"Mama lagi apa di sini?" tanya itu lolos begitu saja setelah ia tersadar dari keterdiaman beberapa detik lalu.
Naran menarik tubuh ibunya.
"Kamu enggak senang ketemu mama?" Wanita itu melepas pelukannya, menatap mata Naran agak kecewa. Sepertinya kehadirannya kurang diharapkan saat ini.
Naran menggeleng.
"Bukan begitu maksudnya, Ma. Aku takut papa tahu nanti akan marah."
"Papamu lagi ke luar negeri. Makanya mama nekad begini. Kamu lagi ngapain di sini, Ran? Cuciin mobil orang, pula," tanyanya sembari mengusap wajah anaknya yang tampak tak bergairah.
Terlihat sangat menyedihkan di mata ibu Naran.
"Lagi cari uang, Ma. Bagaimanapun, aku harus jadi laki-laki yang bertanggungjawab untuk Ify."
Dahi ibu Naran berkerut.
"Ya Tuhan kasihan sekali kamu, Ran. Kamu butuh uang berapa, hm? Ini, mama kasih."
"Jangan, Ma. Aku bisa cari sendiri. Benar kata papa, aku tak seharusnya terus bergantung pada mama dan papa. Aku harus bersikap dewasa dan berusaha sendiri."
Dengan halus Naran menolak.
Ibunya menjadi bingung. Ia harus bersikap bagaimana sekarang? Untuk sesaat tak ada kata yang keluar dari mulutnya, hanya fokus memandang sang anak dengan tak tega.
"Mama tahu dan mama bangga kamu punya pemikiran begini. Tapi, misal ada kendala tentang keuangan, kamu bisa bicara sama mama. Atau kamu butuh tempat tinggal? Mama akan carikan secara diam-diam," tawar wanita yang melahirkan Naran serius.
Naran diam. Bohong jika dirinya tak butuh uang. Saat ini Ify sudah pasti menunggunya dengan cemas. Ia tahu.
"Kenapa diam? Jawab mama, kamu ada masalah, kan?"
Seketika lamunan Naran buyar. Ia menatap ibunya nanar.
"Terima kasih, tapi aku enggak bisa terima tawaran tempat tinggal itu walau sekarang kami numpang hidup. cuma ... sebenarnya aku lagi ada masalah keuangan untuk bayar biaya rawat inap Ify di rumah sakit, Ma. Dan uangnya ...."
"Tak ada? Atau kurang?" putus sang ibu.
"Kurang," jawab Naran tak lama. Ia malu harus mengakui itu setelah dirinya berkata ingin berusaha sendiri.
"Ify kenapa memangnya sampai masuk rumah sakit?" tanya sang ibu sambil membuka dompet. "Kurangnya berapa biar mama bantu. Mau, kan? Mama harap tak ada penolakkan soal ini. Mama tahu keadaan ini darurat."
"Dia jatuh di dekat kamar mandi dan mengalami pendarahan ringan. Jadi aku sedang sangat butuh uang itu, Ma."
Demi Ify, Naran pun rela menahan malu di hadapan sang ibu. Meski sebenarnya ibunya tak memepermasalahkan hal itu. Justru wanita tersebut sangat ingin memberikan banyak hal tak peduli dengan larangan suaminya.
Mata sang ibu sedikit membulat. Kaget.
"Pendarahan? Ibu sama bayinya tidak apa-apa, kan?" tanyanya memastikan.
Naran segera mengangguk.
"Syukurlah. Tapi maaf, ya, Ran. Mama belum bisa jenguk kalian. Tahu sendiri papamu seposesif apa. Ini saja mama tadi kabur pas ada kesempatan," terangnya sambil celingukan ke kanan dan ke kiri.
"Nggak apa, Ma. Aku tahu papa pasti masih marah, ya? Meski memalukan dan terkesan sedikit maksa, apa mama bisa bantu untuk membujuk papa supaya memberi restu padaku dan Ify? Biar bagaimanapun kami butuh restu orang tua untuk bisa menikah. Aku nggak mau anak kami nanti dicap sebagai anak yang lahir di luar nikah."
Mata Naran sendu. Memikirkan betapa kasihan anak dalam kandungan Ify jika sampai itu terjadi. Ia tak mau darah dagingnya kelak menjadi bahan olokkan.
Ibunya sedikit tersenyum. Ia tahu anaknya bersungguh-sungguh. Sambil menyerahkan segepok uang, ia berkata,
"Mama akan bujuk papa kamu nanti sepulang dari luar negeri. Ini hanya sedikit, nanti mama akan beri lagi kalau kurang."
