Chereads / Hate you! My husband / Chapter 11 - Perubahan sikap Kak Nurul

Chapter 11 - Perubahan sikap Kak Nurul

Siang ini aku diminta jemput Kak Nurul di bandara. Pulang dari Bali suaminya ada meeting mendadak hingga harus segera masuk kantor. Sementara Kak Nurul tak mau kalau harus pulang sendirian, abah sedang ada urusan di luar kota hingga aku lah yang harus menjemputnya, si kembar aku titip di rumah ummi, hanya Ayla yang ku bawa.

"Kak Nurul!" Suaraku lantang memanggil namanya.

Kak Nurul yang sedang duduk di ruang tunggu celingukan mencari arah datangnya sumber suara yang memanggil namanya. Ia tersenyum kecut ketika kedua bola matanya melihatku yang berjalan ke arahnya.

"Udah nunggu lama ya, Kak?" tanyaku mengawali pembicaraan.

Ia tak langsung menjawab, menatap arlojinya "Sekitar setengah jam."

"Ah, bentar segitu sih!" candaku terkekeh.

Namun rupanya raut wajah Kak Nurul menunjukkan ketidaksenangan. Ia menarik sudut bibirnya.

"Ya maaf Kak, tadi aku harus bujuk si kembar dulu yang rewel minta ikut," paparku berharap Kak Nurul memaklumi.

"Gak pa-pa, seharusnya aku juga gak repotin kamu," Suara Kak Nurul terdengar lirih.

"Ya ampun Kak, siapa yang direpotin sih? Lagi, pulang honeymoon kok malah cemberut? Happy dong!" Aku menggodanya.

"Honeymoon? Honeymoon tuh buat yang baru nikah!" jawab Kak Nurul sedikit sewot.

Aku tak lekas menjawabnya, aku amati raut wajah Kak Nurul yang murung dan masam. Apa ini karena ia ditinggal sendiri oleh Mas Danar? Tidak biasanya ia berbicara sinis seperti itu kepadaku. Kak Nurul memang perempuan yang lemah lembut, aku tahu itu.

"Kamu tunggu apa lagi? Kok diem?!" Terdengar suara Kak Nurul yang sudah cukup jauh.

Gegas aku setengah berlari mengejarnya dengan Ayla yang berada di gendongan depan. Ah, ya! Sejak bertemu tadi Kak Nurul tak menyapa Ayla seperti biasa, aku semakin yakin kalau Kak Nurul sedang tak enak hati.

"Udah dapet drivernya?" tanya Kak Nurul melirik padaku yang sibuk menatap layar ponsel.

"Belum Kak, susah juga ternyata," balasku dengan mata yang tak lepas dari ponsel yang sedang ku genggam ini.

"Harusnya dari tadi kamu order jadi waktu kita keluar, mobilnya udah ada," ucap Kak Nurul sinis.

Nyaris aku menyahutinya, namun tiba-tiba ponselku bergetar, notif dari layanan taksi online muncul. Aku rapatkan kembali mulut yang tadi sempat terbuka karena ingin membalas ucapan Kak Nurul yang menyudutkanku.

"Udah dapet kok, Kak. Posisinya juga gak jauh.

***

Aku yang memang sibuk dalam pikiran tentang Kak Nurul tidak menyadari kalau supir taksi online itu ternyata Reza. Ia tersenyum menyambut kami ketika aku membuka pintu mobilnya.

"Hai Mir! Apa kabar?" tanyanya.

"Eh, Reza?! Aku gak ngeh kalau drivernya kamu," ucapku jujur.

"Cepet, Mir! Kamu malah asik ngobrol," ketus Kak Nurul.

"Astaghfirullah! Kak Nurul benar-benar sudah jadi orang yang berbeda setelah pulang dari Bali." Aku membatin.

Sepanjang perjalanan aku sibuk mengobrol dengan Reza, sengaja karena aku pun cukup kesal dengan sikap Kak Nurul yang tidak seperti biasanya. Ku lirik Kak Nurul sekilas, mukanya masih saja cemberut. Menurutku dia terlalu berlebihan kalau ditinggal sendiri saja di bandara dengan bersikap seperti ini.

"Jadi mau pulang ke rumah Abah dulu, Mir?" tanya Reza melirik ke arahku melalui kaca spion tengah.

"Iya, soalnya si kembar ada di sana," jawabku pasti.

