Baru beberapa hari bergelar istri seorang Nazam, Sofia sudah sangat frustrasi dengan kepelitan tingkat dewa laki-laki itu.
List pengeluaran ditagih setiap malam. Membuat Sofia geleng-geleng kepala tak percaya.
Sore itu Nazam baru saja pulang dari kantor. Ia disambut dengan bau gosong ketika masuk.
"Sofia? Sofia!" panggilnya sambil menutup hidung dengan tangan. Gegas juga dirinya menuju area tempat masak.
"E-eh, Mas? Kapan datang? Kok, enggak kedengeran, he he."
Perempuan itu nyengir kuda. Sementara Nazam mematung sempurna, kaget luar biasa melihat penampakkam istrinya yang amat kacau.
Pipi Sofia cemong, wajan gosong dan berasap, cipratan air di mana-mana, dan tampak sesuatu dalam piring putih menggumpal tak jelas bentuknya.
"Astaga ... Sofia, kamu apakan dapurku?" Tas yang ditenteng di tangan jatuh ke lantai. Tanda-tandanya darah Nazam mulai mendidih karena mulai emosi.
Sofia menggaruk kepala yang tak gatal. Bingung ingin membuat alasan bagaimana. Melihat wajah Nazam mengeras, ia harus berpikir keras untuk mencari solusi agar Nazam memaafkannya.
"Mas, tunggu, Mas. Jangan marah dulu. Aku hanya sedang belajar masak. Kan, ini juga kamu yang suruh ...."
Gigi Nazam berbunyi gemeretuk cukup jelas. Membuat Sofia berkeringat dingin.
"Sofiaaa!" Nada ucapan Nazam mengeras
"Ampun, Mas! Enggak sengaja, tadi aku kebelet mau ke toilet. Aku lupa matikan kompor dan ...." Membuat wanita di hadapannya menciut ketakutan.
Nazam mencoba meredam amarahnya dengan menghela napas besar, mengeluarkannya secara cepat setelah melihat lutut Sofia gemetaran.
"Cepat bersihkan semua kekacauan yang kamu buat. Setelah itu temui saya di ruang utama!" titah Nazam sembari menarik dasi sebagi pelampiasan.
Sofia langsung mengangguk cepat.
"I-iya, Mas."
Laki-laki itu pun memunggungi Sofia dengan dingin. Meninggalkannya yang kini didera ketakutan dengan dekatak jantung yang tak teratur. Kasihan sekali wanita itu.
'Baru pulang kerja. Capek dan inginnya disambut dengan senyuman hangat istri, malah disambut dengan dapur yang hancur berantakan. Untung rumah ini tak sampai meledak.' Nazam memijat pelipis mata untuk menenangkan diri.
Perut keroncongan, ditambah pusing dengan kelakuan Sofia membuat hari penuh bebannya bertambah berat dan memusingkan.
'Kalau gini caranya aku tak akan pernah bisa membuka hati untuknya,' sambung Nazam dalam hati.
Gregetan karena ulah Sofia, ia menjadi malas melakukan apa pun. Sejak tadi hanya duduk di sofa menunggu istrinya selesai membereskan kekacauan yang diciptakan. Sampai-sampai tanpa sadar malah ketiduran.
"Mas, Mas ...." Sofia menyentuh bahu Nazam, membangunkan dengan lembut.
Oh, tidak. Lebih tepatnya dengan suara pelan karena takut. Takut kena marah lagi.
Nazam membuka mata sedikit. Tubuhnya menggeliat bebas. Sejenak pikirannya masih berada di alam bawah sadar, membuat dirinya beradaptasi dahulu dengan dunia nyata.
"Sof ... kamu ngapain di situ?" Ia baru saja sadar, meski belum semua bagian nyawa terkumpul dalam raga. Bahkan pandangan matanya masih agak mengabur saat melihat Sofia.
"Saya sudah siap untuk dimarahi," lirih wanita itu berkata pasrah. Wajahnya sudah tak cemong lagi.
Nazam mengucek mata, masih mencerna apa yang Sofia katakan. Untuk beberapa saat dia lupa kalau tadi sedang menunggu istrinya selesai beres-beres untuk dimarahi.
"Ah, ya ...." Nazam menganggukkan kepala ketika ingat soal kejadian hancurnya dapur pribadinya karena ulah Sofia.
Sofia cemberut, hanya bisa menerima.
"Jadi—" Baru saja ingin mengatakan suatu hal, atau lebih tepatnya ingin mengomel, ucapannya terpaksa tak bisa dirampungkan karena teleponnya mendadak berbunyi. "Sebentar."
Laki-laki itu mengeryitkan dahi melihat siapa yang menghubunginya.
