"Apa? Pel—" Bahkan Sofia sampai sulit melanjutkan perkataannya. Ia terlalu emosi usai difitnah Ify.
"Hey, kapan aku bilang begitu?! Jangan mengada-ngada, ya!" Sofia kelewat geram.
Dalam hati, Sofia berpikir kalau Ify memanglah tak bisa diajak bicara dari hati ke hati. Wanita itu telah berubah menjadi keji.
Naran menajamkan matanya ke arah Sofia.
"Ayo bicara di luar," ajaknya kemudian. Ia melepas tangannya yang beberapa detik lalu masih merengkuh kedua lengan Ify.
Untuk apa? Pikir Sofia. Jika ia hanya ingin memarahinya atau berkata-kata yang tak mengenakan ketimbang jujur tentang awal mula hubungan terlarang itu terjalin, lebih baik Sofia menghindar. Sudah cukup dirinya bersabar, kali ini tak mau lagi disakiti.
"Jangan coba-coba mengikutiku. Rawat saja perempuan yang kamu hamili itu!" ucap Sofia penuh penekanan.
Ia berbalik sambil mati-matian menahan tangis yang sudah terasa akan jatuh. Sia-sia sudah dirinya datang, bahkan membantu wanita pengkhianat tersebut. Nyatanya apa yang ia harap, yaitu bisa bicara soal kejujuran itu tak pernah terjadi.
Ify yang dianggap sahabat olehnya telah benar-benar tak ia kenali lagi. Baginya itu seperti orang lain, asing.
Sofia berjalan lesu. Untungnya ia berhasil mengendalikan diri tak menjatuhkan air mata lagi. Setidaknya untuk hari ini. Dan ia berharap hari esok, kemudian esoknya lagi kebahagiaan akan menyambut dirinya.
'Aku ingin melupakanmu, Naran. Kamu jahat,' batinnya.
"Sofia, tunggu!" Suara familiar yang sebenarnya ia rindukam memanggil.
Itu suara Naran. Refleks langkah Sofia terhenti seperti masa-masa yang telah berlalu. Dirinya tak akan tahan kalau mendengar suara berat sang mantan. Sofia menoleh.
Laki-laki itu berlari ke arah Sofia. Membuat wanita itu mati kutu.
"Ada apa dia nyusul?" gumamnya teramat pelan. Bahkan bibirnya nampak tak bergerak sama sekali.
"Sudah kubilang jangan mengikutiku," tandas Sofia kesal. Ia hendak berbalik, mencoba melawan apa kata hatinya. Berusaha menepis semua rindu yang tak mau diakui.
Akan tetapi tangan kekar itu dengan tangkas menangkap lengan Sofia sebelum terlambat dan tertinggal.
"Apa, Naran? Kamu mau marah soal apa yang Ify katakan?" tanya Sofia memelankan suara. Ia tak mau menjadi tukang ribut di rumah sakit.
"Bukan. Aku tak akan ikut campur dengan urusan kalian. Aku hanya mau bicara sebentar, beri aku waktu, ada yang mau aku katakan. Bisa?"
Tampaknya laki-laki itu tak ingin memaksa, bahkan sorot mata Naran terlihat memancar penuh harap.
Sofia berpangku tangan, mengembuskan napas kasar.
"Katakan sekarang, jangan lama-lama. Aku tak mau dia salah paham."
Naran agak bingung. Dia yang dimaksud itu siapa? Ify kah? Atau suami Sofia? Wanita itu tak menjelaskan.
"Maafkan aku, ya. Aku tahu salahku tak akan terampuni, tapi ... jujur saja aku sangat merasa bersalah. Aku harap kamu mau sudi memberikan maaf untuk kesalahanku," ucapnya sambil mengulurkan tangan, hendak mengajaknya berjabatan.
Sofia tak mengindahkan uluran tangan itu. Ia dilanda kebingungan. Dia kira laki-laki itu akan menegur karena Ify telah memfitnahnya tadi. Ternyata dugaannya salah besar.
"Kenapa tiba-tiba, Naran?" tanya Sofia lolos begitu saja. Wajahnya mulai mengeras teringat hari ketika Naran memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dan membatalkan pernikahan yang akan segera digelar.
Naran menjatuhkan tangan yang sedari tadi menggantung di udara. Ia tahu mengajak mantannya berdamai adalah hal sulit.
"Aku hanya merasa tak enak padamu. Maaf untuk semuanya. Maaf karena aku tak bisa menjaga kepercayaan kamu, maaf karena telah membuat kamu terluka dan maaf karena membuat kamu ... pokoknya aku minta maaf." Naran menunduk usai mengakui kesalahannya, walau ia tak menjelaskan apa pun kepada sang mantan tentang kejadian yang tak pernah Naran harapkan.
Tentang kesalahannya di malam itu, ketika dia mabuk dan meniduri Ify sebab mengira itu adalah Sofia. Ia terlalu payah dan tak bisa menahan diri.
