Langkah ibunda Sofia terasa berat ketika hendak memasuki kamar. Teringat betapa kasihan anak gadisnya, dengan bodoh menangisi lelaki berengsek itu selama berjam-jam. Berapa kalipun keluarganya berusaha menghibur, tak bisa membuat kesakitan yang Sofia rasa hilang.
Air mata putrinya jatuh sia-sia. Semua karena Naran. Keluarga lelaki itu hanya mengganti semua kerugian biaya pernikahan yang telah keluarga Sofia keluarkan. Selebihnya hanya kata-kata basi tentang permintaan maaf yang sebenarnya tak perlu. Sebab, seberapa kali mereka memohon maaf, hal itu tak bisa mengubah apa pun. Semua telah berakhir.
Kalaupun pernikahan tetap dilanjutkan, keluarga besar Sofia pastinya akan sangat murka. Naran lebih baik menikahi Sofia dan Ify sekaligus. Benar-benar lelaki paling berengsek di dunia. Pantas saja jika Beno ingin sekali membunuhnya. Sayangnya masih ada hukum yang melindungi lelaki berengsek itu.
"Spadaa!" Suara sapa terdengar setelah bel rumah berbunyi. Bukan hanya terdengar satu suara, tetapi ramai.
Ayah Sofia yang sedang memijat kening dengan jari-jarinya menoleh pada sang istri. Siapa pikirnya yang datang bertamu di malam hari padahal sudah hampir enam jam jam hari mereka sangatlah kacau.
Ibu Sofia berjalan cepat menuju pintu.
"Iya, siap—a?" Ucapan ibu Sofia sedikit terjeda usai menyadari siapa tamu itu.
"Mbak, Mas?" Mata ibunda Sofia memebelalak kaget melihat sanak saudaranya yang tiba.
Kakak iparnya langsung memeluk ibu Sofia, tak peduli jika wanita itu kini wajahnya tegang sekali.
"Akhirnya sampai juga. Ayo turun semuanya, sudah tak sabar, kan mau bertemu calon manten." Kakak lelaki ibu Sofia segera menginstruksikan semua penumpang minibus yang kini terparkir di halaman.
Suasana riuh di luar tak membuat ketegangan ibunda Sofia reda. Justru rasanya semakin menjadi saja sampai ia tak bisa berkata-kata.
Keterkejutan ibu Sofia bertambah lagi ketika melihat semua sanak saudara ikut diboyong juga. Termasuk mbahnya yang hampir berumur delapan puluh. Sungguh luar biasa mereka bisa sampai ke jantung kota Jakarta tanpa arahan darinya.
Ah ... ibu Sofia baru ingat jika keluarganya memang akan datang sebelum hari pernikahan Sofia. Ia lupa belum memberitahu yang sebenarnya kepada mereka. Ibu Sofia sangat stres sekarang. Melihat betapa ceria wajah mereka, bagaimana caranya nanti menyampaikan berita buruk yang telah terjadi. Oh, Tuhan.
"Siapa, Bun?" Ayah Sofia menyusul setelah mendengar betapa riuhnya di teras rumah.
Ayah Sofia sama terkejutnya setelah melihat rombongan keluarga besar sang istri datang sesuai janji. Demi menyaksikan acara sakral putrinya, mereka rela menempuh perjalanan jauh ini.
"Apa kabar kalian? Sudah setahun tidak jumpa. Sekalinya kasih kabar, soal pernikahan Sofia" Kakak ibu Sofia menyapa dan menyalami ayah Sofia yang masih mematung gelisah. Apalagi setelah mendengar nada gembira ketika berkata soal pernikahan anaknya.
Ayah Sofia hanya iya-iya saja sambil menunjukkan senyum palsu yang dipaksakan. Tangannya mulai berkeringat dingin, berpikir bagaimana caranya ia menyampaikan soal pembatalan pernikahan antara Sofia dan Naran. Melihat betapa riang wajah mereka, untuk menyampaikan kabar tersebut sangatlah sulit.
***
Sofia masih saja terisak. Luka batin yang ia rasa belum juga membuat air matanya surut. Bahkan semakin larut, sakitnya semakin akut.
Beberapa foto dengan bingkai dan kaca pecah berserak di lantai. Itu adalah foto Sofia dan Naran. Sebagian lagi adalah potret dirinya dengan Ify.
Hingga saat ini pelampiasannya hanya bisa sampai begitu. Sofia memilih memblokir dan menghapus nomor Ify serta Naran. Jika bisa, ia ingin sekali memusnahkan mereka seperti mereka dengan mudah membuat menara cintanya musnah. Hancur sekejap mata.
Sofia tak pernah berpikir jika Ify yang akan menjadi orang ketiga, dari sekian banyaknya wanita. Kenapa? Kenapa bisa! Dan hanya itu yang kini memenuhi pikirannya. Semakin dipikir, semakin kebencian berakar dalam.