'Ayah Mertua.' Nama itu yang tersemat dalam layar ponsel. 'Ada apa, ya? Jangan-jangan Sofia melapor karena aku mau memarahinya. Dasar.' Parahnya Nazam begitu curigaan, terlalu cepat mengambil kesimpulan konyol.
Matanya menyipit memandang Sofia. Wanita itu menunduk. Antara kesal dan pasrah, ia merasa ingin sekali protes kenapa diperlakukan seperti burung dalam sangkar saja. Selain dibatasi untuk tak sering keluar rumah, ia juga sering diomeli kalau sedikit boros dalam hal apa pun. Benar-benar membuat Sofia sesak.
'Kalau gini terus, bisa mati penasaran aku,' omelnya dalam benak. Akan tetapi ia juga sadar diri, ingat nasihat ibundanya bahwa ia tak boleh berkata buruk kepada suami.
"Halo, Yah." Nazam memelankan nada bicaranya saat mengangkat telepon.
'Yah? Yah siapa?' Sofia penasaran.
"Apa? Oh, baik. Saya akan segera sampaikan pada Sofia. Iya, kami akan segera ke sana."
Panggilan berakhir, tetapi mata yang terlihat terkejut itu semakin membulat. Kini menatap Sofia.
"Ada apa, Mas? Itu siapa? Ayahku, kah?"
"Ayo siap-siap. Kita pergi ke rumah sakit. Kata ayah, ibu kamu di rumah sakit sedang dirawat."
Bagai tersambar petir di siang bolong. Sofia terperangah mendengar berita tak mengenakkan tersebut. Lantas, dengan perasaan gelisah ia bergegas siap-siap menuju rumah sakit. Lupa sudah keduanya dengan soal 'hancurnya dapur' tadi.
Untunglah bukan hal serius. Ibunda Sofia hanya pingsan kelelahan. Sofia bisa sedikit bernapas lega.
Namun, tanpa disangka di sanalah Sofia melihat Naran tanpa sengaja. Diam-diam tanpa sepengetahuan Nazam dirinya membuntuti laki-laki itu.
Sofia melihat Naran ke bagian staf administrasi dan menanyakan rincian pembayaran rawat inap Ify, setelahnya laki-laki itu bergegas pergi. Sofia mendengarkam semua.
'Kalian mengkhianati aku, dan lihatlah bagaimana sekarang kalian hidup,' batin Sofia.
Di satu sisi ia sangat sedih mengetahui kondisi Ify dan Naran, di satu sisi lain ia juga benci. Mengapa harus tahu tentang kabar mereka?
"Kamu ngapain di sini? Bukannya ikut ke ruangan bunda kamu," tegur Nazam.
Sofia kelabakkan dan banyak alasan. Ia pun segera menyeret suaminya dari tempat. Namun hal itu justru membuat laki-laki itu curiga. Ia diam-diam kembali ke bagian staf administrasi dan menanyakan apa yang istrinya lakukan.
***
Esoknya Nazam masih diam, tetapi ia melihat istrinya tak fokus seharian.
"Kamu lagi mikirin sahabat sekaligus penghancur hubunganmu itu, ya?" Dan akhirnya Nazam angkat suara.
Sofia terkesiap kaget, sampai buku yang sedang dipegangnya jatuh.
"Enggak usah kaget. Saya sudah tahu dia ada di rumah sakit itu. Kenapa? Apa masalahnya, Sofia? Kenapa kamu nanya-nanya soal biaya admin dia, hm? Mau bayarin?" tanya Nazam menatap sengit.
Wanita itu kesulitan keluar dari zona kaget, ia salah tingkah. Jika dia boleh jujur, dalam lubuk hati memang ingin membantu. Namun, ketika teringat kembali dengan pengkhianatan yang mereka lakukan, sudi benar, mengapa ia punya pemikiran seperti itu.
"Mas, aku ...." Sofia meragu.
"Aku tahu kamu baik, tapi—"
"Iya, Mas. Saya tahu harus HEMAT! Ya, sudah kalau begitu jangan buat saya jadi kepikiran lagi." Sofia kelewat kesal, ia pun bangkit melengos pergi masuk ke kamar.
Nazam menggeleng.
"Dasar. Kenapa, sih, dia itu pikirannya sempit sekali?" Ia bangkit dari sofa dan menyusul Sofia.
"Ayo ke sana," ajaknya tiba-tiba. Membuat Sofia diam karena bingung.
"Ke sana ke mana?"
"Ke rumah sakit. Ayo temui dia. Saya akan bayar semua tagihannya kalau kamu mau."
Dan begitulah akhirnya. Sofia yang masih memiliki rasa simpati terhadap mantan teman baiknya pun memutuskan untuk membantu Ify.
Ini adalah perdana, Nazam si pelit sejagad raya mau mengeluarkan uang dengan nominal lumayan besar. Sofia sampai tak percaya, apakah benar dia suaminya?