"Terima kasih, Ma. Tapi ini kebanyakan. Aku hanya butuh empat ratus ribu lagi untuk kekurangannya."
"Pakai saja. Kebutuhan kamu bukan hanya bayar biaya rumah sakit. Belilah keperluan lain."
Naran sangat terharu dengan kebaikkan ibunya. Ia pun menerima dengan mata berkaca-kaca.
"Terima kasih. Nanti kalau sudah punya rejeki lebih, pasti aku ganti."
"Mama bukan pinjamkan, loh. Ngasih," sela sang ibu.
Naran menyungging senyum.
"Iya, tahu. Tapi, aku ingin belajar mandiri, Ma. Ingat, anakmu ini sebentar lagi jadi ayah, loh. Masa harus terus tergantung sama mama. Nanti jadi kebiasaan."
Ibunya terkikik geli. Ia menghapus air mata yang membasahi pipi. Hancur sudah suasana melow yang sedari tadi dirasa. Semua karena Naran.
"Kamu ini. Mama lagi serius juga. Ngomong-ngomong kamu tidur di mana beberapa hari ke belakang? Di rumah Ify?"
Laki-laki itu menghela napas berat. Andai saja yang ibunya tanyakan benar.
"Kami juga diusir oleh ibunya Ify. Semua sulit, Ma. Sekarang numpang tinggal di mas Richard," jawab Naran jujur. Tak ada lagi yang perlu ia sembunyikan.
Ibunya diam sesaat. Agak terkejut mendengarnya.
"Kalian numpang di rumah Richard, ya? Bagaimana kalau mama carikan tempat tinggal aja. Mau, ya?" Sekali lagi ia menawarkan hal itu meski tahu anaknya pasti akan menolak.
"Makasih banyak, Ma. Itu nggak perlu. Aku akan berusaha mengatasi semua berdua dulu. Sambil cari peluang untuk melunakkan hati papa dan ibu Ify." Naran menolak lagi dengan alasan tersebut.
"Ya, sudah. Terserah kamu. Di manapun kamu berada, baik-baik di sana. Jaga kesehatan, jangan lupa kabari mama kalau ada apa-apa. Ngerti?"
Naran mengangguk sambil tersenyum. "Sekali lagi makasih banyak, Ma. Oh, ya. Soal aku dan Ify, apa mama sudah enggak marah?"
Ibunya diam sebentar, membuang napas besar.
"Meski mama kecewa berat sama kamu, bukan berarti mama akan seegois itu, Ran. Mama memikirkan Ify juga. Kasihan dia. Mama tahu itu kesalahan, dan kalian juga perlu diberi kesempatan untuk dimaafkan. Dan ... mama juga akan menantikan kelahiran cucu pertama mama. Jaga ibu dan anakmu baik-baik, ya."
Naran lega. Ternyata hati ibunya begitu besar. Tak peduli seberapa fatal kesalahannya, sang ibu tetap memaafkan. Laki-laki yang belakangan merasa begitu putus asa pun merasa bersyukur.
"Terima kasih, Ma." Dan hanya kata itu yang mampu Naran ucap.
Wanita di hadapannya mengangguk. Sekali lagi mengusap bahu Naran.
"Mama tak punya banyak waktu. Pasti sekarang anak buah papa kamu lagi sibuk nyariin. Mama pergi dulu, ya." Ia mengusap Naran sebelum pergi. Laki-laki itu lagi-lagi hanya mengiyakan.
Sepeninggal sang ibu, lekas dirinya pamit pulang pada bos-nya, pergi menuju rumah sakit.
Begitu sampai, Naran langsung ke bagian staf admin dan menanyakan berapa rincian semuanya. Siapa tahu bertambah atau mungkin ada biaya lainnya lagi.
"Untuk pasien bernama Ify, semua tagihan sudah lunas, Pak."
Namun, ia dikejutkan dengan pernyataan suster tersebut.
"Sudah lunas? Siapa yang membayarnya, Sus?" Naran sungguh bingung.
"Betul, Pak. Sudah dibayarkan oleh wanita bernama Sofia."
Deg!
Jantung Naran serasa dipukul keras.
"Sofia?"
"Betul, sekarang beliau sedang berasa bu Ify di kamar pasien."
Tanpa kata lagi, Naran berlari menuju kamar yang dihuni Ify. Dan benar saja, ketika sampai, ia disambut dengan tatapan tajam dari Sofia.