Mobil melaju dalam kecepatan standar. Tidak ngebut, juga tidak lambat. Namun, detak jantung Sofia beritme cepat tak terkendali. Tangannya meremas-remas baju yang dikenakan sebagai pelampiasan rasa gelisah.
"Ini, minumlah." Nazam menyerahkan sebotol minuman kepada Sofia.
Wanita itu menatap suaminya setengah kosong. Sebagian pikirannya masih berada di rumah sakit sana. Memikirkan Ify, Naran, juga bagaimana harus bersikap saat bertemu mereka.
"Kamu kelihatan gugup. Minum dulu," ulang Nazam. "Cepat, tangan saya pegel, nih."
Sofia refleks menerima botol air mineral tersebut setelah Nazam berkata pegal. Sungguh lucu. Dan itu membuat Nazam menyungging bibir sedikit.
Tanpa kata, Sofia membuka tutup botol itu dan meneguknya. Meski tak bisa mengusir kegelisahan yang dia rasa, setidaknya hatinya bisa sedikit tenang sekarang.
"Mas, kamu yakin mau bantu untuk bayarin?" Entah untuk ke berapa kali tanya itu mengudara. Nazam yang mendengarnya sudah bosan. Apa tidak ada pertanyaan lain lagi?
"Kamu kira saya bohong?" tanyanya sengit.
"Biasanya pelit, tumben aja," ujar Sofia keceplosan. Dia langsung menutup mulutnya dengan tangan dan mata terbelalak.
'Aduh, mati!' batinnya.
Nazam menoleh, memicingkan mata kepada Sofia.
"Kamu itu, ya, sembarangan. Saya bukan pelit, tapi irit," bantah Nazam tak mau disamakan dengan orang pelit.
Sofia melepas bekapan tangannya, memberanikan diri menatap Nazam.
"Terus kenapa sama istri sendiri harus irit, bagian ke orang lain baik. Mau bayarin segala," celetuk Sofia. Nah, dia agak lega akhirnya bisa meluapkan emosinya yang beberapa hari terakhir dipendam.
Jika dirinya boleh jujur. Agak berat hidup dengan manusia pelit bin medit seperti Nazam. Mana setiap hari harus laporan sudah berapa pengeluaran. Sofia merasa hidupnya sial terus. Kalau begitu terus, mana bisa dirinya jatuh cinta kepada Nazam. Bahkan, dalam hati ia berjanji tak akan mau melepas perawan dan memilih untuk meminta perpisahan kepada Nazam jika perlakuannya seperti itu terus.
Namun, tentu saja itu hanya sekelebat pikiran yang datang saat kemarahannya bergejolak. Sofia tak sungguh-sungguh.
"Kalau bayarin admin rumah sakit itu namanya saya sedang beramal. Lagian, apa yang salah dengan ngirit, Sofia? Kita enggak mati kelaparan, kan?" Entengnya dia bicara, tak peduli dengan perasaan istrinya sendiri.
"Itu namanya curang." Dalam suara pelan Sofia bicara. Ia memalingkan muka ke arah jalan. Tak mau lagi melihat wajah suaminya.
"Hm?"
"Enggak," sahut Sofia dingin.
***
Sampai di rumah sakit, Nazam memilih untuk tak ikut masuk ke dalam. Ia memberikan sejumlah uang kepada Sofia.
"Kamu memang teman yang baik. Saat dia mengkhianati kamu, kamu masih bisa mempedulikannya."
Sofia tercenung. Bertanya kepada diri sendiri apa benar yang dikatakan oleh Nazam? Ia baik? Entah karena apa alasannya, hanya saja Sofia tak tega melihat penderitaan mantan sahabat serta mantan kekasihnya itu.
"Makasih, Mas."
Wanita itu pun kembali ke staf administrasi, menanyakan apa biaya atas nama Ify sudah dibayarkan. Ternyata jawabannya adalah belum. Tanpa ragu, akhirnya Sofia membayar semua sampai lunas.
Usai menyelesaikan semuanya, ia pun berbalik hendak pergi. Namun, langkahnya terhenti ketika teringat kembali saat-saat Ify menghadiri acara pernikahannya, memberi selamat, tetapi kesannya seperti menertawakan. Sofia memejam mata, merasakan ketidaknyamanan dalam hati.
'Aku ingin tahu alasannya. Hanya itu saja, kumohon kuatkan aku,' ucap Sofia dalam hati. Setelah itu dirinya memberanikan diri untuk menemui Ify.
