Untunglah setelah diantar berobat oleh Reza, kondisi Ayla berangsur membaik. Demamnya langsung turun setelah minum obat, hanya tinggal hidungnya saja yang masih meler. Selama Ayla sakit, apa suamiku menanyakan kondisinya? Tidak! Aku memang sengaja tak memberitahu Bang Anwar kalau Ayla sakit, aku ingin mengetes kepekaannya sebagai seorang ayah, padahal setiap malam masih sering terdengar batuk Ayla yang cukup kencang tapi sepertinya Bang Anwar tutup kuping.
Justru Reza yang rajin menanyakan kondisi Ayla. Ia selalu menyempatkan untuk mengirim pesan, bertanya tentang perkembangan Ayla. Siapa sebenarnya yang menjadi suamiku? Kenapa orang lain yang lebih peduli pada putriku?
"Raka, tolong ambilin obat ade dong!" pintaku pada si sulung usai menyuapi Ayla.
"Memang siapa yang sakit?" tanya Bang Anwar yang duduk di sampingku.
Ku tatap sekilas, matanya masih fokus menatap layar ponselnya.
"Makanya lihat sini, Bang. Matanya dipake," ucapku sinis.
"Sekali-kali tuh perhatiin anaknya, lihat tuh hidungnya meler begitu," sambungku menunjuk hidung Ayla yang duduk di kursi makan di depan kami.
Bang Anwar tak bereaksi, ia hanya melihat Ayla sekejap sambil menyeka air yang keluar dari hidung Ayla dengan slabber yang menggantung di leher Ayla lalu kembali dengan ponsel kesayangannya itu. Ya, dia memang lebih sayang dan perhatian pada gadgetnya dibandingkan dengan anak-anaknya. Waktunya habis bersama ponselnya itu, bukan bermain dengan anaknya sendiri.
Selesai memberi obat pada Ayla, aku masih belum puas menyindir Bang Anwar, sengaja aku geser posisi dudukku mendekati dirinya.
"Memang Abang gak tahu kalau Ayla sakit?" tanyaku memancing.
"Ya gimana aku mau tahu kalau kamu gak bilang," jawabnya enteng.
"Ya ampun Bang, kenapa harus nunggu aku bilang dulu? Kan Abang bisa lihat sendiri, lagi pula tiap malam Ayla suka batuk kenceng, emang gak pernah denger?" Aku serang Bang Anwar dengan pertanyaanku.
"Aku sampe rumah tuh capek, tidur. Mana bisa aku denger suara batuk anak." Bang Anwar berkelit.
"Duh ... Bang! Jangan kebanyakan alesan deh!" pekikku mulai emosi.
"Alesan apa sih?" Suara Bang Anwar meninggi, seakan tak terima pernyataanku barusan.
"Bisa gak sih Abang lebih perhatian ke anak istri?"
"Jangan merembet ke mana-mana deh, Mir!"
"Kok merembet? Aku masih bahas masalah yang sama. Abang gak tahu kalau anak sakit karena selama ini Abang gak perhatian sama kita!" tukasku sambil berlalu pergi.
Tak ada usaha Bang Anwar membujuk diriku yang masih diliputi emosi ini. Aku selalu benci pada dirinya yang selalu merasa tak bersalah, selalu merasa apa yang dilakukannya bukan sebuah kesalahan. Dasar egois!
Sampai telponku berdering, rupanya Ummi dan Kak Nurul melakukan pangggilan video berbarengan. Mereka menanyakan kondisi Ayla, aku jelaskan kepada mereka bahwa Ayla sudah lebih baik lalu Ummi pun menanyakan kabar Kak Nurul yang sedang berada di Bali. Aku begitu takjub ketika disuguhi pemandangan dari layar ponsel, terlihat dari balkon kamar hotel Kak Nurul yang menghadap langsung ke pantai.
"Kapan aku bisa menikmati pemandangan seperti itu secara langsung?" gumamku dalam hati.
Beberapa menit kami bercengkrama dalam video call tersebut sampai aku pamit terlebih dahulu karena ada telpon lain masuk ke hapeku ini.
"Assalamualaikum, ada apa Wi?" tanyaku pada Dewi yang menelpon.
"Gak pa-pa, cuma mau tanya kabar anak kamu aja," jawab Dewi.
Seketika aku sengaja menekan tombol loudspeaker agar Bang Anwar mendengar percakapanku ini.
"Oh ... Ayla udah mendingan kok, Wi!" balasku sambil melirik ke arah Bang Anwar.
"Iya kemarin Ayu juga bilang begitu, aku cuma mau pastiin aja. Ya udah, semoga cepet sehat ya Ayla," ucap Dewi penuh perhatian.
"Aamiin. Makasih ya, Wi!" Panggilan telpon pun berakhir.
