Chereads / Hate you! My husband / Chapter 6 - Nasihat Abah

Chapter 6 - Nasihat Abah

"Mir ... Mir...!" teriak bang Anwar ketika masuk ke dalam rumah.

"Kalau masuk itu ucap salam, bukan teriak-teriak begitu!" hardik abah kepada bang Anwar.

Aku bisa melihat raut wajah bang Anwar yang gelagapan, ia terkejut melihat sosok abahku di depannya.

"Eh ada Abah! Maaf Bah, saya pikir gak ada orang." Bang Anwar cengengesan.

"Mau ada atau gak ada orang, ucap salam itu wajib. Lagi pula kamu itu kepala keluarga, harus kasih contoh yang baik untuk anak-anakmu," ujar abah menceramahi bang Anwar.

Bang Anwar tak menjawab, ia hanya mengangguk. Aku tahu kalau dia marah, tak suka dinasehati oleh abah seperti itu. Ia pun segera masuk ke dalam kamar, sengaja aku tak mengikutinya, aku tahu dia pasti ngomel-ngomel karena aku mengajak abah ke rumah.

"Anak-anak sudah tidur, Mir?" tanya abah saat kuletakkan teh hangat untuknya di meja.

"Sudah, Bah! Sudah pules semua." jawabku sambil mencoba duduk hendak menemani abah di ruang tamu.

"Sana, urus dulu suamimu. Kasian dia pulang capek, mungkin lapar atau perlu apa?!" titah abah yang justru memintaku melayani bang Anwar.

Aku berjalan masuk perlahan ke dalam kamar, seperti biasa bang Anwar malah sedang asik dengan telpon genggamnya. Aku baru saja ingin menuruti perintah abah tapi melihat dia seperti itu membuat aku jengkel. Bisa-bisanya dia sibuk main hape, bukannya menemui dan mengobrol dengan abah.

"Bang! Kok malah main hape? Ada Abah juga!" keluhku padanya, aku setengah berbisik takut membuat anak-anak bangun karena berisik.

"Ini lagi istirahat sebentar, udah jangan bawel kamu!" ucap bang Anwar menggertak.

Tuhan, bagaimana harus aku hadapi sikap suamiku ini? Apa mungkin aku yang terlalu kasar menghadapinya? Untuk meminta agar ia dilembutkan hatinya rasanya sudah setiap hari aku lakukan namun aku merasa ia tetap tak berubah, masih sama saja.

Aku alihkan pikiran ini ke dapur, menyiapkan makan untuk suamiku sambil membereskan pekerjaan rumah yang belum selesai.

"Masak apa kamu hari ini?" rupanya abah mengikutiku ke dapur.

Tidak kujawab pertanyaan abah karena memang belum ada makanan, sejak pagi aku sudah pergi ke rumah abah tentu saja aku tak sempat masak apapun hari ini. Aku membuka kulkas, ada ikan yang kubeli kemarin dan belum sempat aku masak, sepertinya ini bisa kujadikan lauh makan malam untuk bang Anwar.

"Kamu mau masak itu untuk suami kamu?" tanya abah terus mengamatiku.

"Iya Bah, adanya ini." jawabku singkat.

"Sudah, biar Abah belikan dulu sate. Kasian pulang kerja capek kok disediain ikan keras begitu," omel abah sambil berlalu pergi.

Kutatap punggung abah yang sudah sedikit membungkuk, rambutnya sudah banyak yang berwarna putih. Dibalik sikapnya yang keras dan tegas tapi aku tahu dia sangat menyayangi anak-anak dan menantunya.

"Maafin Mirna ya Bah, belum bisa buat abah bahagia," lirihku seraya mengusap air mata yang tak terasa menetes.

"Abah ke mana? Pulang?" celetuk bang Anwar, celingukan mencari sosok yang ia maksud.

"Mau cari lauk makan katanya," jawabku jujur.

"Kamu nih! Disangkanya aku gak bisa belanjain kamu sampai abah yang beli lauk makan," seperti biasa bang Anwar mengomel dengan suara tinggi.

"Bukan aku yang minta Bang, Abah yang jalan sendiri, masa mau aku larang?!" jawabku tak kalah sewot.

"Alah, memang kamu tuh mau aku dipandang rendah terus sama orang tua kamu. Senang kalau aku terus diomeli!" cerocos bang Anwar yang bertambah marah.

"Bang! Gak ada yang rendahin kamu dan stop bilang abah ngomel, abah itu cuma nasihatin kamu, supaya bisa jadi kepala keluarga yang baik," dadaku terasa terbakar saat suamiku ini terus menyudutkan abah.