Kak Nurul yang sedang bersandar seketika mencondongkan badannya, menatapku dengan serius.

"Loh, kok ke rumah Abah? Aku mau pulang Mir!" Tampak Kak Nurul marah.

"Bukannya —"

"Kamu tuh harusnya nanya dulu, jangan apa-apa ambil keputusan sendiri begini." Suara Kak Nurul meninggi.

"Kak! Kakak tuh sebenernya kenapa sih?" sentakku, aku heran dengan perubahan sikap kakakku ini.

Bisa aku lihat Kak Nurul yang menghela napas berat, ia sandarkan kembali tubuhnya, membuang pandangan keluar jendela. Ia tak mampu menjawab pertanyaanku. Aku pun tak peduli, aku sibuk membenarkan letak tidur Ayla. Sekilas aku melihat Reza yang menjadi canggung berada di tengah kakak adik yang sedang ribut, aku dapat merasakannya.

***

Mobil Reza menurunkan kami tepat di depan rumah orang tua kami. Kali ini aku sudah membayarnya melewat aplikasi jadi tidak ada alasan Reza menolak uang ongkos dariku.

"Mir! Kalau kamu perlu teman curhat, jangan sungkan ya?!" ucap Reza sebelum pergi, aku hanya membalasnya dengan senyuman.

Aku tahu Reza orang yang baik dan ramah sejak dulu, bahkan waktu kita berpacaran dulu, kerap bertengkar karena banyak teman-teman wanita yang mendekati karena sikapnya yang memang seperti tadi itu, terkadang membuat para wanita salah paham. Tapi status kita sekarang sudah berbeda, kita bukan lagi remaja seperti dulu jadi ku maklumi saja ucapannya sebagai basa-basi karena ia sempat melihat dan mendengar keributan di antara aku dan Kak Nurul.

Baru saja aku hendak masuk, aku lihat Kak Nurul yang menyeret kembali kopernya keluar. Aku enggan bertanya padanya, segera aku cek ke dalam, rupanya pintu terkunci, warung pun tutup. Sepertinya ummi pergi dengan Raka dan Rai, pasti mereka memaksa neneknya jalan, entah itu bermain di taman dekat rumah atau kadang meminta mandi bola di mall, kedua anakku itu seperti mendapat kesempatan ketika sedang berada di rumah neneknya karena dengan ibunya sudah dipastikan keinginan mereka ditunda bahkan tak jarang tidak dituruti.

Sebuah pesan masuk ketika aku baru saja hendak mengeluarkan ponsel, rupanya pesan dari ummi.

[Kunci ada di atas pintu]

[Ummi ajak anak-anak main di mall]

Benar saja dugaanku, pasti karena tadi si kembar rewel jadi ummi membujuk mereka dengan jalan-jalan ke mall.

Aku ambil kunci di atas pintu, membuka pintu dan menidurkan Ayla di kamar. Aku tak peduli kalau Kak Nurul pulang, biar saja. Biar dia menenangkan diri saja dulu.

"Maaf ya Mir, maafin Kakak!" ucap Kak Nurul menghambur memelukku yang baru saja menutup pintu kamar.

Bisa aku rasakan tubuhnya yang berguncang, ia mulai terisak. Segera aku belai kerudung warna biru langit yang sedang ia kenakan itu, dengan lembut aku tepuk-tepuk punggungnya.

"Duduk dulu yuk, Kak!" Aku mengajaknya duduk di kursi.

"Biar aku buatin minuman dulu ya?!" ucapku sambil berjalan ke dapur.

Sengaja aku meninggalkannya dulu, aku tahu Kak Nurul pasti malu menangis di depanku, biarlah dia meluapkan dulu segala kesedihannya.

Satu gelas teh hijau favorit Kak Nurul, aku sajikan. Sepertinya dia sudah mulai lebih tenang, mata dan hidungnya memerah karena tangisnya.

"Minum dulu Kak!" pintaku padanya.

Ia menurut, meneguk teh hijau hangat itu. Aku menunggunya untuk berbicara lebih dahulu, aku tidak mau ia merasa terpaksa bercerita kepadaku.

"Sepertinya keputusanku ke Bali itu salah, Mir!"

"Kita malah sering bertengkar di sana."

"Dan ... Aku rasa Mas Danar selingkuh!"

Semua ucapan Kak Nurul membuatku terbelalak. Benarkah?

****