Meski ia tahu ini adalah kesempatan emas untuk mengklarifikasi semua, tetapi ia berpikir dua kali untuk mengatakannya. Sebab semua hanya terdengar seperti alasan, dan itu tak bisa mengubah apa pun.
"Kenapa kamu lakukan itu kalau tahu salah? Basi." Sofia kesulitan menahan emosinya kali ini, dan ia sungguh tak tahan. Sofia pun memilih untuk pergi.
"Sofia, tunggu dulu!" Lagi-lagi Naran mencegahnya untuk pergi.
Membuat Sofia sedikit muak.
"Apa lagi, sih?" tanyanya sinis.
"Selain minta maaf, aku juga ingin berterima kasih karena kamu masih peduli kepada Ify. Tanpa bermaksud untuk menyinggung, aku ingin mengganti uang yang kamu bayar ke pihak rumah sakit," ucapnya seraya menyerahkan sejumlah uang ke hadapan Sofia.
Sofia membuka rahang, tak percaya kalau dirinya akan diperlakukan seperti itu oleh Naran. Meski laki-laki tersebut mengatakan kalau tak bermaksud untuk menyinggung, tetap saja ia merasa terhina sekali.
"Kamu tidak perlu kembalikan. Aku sudah berniat ingin membantunya," tolak Sofia mendorong tangan penuh uang itu.
"Tidak. Terima kasih, tapi aku juga masih bisa mengusahakannya sendiri. Sekali lagi maaf kalau menyinggung. Tolong terima."
Naran tak menerima penolakkan. Ia pun menyerahkan uang itu secara paksa kepada Sofia, lantas langsung pergi melengos kembali ke ruangan Ify dirawat.
"Dia masih sama. Baginya harga diri lebih penting," gumam Sofia seraya menatap uang itu.
Tak lama embusan napas kasar keluar dari bibirnya. Sofia kecewa. Ia berpikir kalau Naran memang sudah tak mencintainya lagi seperti dulu. Berpikir kalau sekarang yang laki-laki itu cinta adalah Ify.
'Semudah itu dia melupakanku, dan semudah itu pula dia mencintai wanita lain,' batinnya sebelum pergi.
***
Sofia disambut dengan decak bibir Nazam. Laki-laki itu tengah berdiri di parkiran sambil berpangku tangan.
"Kamu lama sekali, sih. Jangan bilang adu kepala dulu atau jambak-jambakkan?" tudingnya membuat wajah Sofia menampakkan ekspresi sebal.
"Apa, sih? Emangnya anak kecil," bantah Sofia.
"Ya, udah ayo masuk. Kita langsung pulang," ajak Nazam tak mau lagi memperpanjang hal barusan. Dia sadar, istrinya sedang tak ingin ribut. Pasti terjadi sesuatu. Sangkanya dalan hati.
Sofia menyerahkan uang dari Naran yang katanya 'uang ganti' itu kepada suaminya.
"Loh, kok dibalikin? Nggak jadi masuk dan bayarin?" telisik Nazam mencari kejujuran Sofia.
Wanita itu malas untuk menjawab sebenarnya.
"Iya, enggak jadi. Ternyata udah dibayar," jawab Sofia berbohong. Ia tahu kalau mengatakan yang sebenarnya, nanti Nazam akan sedikit tersinggung karena uangnya tak diterima oleh mereka.
Nazam mengambilnya kembali tanpa berpikir untuk membagi kepada Sofia walau selembar. Benar-benar manusia pelit sejagad raya. Hebat sekali Sofia bisa tahan dengan kepelitan laki-laki satu ini.
"Mas ...." Sofia memanggil lirih.
Nazam yang baru saja menghidupkan mesin mobil melirik ke arahnya.
"Hm?"
"Boleh, nggak aku ...." Ucapannya menggantung, Sofia memilih untuk memendamnya sendiri. Tadinya ia ingin curhat, ingin meminta agar Nazam mau menjadi teman untuk diajak bicara. Namun, dipikir ulang itu semua mustahil.
'Dia itu manusia es, mana mau jadi teman bicaraku.'
"Apa, sih?"
"Enggak. Kita pulang aja."
Akhirnya mereka pulang. Selama perjalanan, Nazam dibuat heran atas tingkah murung Sofia.
"Pasti ada sesuatu yang bikin kamu sedih waktu ketemu perempuan itu. Benar, kan?"
Sofia melirik sekilas.
"Saya cuma sedih aja, dia berubah. Padahal kami dulu begitu dekat."
Nazam paham apa yang istrinya rasakan. Untuk pertama kalinya ia merasa iba. Entah mengapa ada dorongan dalam hati untuk menghiburnya. Kali ini saja.
"Buat ngusir rasa sedih itu, apa yang harus saya lakukan, Sofia?"
"Hm?" Refleks wanita itu menatap serius. Apa dia tak salah dengar?