Tok! Tok! Tok!
"Sofia, bisa buka pintunya sebentar? Ada Nymas, nih mau ketemu kamu." Ibunda Sofia mengetuk pintu.
Mendengar nama Nymas, Sofia menoleh ke arah pintu. Gegas ia turun dari ranjang untuk membuka pintu.
"Mbaak!" Sofia memeluk erat wanita muda di hadapannya. Usia mereka hanya terpaut beberapa tahun lebih tua Nymas.
"Iya, Sayang. Nymas sekeluarga datang serombongan, tuh." Ibu Sofia menerangkan sedikit.
Sofia tercenung sebentar, kemudian di detik berikutnya raut sedih itu kembali muncul di air muka. Sofia tahu keluarga besarnya datang untuk menyaksikan pernikahannya, tapi apa boleh buat semua tak akan pernah terjadi.
"Sofia tambah cantik setelah tidak ketemu setahun, ya." Nymas menggoda Sofia, tetapi wanita itu masih tenggelam dalam sedihnya. Ia hanya menganggkat bibir miring.
Nymas. Wanita itu adalah anak dari kakak ibundanya yang sering kali bertukar kabar lewat telepon. Jangan tanya seberapa akrab mereka. Hubungan saudara ini lebih erat ketimbang dengan kakak kandung sendiri, Beno. Dari kecil, Sofia memang paling senang kalau ketemu Nymas ini.
"Sofia ...." Pandangan Nymas tertuju pada kamar Sofia yang berantakan luar biasa. Namun, ia paham akan situasi ini.
Sofia menyadari kalau Nymas sudah tahu sebab akibat semua terjadi. Ia sedikit lega, jadi tak usah menunjukan kepalsuan di wajahnya.
"Kalian mau ngobrol di kamar aja, atau turun ke bawah?" tanya ibu Sofia memastikan. Meski wajahnya muram, ibu Sofia tetap berusaha tersenyum meski hati sedang perih.
Sofia meremas jemari Nymas sebagai isyarat. Membuat Nymas mengerti jika Sofia sedang butuh ketenangan. Meski sebenarnya dalam hati ia tak berniat menghindari sanak saudaranya.
"Kami di sini aja, Bun." Nymas angkat bicara. Meski ibu Sofia bukanlah ibunya, Nymas ternyata memanggilnya Bunda. Ini karena kebiasaan. Dan tak ada yang keberatan soal ini.
Ibu Sofia mengangguk, kemudian berlalu meninggalkan dua gadis muda itu. Jauh dalam benak, ibu Sofia berharap jika Nymas bisa sedikit menghibur putrinya yang sedang dilanda galau.
Dua pasang mata saling bertabrakan. Nymas menatap wajah murung Sofia lekat.
"Mbak pasti sudah tahu, kan?" tanya Sofia sembari menuntun Nymas masuk ke dalam. Mereka kini duduk di tepi ranjang.
Nymas mengangguk dua kali.
"Naran jahat, Mbak. Hati Sofia sakit." Air matanya kembali luruh setelah ia coba tahan sejak tadi.
"Sabar ya Sofia. Masih bagus semua ketahuan sebelum pernikahan terjadi. Itu tandanya Tuhan masih sayang kamu. Tidak mau kamu terluka lebih dari ini."
Nymas mengelus kepala Sofia penuh perhatian. Di satu sisi dirinya sangat sedih, di satu sisi ada kelegaan melihat Sofia bisa lepas dari lelaki bernama Naran itu.
Belum juga usai pembicaraan keduanya, ketukan di pintu kembali terdengar. Kali ini sang ayah yang datang.
"Sofia, turun sebentar, Nak. Ada yang mau ayah bahas. Penting," ucapnya dengan raut serius.
Sofia sejatinya adalah anak penurut. Maka kali ini ia juga mengikuti kemauan sang ayah meski ada rasa enggan.
Nymas ikut turun. Kedatangan Sofia dengan mata merah dan sembab menjadi pusat perhatian. Namun, gadis itu mengukir senyum untuk mematahkan kecanggungan. Lantas, menyalami satu-satu.
"Ada apa, Yah?"
Hening. Sebegitu banyaknya tamu, mereka tak bicara. Ada tiga anak kecil, telah tertidur di pangkuan juga sofa.
"Pernikahan kamu akan tetap berlanjut meski tanpa Naran."
Kata-kata ayahnya bagai sebuah lelucon. Maksudnya? Sofia menganga tak bisa berkata-kata.
"Ada laki-laki bernama Nazam yang mau menjadi pengganti calon mempelai pria."
Apalagi ini. Sofia langsung lemas. Maksudnya? Lagi-lagi dirinya bertanya pada diri sendiri. Nazam siapa?