"Halo!" Semua orang kompak menyapa Reza yang baru datang.
"Ayo, duduk!" titah Wawan yang duduk persis di samping Reza berdiri.
"Memang lagi ada acara apa?" tanya Reza setelah ia mendudukkan dirinya.
"Gak ada yang istimewa, cuma nongkrong aja!" kekeh Ayu.
"Kalian dulu sekelas, ya?!" Kembali Reza bertanya.
"Iya, kita sekelas waktu kelas tiga," jawab Dewi.
Semua orang mulai larut dalam percakapan, hanya aku yang berdiam diri. Entah kenapa lidahku terasa kelu, mulutku seakan terkunci rapat hingga tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku begitu terlena dalam pikiranku sendiri. Kenapa Reza mau datang ke sini? Padahal mungkin tidak ada seorang pun yang mengenal dia selain aku, mengingat kami berbeda angkatan, saat kami kelas tiga, Reza sudah lebih dulu lulus.
"Kamu apa kabar, Mir?" tanya Reza tiba-tiba, matanya menatap lekat ke arahku.
"Eh, aku baik. Baik, Za!" jawabku dengan suara bergetar.
"Loh, kalau sama Mirna memang kenal, ya?" tanya Ayu penasaran.
Aku berusaha tersenyum menghilangkan segala kegugupan yang mendadak muncul menguasai diri "Iya, soalnya dulu ----"
"Kita pacaran, Mirna mantan aku!" Reza memotong ucapanku.
Semua mata tertuju padaku kini, hanya aku yang menatap serius kepada Reza. Kenapa dia bisa dengan lantangnya menjawab seperti itu? Padahal aku baru akan menjawab kalau kami saling kenal dulu karena kita satu eskul Rohis dan memang seperti itu faktanya. Aku dekat dengan Reza berawal dari sana. Sebuah pilihan yang berat dulu aku memilih aktivitas tambahan Rohis karena niatku ingin mengikuti eskul drama tapi abah melarang. Aku sudah tidak pesantren, ikut kegiatan mengaji di rumah pun jarang dengan alasan padat jadwal kegiatan sekolah jadi abah yang memaksaku untuk ikut eskul Rohis, hanya pilihan itu yang abah tanda tangani dulu. Namun justru pilihan dari abah yang akhirnya membuatku bisa dekat dengan Reza, pria yang selalu bertahta di hatiku, menjadi mantan terindahku.
"Oh ... Pantes..." sahut semua orang, nyaris berbarengan.
"Cie ... Ketemu mantan!" goda Dewi menyenggol bahuku.
"Pantesan, ada yang diem-diem aja dari tadi," timpal Sulis terkekeh.
"Jadi kamu ke sini karena lihat ada foto Mirna, ya?!" Ayu bertanya penuh curiga kepada Reza.
Terlihat Reza yang salah tingkah, mengusap-usap pelipisnya kemudian tersipu malu.
"Udah, gak usah dijawab, kita paham!" Adi mencengkram bahu Reza.
Terdengar gelak tawa semua orang, hanya aku yang meringis. Rasanya aku ingin menghilang saat ini juga.
***
Satu jam berlalu, kami masih betah mengobrol. Ternyata seperti ini asiknya bertemu dengan teman-teman lama. Setelah lima tahun menikah, baru kali ini aku memang keluar rumah dengan niat nongkrong seperti ini.
Selesai memakan cemilan yang aku pesan, aku pun pamit ke toilet. Kebetulan Ayla juga buang air besar dan harus segera aku ganti. Keluar dari toilet, aku mencari tempat yang nyaman untuk mengganti popok Ayla. Mataku tertuju pada sofa di sudut caffe ini, gegas langkah kakiku mengarah ke sana.
"Belum selesai, Mir?" Suara seseorang terdengar di belakangku.
Aku segera menoleh lalu tersenyum, aku sudah tahu itu Reza "Belum, lagi ganti popok."
Aku sibuk mengganti popok Ayla tapi aku masih bisa merasakan kalau Reza semakin mendekat ke arahku, aku lirik sekilas melalui ujung mataku, ia berdiri tepat di sebelahku. Aku mulai menengadahkan wajah ke arah Reza yang masih berdiam diri di tempatnya.
"Kamu kenapa?" tanyaku heran, aku bisa melihat wajahnya yang serius saat aku mengganti popok.
"Oh ... Jadi seperti itu ya caranya?!" gumam Reza sambil terus mengangguk.
"Maksud kamu apa sih?!" Aku bisa mendengar jelas suaranya walau ia bergumam.
"Eh, itu. Cara ganti popok," tunjuk Reza terkekeh.
Aku pun ikut tertawa saat mendengar jawabannya, seserius itu dia ternyata memperhatikan cara ganti popok. Seketika aku teringat suamiku sendiri yang tidak mau tahu urusan seperti ini, mungkin dia memang tidak tahu caranya sampai sekarang. Sejak memiliki si kembar sampai Ayla, tidak pernah sekali pun ia membantuku memakai atau melepas popok anak-anaknya, semua itu tugas aku seorang. Ya, hanya aku!
"Memang kamu gak pernah bantu ganti popok, ya?!" tanyaku penuh curiga, sepertinya semua lelaki sama. Urusan anak hanya kewajiban istri.
"Bukan, bukan begitu. Cuma ----"
"Aahhh..." Ayla menangis seketika, ia kembali rewel.
