Demi menghibur Sofia, Nazam rela membuang waktu yang katanya 'berharga' itu dan pergi ke luar kota. Setelah sang istri berkata ingin menghirup udara pantai, Nazam bergegas membawanya ke pantai. Tempat yang pas untuk melepas kegundahan dalam dada.
"Waaah!" teriak Sofia kencang sambil berlari menuju hamparan pasir.
Angin dingin dan deburan ombak menyambut teriakkan itu tak kalah kencang. Sementara Nazam hanya bisa ngelus dada melihat tingkah sang istri yang baginya mudah sekali berubah-ubah sikap.
Ia merogoh ponsel dalam saku, menghubungi seseorang entah siapa.
"Untuk beberapa hari aku tak akan ke kantor. Soal kerjaan kirim saja lewat email, akan aku periksa saat malam." Nazam bicara tanpa melepas pandangannya kepada Sofia.
"Ya, ya, anggap saja aku sedang bulan madu. Kututup teleponnya, ya." Ia melanjutkan sambil menarik senyum kecil.
Nazam menutup sambungan telefon. Ia mengusap wajah secara kasar.
"Konyol. Bulan madu apanya," ujar Nazam menggeleng. Kalimat 'bulan madu' ini terdengar lucu bagi dirinya.
Mana ada bulan madu. Lah, hubungan mereka saja belum jelas bagaimana kedepannya. Niat datang liburan ini sungguh tak ia rencanakan sama sekali. Hanya dadakan tanpa persiapan apa pun, bahkan pakaian ganti.
"Maaas!" seru Sofia. Di kejauhan sana ia melambaikan tangan kepada Nazam yang masih berdiri di dekat baliho.
Laki-laki itu sungguh bingung harus merespon bagaimana. Ragu-ragu dirinya pun membalas lambaian tangan itu.
Sofia berdecak sebal.
"Bodoh. Aku itu ngajak dia turun ke pantai, bukan ngajak dadah-dadah."
"Coba lihat wajah itu. Beberapa detik lalu masih bisa ketawa-ketawa. Sekarang udah cemberut aja. Apa lambaian tanganku kurang heboh?"
Tanpa pikir panjang dia kembali melambaikan tangan. Kali ini lebih tinggi. Namun Sofia masih saja diam menatap lurus. Membuat Nazam kebingungan.
"Masih kurang heboh, ya? Kenapa masih cemberut? Ah ... aku lupa tak pakai senyum!" Nazam bagai sedang kesurupan. Melambaikan tangan sekuat tenaga sambil tersenyum lebar, berharap Sofia merespon baik, tak peduli dengan orang-orang yang menatapnya aneh di sekitar. Bahkan terkadang mereka saling membisik, menertawakan tingkah konyol Nazam.
"Duh, apa-apaan sih si pelit! Bikin malu aja," gerutu Sofia menutup wajahnya yang merah delima. Lantas pergi lebih jauh lagi. Ia terlalu malu dengan tingkah laki-laki itu.
"Loh, kok dia malah pergi, sih!" Nazam jengkel. Akhirnya dia melangkahkan kaki, turun menyusul Sofia.
"Sofia! Tunggu! Jangan jauh-jauh nanti kamu hilang! Kan, saya pasti repot nyarinya!" teriak Nazam.
Ia setengah berlari mengejar Sofia. Sementara wanita itu cuek bebek, malah duduk di hamparan pasir dekat batu karang yang berjejer besar dengan perasaan setengah lega. Bibirnya tersenyum tipis. Akhirnya, setelah melalui hari-hari sulit yang penuh derita, ia bisa juga sedikit merasa bahagia.
"Setidaknya untuk hari ini aku bisa sedikit lupa akan masalah hidupku yang rumit," lirih ia berkata.
Sofia melihat Nazam berlari di kejauhan. Dalam hati ia berpikir kalai laki-laki itu tak terlalu buruk. Dari sekian perlakuan dinginnya, ada sisi hangat yang ia rasa meski itu hanya sedikit.
"Tidak, jangan mikir aneh! Jangan sampai terbawa perasaan. Jangan karena dia baik sedikit, aku langsung baper!" gumamnya menepis semua pikirannya tentang Nazam.
"Heh, Sofia!" panggil Nazam. Ia tiba dengan napas memburu. Sedikit berkeringat, tetapi tak membuat ketampanannya luntur.
"Apa, sih, Mas? Heboh." Sofia cuek, menatap lurus pada deburan ombak putih di bawah langit yang mulai menguning.
Wanita itu berusaha mengusir semua pikiran yang berkecamuk. Ia memilih untuk menikmati sore indah ini tanpa beban. Sofia ingin lepas, ingin tertawa.