Sekali saja. Hanya untuk mengetahui alasan mengapa Ify tega mengkhianatinya.
Oh, ya ampun. Hati wanita itu sebenarnya rapuh. Namun mengapa ia masih nekad untuk menemui sahabat yang telah menjadi musuhnya itu?
Dua pasang mata beradu. Mereka diam bagai patung, sulit untuk bergerak dalam beberapa saat.
Ify memandang Sofia penuh dengan kemarahan, kekecewaan, kesedihan, dan segala rasa yang menghancurkan hatinya. Semua bercampur menjadi satu.
"Lihatlah buah dari perbuatanmu sendiri," ucap Sofia dengan mata berkaca. Bibirnya sedikit gemetar saat mengatakan itu.
"Untuk apa ka-kamu datang ke sini?" Wanita itu mencoba menegakkan punggung. Merasa kalau ia patut berhati-hati pada Sofia. Sebab kini wanita itu adalah musuhnya.
"Aku hanya penasaran bagaimana kamu bisa hidup dengan dua topeng wajah berbeda selama ini. Kamu pintar sekali ber-akting. Harusnya kamu jadi artis saja, Fy." Dan akhirnya kata yang terkesan mengolok ini keluar dari mulut Sofia. Entah mengapa keluar begitu lancar tanpa bisa ia cegah.
Lihatlah ekspresi wajah Ify mulai mengeras, marah.
"Aku penasaran bagaimana wajah lugu itu menggoda mantan pacarku. Oh, ya ampun, aku lupa kamu punya tubuh yang lumayan oke. Tentu saja—"
Ucapan Sofia menggantung begitu saja ketika tiba-tiba kotak tisu menghantam dadanya cukup keras.
"Jangan berkata sembarangan. Naran telah memilihku, kamu tidak bisa terus menyalahkanku. Dan ingat, kamu sudah bersuami, apa pantas melabrak calon istri dari mantan pacarmu? Hah? Dasar tak tahu malu!" sentak Ify dengan berani.
Sofia menganga mendengarnya. Ia tak menyangka kalau seseorang yang ia anggap sebagai sahabat baiknya bisa melontarkan kata-kata setajam itu. Bahkan bersikap kasar secara fisik.
"Jujur saja aku kecewa berat, Fy. Aku benci. Apa kamu lupa dulu itu kita begitu dekat? Sampai saat ini saja aku masih berusaha untuk percaya kalau kamu tidak mengkhianati aku. Meski semua yang kupercayai runtuh lagi dan lagi sebab kenyataannya tidak seperti apa yang aku pikirkan," ucap Sofia memelankan nada suaranya. Berusaha meredam amarah yang meletup-letup dalam dada, mencoba mengajak Ify bicara dari hati ke hati. Bagaimanapun dirinya butuh kejujuran.
"Aku mencintai dia sudah lama. Silakan kalau mau membenciku, tapi asal kamu tahu saja, dia juga mencintaiku, juga calon buah hatinya."
Sofia memejam mata. Mencoba menekan kekesalan yang sulit ditahan lagi. Bukan itu yang ingin dia dengar, tetapi semuanya. Semua pengkhianatan yang mereka lakukan. Bagaimana, dari kapan, dan mengapa?
Namun, tampaknya wanita itu memang tak berniat untuk jujur, yang ada malah terus memamerkan hubungan tak sehat mereka itu. Sofia menjadi jijik.
"Sofia?"
Saat itu Naran datang tanpa diduga. Membuat Sofia terpaksa tak melanjutkan lagi tanyanya yang sekian menit semakin membuat hatinya terbakar.
"Aww!" Mendadak saja Ify setengah berteriak. Ia memegangi kepalanya.
Perhatian Naran langsung teralihkan. Ia tak menghiraukan Sofia dan berlari meghampiri Ify.
"Kamu kenapa? Sakit lagi?" tanya Naran dengan cemas. Kedua tangannya merengkuh bahu Ify.
"Kepalaku sedikit pusing setelah dikatai pelakor oleh Sofia. Naran, tolong usir dia," bohong Ify sambil menunjuk Sofia dengan jari telunjuknya. Tepat ke wajah wanita itu.
"Hah? Itu fitnah! Aku tidak mengatai kamu pelakor, Fy!" sanggah Sofia tak percaya.
Ternyata, selain tahu kalau Ify pengkhianat, ia juga kini tahu kalau wanita itu adalah tukang fitnah. Dirinya sungguh tak menyangka.