, ingat gak sama teman sebangku?" tanya perempuan dengan jilbab biru di depanku.
"Ya ampun, Dewi!" Aku setengah berteriak setelah mengingatnya, kami pun berpelukan.
"Ini Adi kan? Ketua kelas?!" tunjukku pada lelaki yang bertubuh tambun.
"Akhirnya ada yang ngenalin," kekeh Adi dan aku pun bersalaman dengannya.
Ada Sulis dan Wawan juga di sana. Mereka semua teman SMA-ku dulu. Kami pun mulai asik mengobrol, mengingat masa sekolah dulu.
"Eh, ada yang komen nih di foto kita yang baru aku upload," kata Ayu memberitahu.
"Siapa?" tanya Sulis.
"Re-za, namanya Reza," ucap Ayu mendekatkan layar ponselnya.
"Reza siapa? Ada yang kenal?" Adi ikut bertanya.
Sementara aku juga tidak kepikiran siapa pun, seingatku memang tidak ada nama Reza di kelas kami dulu.
"Katanya dia kebetulan lagi di deket sini, mau ikut gabung boleh, gak?" Ayu membaca komen dari orang yang bernama Reza itu.
"Ya udah gak masalah, suruh ikut aja sini!" sahut Dewi.
Tak lama berselang, terdengar suara langkah kaki mendekati kami.
"Halo semua! Apa kabar?" Suara seorang pria terdengar.
Semua orang menoleh, termasuk aku. Seorang pria berdiri sambil tersenyum, menampakkan kedua lesung pipinya yang dalam.
"Reza? Reza Mahendra? Kita bertemu lagi," pekikku dalam hati.
****