Gegas aku menggendongnya, mencoba menenangkan putriku itu, namun ia masih saja merengek. Reza yang tampak khawatir menghampiriku yang terus berjalan-jalan kecil demi menenangkan Ayla.
"Kira-kira kenapa, Mir?" tanya Reza masih terlihat wajahnya yang cemas.
"Sebenarnya dia memang lagi batuk pilek, jadi rewel," ucapku memberitahu.
Tiba-tiba Reza mengulurkan tangannya, ia berusaha memegang dahi Ayla "Ya ampun, Mir! Pantes, dia demam begini."
Cepat aku turut meraba dahi dan juga lehernya, Reza benar. Ayla demam. Seketika aku panik.
"Aku harus pulang!" Segera aku berlari mengambil tas yang ku taruh di sofa tadi.
"Tapi bawa ke klinik dulu, ya! Biar aku antar," ucap Reza serius.
Aku yang masih dilanda kepanikan hanya bisa mengangguk dan mengikuti perkataannya. Setelah pamit kepada semua teman-temanku, Reza langsung mengantarku masuk ke dalam mobilnya. Kami segera menuju ke klinik terdekat.
***
"Bayi Ayla!" seru seorang perawat memanggil nama anakku.
Dengan langkah kaki panjang, aku menghampiri perawat dengan seragam hijau muda itu.
"Ayo Bu, masuk!" titahnya lalu menutup pintu.
Ayla dibaringkan di tempat tidur, ia diperiksa oleh seorang dokter pria paruh baya. Aku turut memeganginya karena Ayla masih saja menangis dan terus meronta.
"Demam ini karena dari batuk pileknya ya, Bu!" ujar dokter tersebut setelah selesai memeriksa Ayla.
"Kalau demamnya tidak kunjung turun dalam tiga hari, Ibu bisa periksakan kembali," lanjut dokter menjelaskan, tangannya sibuk menulis resep.
"Ini resep obatnya, bisa Ibu tebus di bagian apotek, ya?!" dokter mengulurkan selembar kertas.
"Terima kasih, dok!" ucapku lalu keluar dari ruangan itu.
Keluar dari sana, rupanya Reza sudah menyambutku di depan pintu. Ia segera menanyakan kondisi Ayla dan aku jelaskan seperti yang dokter katakan.
"Biar aku saja!" Sigap Reza mengambil kertas resep dari tanganku lalu berlari ke arah apotek.
Tak terlalu lama aku menunggu, Reza datang dengan plastik obat. Ia langsung memberikannya kepadaku, aku memeriksa namun sepertinya ada yang salah.
"Ini, struknya mana ya? Totalnya jadi berapa?" Mataku masih sibuk memindai isi plastik yang sedang aku pegang.
"Udah! Gak usah bahas itu. Yuk, pulang!" ajak Reza lalu melangkah lebih dulu meninggalkan aku.
***
"Ini uang obatnya, Za! Kurang gak?" Aku menyodorkan selembar uang seratus ribu.
"Aku bilang gak usah, Mir! Udah simpan aja uangnya." Reza mendorong tanganku lalu fokus menyetir.
Kenapa? Kenapa dia mau membayar biaya obat Ayla? Dia juga ikut khawatir tadi, padahal suamiku sendiri jarang sekali begitu. Setiap kali aku lapor kalau anak-anak sakit, ia justru lebih dulu menanyakan penyebabnya, seakan-akan aku tidak merawat anak-anak dengan benar dan berakhir dengan sarannya untuk membeli obat warung, kalau aku protes kondisi anak-anak yang semakin parah, baru dia mau mengantar berobat. Kembali aku membandingkan sikap Bang Anwar dengan Reza.
"Oh ya, tadi kamu tanya kan soal ganti popok?" Reza tiba-tiba membuka suaranya, setelah beberapa menit lalu kami berdua terdiam, tak ada yang berani berbicara.
Aku hanya melemparkan senyum, takut Reza tersinggung. Apa mungkin memang ia merasa seperti itu makanya ia membahasnya lagi? Seketika aku merasa tak enak hati.
"Itu karena sampai sekarang aku belum dikaruniai anak," ucap Reza sambil tersenyum, tidak ada raut sedih saat ia mengucapkannya.
"Memang kamu menikah sudah berapa lama?" tanyaku ragu, ternyata kecurigaanku di awal tadi salah besar. Reza ingin tahu karena ia memang belum pernah mengalaminya.
"Lima tahun," jawabnya singkat.
Sama seperti usia pernikahanku, sudah lama juga ternyata. Mungkin ia sudah terbiasa hingga tidak ada lagi raut sedih saat ia mengucapkannya tadi.
"Aku doakan semoga secepatnya kamu dapat momongan, ya?! ucapku tulus.
Terdengar suara Reza lirih, mengaminkan doaku dan sepanjang perjalanan pun hening.
"Makasih ya, Za! Atas semuanya," tuturku sebelum turun dari mobilnya.
"Tunggu, Mir!" cegah Reza.
Aku yang hendak membuka pintu mobil segera berbalik menatapnya yang terlihat canggung.
"Kalau boleh, aku minta nomer kamu ya?!" ucap Reza tertahan, aku tahu ia malu.
Lalu bagaimana ini? Aku tak kuasa menolak, ia sudah berbuat banyak padaku hari ini. Aku pun menyebutkan nomer telponku dan Reza segera menyimpan di ponselnya. Kami pun berpamitan, berpisah dan tidak pernah berpikir akan bertemu kembali dengan sengaja.
****