Aku mencoba memperhatikan raut wajah Bang Anwar, apa dia merasa tersindir? Bahkan teman-temanku saja peduli, sedangkan dia sebagai ayahnya? Ah, manusia seperti dia mana mungkin merasa begitu.
Hingga ponselku bergetar lagi, ternyata dari Reza. Entah apa yang ada dalam pikiranku, tiba-tiba tidak ada rasa takut sedikit pun untuk mengangkat telpon dari lelaki lain padahal ada suamiku. Masa bodo, lagi pula aku tidak ada hubungan apapun sekarang dengan Reza.
"Kenapa, Za?" Sengaja ku lantangkan suaraku agar terdengar oleh Bang Anwar.
"Ayla gimana? Udah gak demam kan?" tanyanya di seberang telpon.
"Alhamdulillah udah enggak kok, cuma tinggal flunya aja," jawabku sambil tertawa ringan.
"Syukurlah kalau gitu. Kalau ada apa-apa bilang aja, Mir. Mana tahu aku bisa bantu," ucap Reza.
"Iya, Za. Tapi Ayla bener udah baikan kok. Makasih banyak ya Reza!" jawabku penuh penekanan menyebut namanya, agar Bang Anwar tahu kalau yang menelponku kali ini adalah seorang pria.
Aku menutup telpon dan bisa aku lihat Bang Anwar yang menghentikan sejenak kesibukannya pada ponselnya itu, ia seakan sedang berpikir. Mungkinkah dia merasa tersindir sekarang?
***
Entah sudah jam berapa sekarang, aku sudah terlelap sejak beberapa jam yang lalu namun kini seperti terdengar suara seseorang membangunkanku.
"Mir, bangun dulu Mir!" Suara yang terdengar sembari menggerakkan kakiku.
Aku mencoba bangun dan mendudukkan diri di atas kasur, terlihat di depanku kini Bang Anwar yang tersenyum menatapku.
"Abang bawain martabak kesukaan kamu, martabak coklat keju!" ucapnya sambil mengangkat plastik yang ia bawa.
Wangi harum martabak memenuhi kamar, menusuk indra penciumanku. Perutku mendadak berbunyi, lidahku pun turut berkecap. Sudah berapa lama aku tidak makan cemilan favoritku itu? Entahlah! Sepertinya cukup lama hingga rasanya aku sudah tidak tahan untuk segera melahapnya.
Tapi tunggu! Aku kan masih marah sama Bang Anwar dan sepertinya aku bisa menebak keinginannya yang tiba-tiba pulang membawa makanan kesukaanku ini.
"Jangan terima, Mirna! Jangan mudah terkena bujuk rayunya." Batinku berkata.
"Ambil, Mir! Kapan lagi kamu makan itu? Udah lama juga kan kamu gak makan?" Aku seolah merasakan perang batin.
Setelah diam sejenak, akhirnya aku ambil martabak itu dengan kasar sambil keluar dari kamar. Rupanya perutku tidak bisa diajak berkompromi dan akhirnya aku luluh dengan sekotak martabak ini.
"Maafin aku ya, Mir!" Bang Anwar memeluk tubuhku dari belakang.
Aku paham sekarang, kalau sudah begini pasti karena dia ada maunya. Lima tahun menjalani rumah tangga dengannya membuat aku hapal betul tabiat Bang Anwar yang satu ini. Bila ia sedang ingin memenuhi nafsu biologisnya ia akan berubah baik bak malaikat namun setelah terpenuhi segala keinginannya itu, muncul kembali sifat aslinya dan bodohnya aku selalu saja mau mengikuti segala tindakannya itu karena atas dasar kewajiban sebagai seorang istri walaupun terkadang hati masih sakit akibat ucapan atau sikapnya tapi tetap aku tidak kuasa menolak saat ia meminta haknya sebagai seorang suami.
Sebenarnya aku enggan, tubuhku mengelak. Namun hati nuraniku tetap tak bisa menolak, bagaimanapun dia suamiku. Tangan Bang Anwar yang mulai menyusuri setiap lekuk tubuhku tak mampu lagi membuat aku bergairah, bahkan ketika ia membalikkan tubuhku menghadapnya dan mulai mengecup mesra area leherku, aku rasakan biasa saja. Bibirnya mulai melumat bibir atasku, ia dorong lidahnya masuk ke mulutku namun aku menolaknya, kupejamkan mata dan tidak membalas setiap gerakan bibirnya hingga ia menanggalkan pakaianku dan ia yang terlihat begitu bergairah langsung menjalankan aksinya. Tubuhnya mulai naik turun di atas tubuhku namun kali ini aku benar-benar seperti patung, apakah dia lihat wajahku yang datar? Apakah dia merasakan malam ini aku begitu dingin?
Sepintas lalu aku bisa melihat ia yang masih begitu bernafsu, sementara aku. Aku sungguh tak bisa menikmatinya lagi. Kenapa? Tak terasa air mataku menetes tepat di saat Bang Anwar mencapai orgasmenya.
****