"Kalau mau Abang tahu, abah daritadi minta aku ngurus kamu bahkan dia keluar beli lauk karena kasian sama kamu yang cuma aku masakin ikan ini!" aku yang tak tahan melempar piring berisi ikan ke meja.

Pandangan bang Anwar beralih pada piring ikan yang kini tepat di depannya. Aku bisa melihat dadanya yang naik turun mengiringi emosinya yang semakin menjadi. Ia mulai menengok ke arahku, sorotan matanya yang tajam seperti itu sudah sering aku lihat ketika ia sedang teramat marah kepadaku. Ritme jantungku berdegup lebih kencang karena takut.

Suara mobil abah menyelamatkanku karena bisa aku lihat bang Anwar mencoba menguasai dirinya, meredam emosinya, lalu pergi ke kamar mandi. Aku menghela napas panjang, setidaknya aku tidak akan mendengar makiannya saat ini.

"Ajak suamimu makan, Abah juga mau makan di sini saja, lapar!" ucap abah seraya menyerahkan dua bungkus sate kepadaku.

"Iya Bah, Bang Anwar lagi di kamar mandi." balasku dan tak lama kemudian suamiku keluar.

Malam ini kami makan malam bersama, bang Anwar begitu canggung di depan abah, wajah garangnya menciut saat dihadapkan dengan ayahku.

***

Aku menemani abah selesai makan sedangkan bang Anwar pergi dengan alasan ada undangan sesama supir. Entahlah itu benar atau tidak tapi yang aku rasa itu hanya alasannya saja untuk menghindari abah. Sejak awal bang Anwar, suamiku itu memang paling tidak senang mengobrol dengan abah. Aku pernah menanyakan hal itu padanya dan jawabannya ia tidak nyaman saat mengobrol dengan ayahku, gak nyambung katanya.

"Mir..." suara abah berat, bila seperti itu biasanya abah ingin berbicara serius padaku.

Aku menggeser posisi duduk ku, lebih dekat kepada abah.

"Mulai sekarang coba kamu lebih lembut sama Anwar, layani suami kamu dengan baik." ujar abah mulai menasehatiku.

"Mirna juga sudah begitu kok, Bah!" aku membela diri, perasaan tidak ada yang salah dengan sikapku pada bang Anwar selama ini.

"Coba kamu renungkan dulu. Siapa tahu ada sikap kamu yang salah selama ini. Jangan mengharap orang berubah, Nak. Mulailah dengan merubah dirimu sendiri!" kata abah begitu bijak.

Perkataan Abah begitu menohok, selama ini aku memang selalu berdoa agar suamiku berubah, agar ia menjadi sosok yang lemah lembut tapi aku lupa untuk merubah diriku sendiri. Mungkin benar selama ini aku salah, aku sama saja dengan suamiku, selalu mendebatnya dengan suara yang tidak kalah tinggi. Kalau begitu, aku akan mencoba merubah sikapku, semoga dengan begitu suamiku juga akan berubah menjadi sosok yang aku harapkan.

"Iya, Bah. Mirna coba ya, Bismillah! Mirna akan terus berusaha jadi istri dan ibu yang lebih baik lagi," anggukku sambil terus tertunduk.

Abah mendekatiku, menarik bahuku dan menepuknya lembut.

"Abah mau yang terbaik dalam kehidupan keluargamu. Setiap rumah tangga pasti ada cobaannya, kamu harus kuat ya, Nak!" tutur abah dengan senyum yang selalu menyejukkan hatiku.

Abahku ini memang keras tapi setiap ada momen seperti ini dengannya, aku selalu luluh. Sama seperti dulu ketika aku bersikeras menetap di Cikarang namun akhirnya abah berhasil membawaku pulang setelah berbicara dari hati ke hati seperti ini. Abah sering bilang kalau watakku persis seperti dirinya, tidak bisa dikerasi, semakin keras maka aku akan semakin menjadi dan abah sudah tahu cara menaklukkan hatiku, yaitu dengan kelembutan.

"Gelang umi kamu simpan saja, cek tagihan listrikmu. Abah sudah bayar saat keluar beli makan tadi," ucap abah membuatku terkejut.

"Tapi Bah..." aku menengadahkan wajahhku karena abah sudah berdiri.

"Sudah, Abah tahu semuanya." abah tersenyum dan mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya.

"Sudah malam, Abah pulang ya!" pamit abah yang kemudian kucium punggung tangannya dengan takzim.

****