"Kamu itu main lari-lari aja. Saya bilang apa, jangan jauh-jauh, nanti bisa hilang," ucapnya dengan suara sedikit tersendat. Nazam masih mengatur napas.
"Emangnya saya anak kecil?" Sofia melirik sekilas.
"Dikasih tahu malah ngeyel."
Perkataan itu sukses membuat dunia khayal Sofia terbang ke awang. Dirinya menarik wajah mundur, menoleh menatap Nazam. Ocehannya dianggap sebagai bentuk kekhawatiran oleh Sofia.
"Terima kasih, Mas." Dan kata ini lolos begitu saja.
Dahi Nazam mengerut.
"Untuk apa?" Ia ikut duduk di hamparan pasir, tepat di sebelah Sofia.
Wanita itu tersenyum miring, menatap lekat mata gelap Nazam.
"Terima kasih karena udah bawa ke sini. Hanya dengan duduk menikmati terpaan angin sambil melihat matahari mulai turun ke ufuk barat, membuat saya merasakan suatu kelegaan yang tak bisa diungkapkan lewat kata-kata. Pokoknya saya senang."
Mata Sofia memancarkan ketulusan. Dan ini kali pertama Nazam melihat sisi ceria istrinya sejak mereka menikah.
"Tahu begini aku ajak dari kemarin-kemarin," gumam Nazam tanpa sadar.
"Hm?"
Refleks Nazam menggeleng.
"Bukan apa-apa."
"Ck ...."
Nazam kadung malu. Ia membuang muka ke lain arah.
'Bisa-bisanya ngomong begitu! Memalukan. Untung dia tak dengar, kalau dengar pasti kepedean, kan?'
"Mas, lihat itu. Lembayung yang muncul di antara awan bikin langitnya jadi cantik, ya?" Sofia menunjuk angkasa dengan jemarinya.
"Heem."
Nazam ikut menatap langit. Bibirnya menyungging kecil. Benar kata Sofia bahwa hanya duduk menatap keindahan alam bisa membuat keadaan hatinya lumayan damai. Ia bisa lepas dari kepenatan yang selama ini menjadi teman dari hari-hari sibuknya.
'Aku tak menyangka hal sederhana ini benar-benar manjur untuk mengobati kegalauan Sofia.'
Keduanya diam, menatap lembayung dengan berjuta rasa kagum. Menikmati pemandangan yang terbilang langka mereka lihat di jantung kota.
Sesekali Nazam mencuri pandang kepada Sofia.
Di saat yang sama, air laut mendadak naik lebih tinggi. Ombak pasang datang tanpa diduga.
"Mas, itu!" tunjuk Sofia ke depan.
Sofia berdiri, pun dengan Nazam. Namun keduanya terlambat, ombak lumayan besar itu telah siap menghantam badan. Lari pun tak akan sempat.
"Awaaas!" Nazam merangkul tubuh Sofia, menariknya masuk ke dalam pelukan. Nazam membiarkan dirinya menjadi tembok penghalau air pasang.
Sofia terdiam, merasakan betapa bidang dada Nazam. Membuat jantungnya berdetak tak karuan. Pelukan tak terencana itu terasa hangat.
Ombak berhasil mengguyur keduanya hingga basah sampai setengah badan. Nazam kehilangan keseimbangan, membawa Sofia jatuh ke atas pasir yang basah.
"Aduh," ringis Sofia pelan. Tangannya mencengkram lengan Nazam kuat.
Keduanya jatuh dengan posisi tak biasa. Nazam berada tepat di atas tubuh Sofia. Kedua mata mereka saling beradu tatap begitu intens.
'Sial. Jantungku ....' Nazam merasakan jantungnya seperti tengah dipalu-palu. Berdenyut aneh dengan ritme yang tak beraturan.
Nazam masih diam tak berkedip, memandang istrinya lekat. Dan dalam hitungan detik itu, hatinya telah tercuri. Nazam si pelit sejagad raya sungguh jatuh hati kepada Sofia.
Ombak kembali datang, mengguyur tanpa ampun. Membuat posisi romantis itu berakhir. Bahkan Sofia hampir saja terseret jika tak segera digenggam tangannya oleh Nazam. Buru-buru mereka bangkit.
"Waaah!" seru Sofia. Ia mengusap wajah basahnya dengan telapak tangan. Lalu tertawa.
Harusnya mereka kaget, tetapi lihat keanehannya. Dua manusia itu tertawa lepas setelah dihantam ombak dua kali.
"Ombaknya datang lagi, kita harus menepi kalau masih mau hidup."
"Ayo, Mas. Kabuur!"
Tanpa melepas genggaman tangannya, laki-laki itu menyeret Sofia naik ke tepian. Mereka berlari, lari dari kejaran ombak di belakang.