Ariela menatap gang yang ada di ujung jalan. Ia melirik pria yang ada di sampingnya. Ariela menarik napasnya panjang lalu membuangnya.
"Saya turun di sini saja. Terima kasih atas tumpangannya."
Rey menganggukkan kepalanya. Ia memberikan cek ke wanita yang sudah melayaninya.
"Ini untuk kamu. Dan satu lagi, tolong pikirkan tawaran saya."
Ariela menganggukkan kepalanya sambil menerima cek dari pria yang sudah mengantarkannya.
Biasanya Ariela selalu menolak. Tapi, pria yang ada di sampingnya ini benar-benar membuat Ariela mengelus dadanya sendiri. Sangat sulit menghadapinya.
"Terima kasih."
"Saya harap kamu tidak menolaknya."
"Saya akan memikirkannya. Kalau gitu saya permisi dulu."
Rey mengangguk dan melihat wanita itu turun dari mobilnya. Rey menurunkan kaca jendelanya karena melihat Ariela masih berdiri di sisi mobilnya.
"Masuklah, saya akan pergi setelah melihat kamu benar-benar baik-baik saja."
Ariela memutar kedua bola matanya dengan kesal. Ia sedang berpikir bagaimana jika Rey mengikutinya.
"Cepat, katanya ibu-mu sendang menunggu kehadiran kamu?!"
Ariela hampir lupa. Ia menganggukkan kepalanya. Seharusnya sejak tadi ia sudah tiba di rumah. Bagaimana dengan keadaan ibunya yang sudah waktunya control ke rumah sakit.
Ariela tidak pernah mengeluh sama sekali. Walau terasa sangat lelah, ia tetap mementingkan Kesehatan ibunya. Hanya beliau yang ia miliki saat ini. Dan Ariela akan berusaha menjaganya dengan baik selama ia mampu.
Di mobil Rey.
Rey mengeluarkan ponselnya. Ia meminta anak buahnya untuk mencari informasi mengenai Ariela. Entah kenapa ia sangat tertarik dengan wanita itu. Padahal sebelumnya ia tidak pernah merasa seperti ini.
Rey masih memerhatikan punggung Ariela. Punggung yang akan ia ingat.
Rey mematikan sambungan teleponnya. Ia langsung melajukan mobilnya.
"Aku pasti akan mendapatkan kamu," gumam Rey.
Di sisi lain.
Ariela menatap sendu saat melihat ibunya yang masih tidur. Wanita paruh baya itu benar-benar sangat membuatnya merasa sedih. Dan hanya karena ibunya itu Ariela bertahan bekerja di tempat terkutuk itu. Ariela sangat sedih sekali.
Ariela mengganti pakaiannya. Untung saja tidak banyak orang tadi di luar sana. Jadi ia tidak merasa malu karena memakai pakaian seksi. Biasanya Ariela suka pulang ke mess lebih dulu hanya untuk mengganti pakaiannya. Tapi karena Rey keras kepala ingin mengantarnya pulang. Ariela jadi tidak berpikir panjang.
"Bu, kita ke rumah sakit ya," ucap Ariela usai mengganti pakaiannya.
"Kamu sudah kembali?" tanya Elise—Ibu Ariela.
"Hmmm, Ibu harus segera sembuh agar kita bisa pergi jalan-jalan."
Wanita paruh baya itu tersenyum. "Percuma jika Ibu pergi tapi tidak bisa melihat dengan jelas."
"Ibu …, jangan bicara seperti itu. Aku akan segera mendapatkan dokter mata terbaik untuk Ibu. Dan Ibu juga harus sembuh dari penyakit Ibu biar kita bisa menikmati kebahagiaan ini bersama."
Ariela memeluk tubuh ringkih ibunya. Hatinya benar-benar sangat tersayat sekali. Ia tidak pernah membayangkan jika kehidupannya akan sesulit ini. Andai saja ayahnya masih hidup, mungkin ia tidak akan bekerja seperti ini.
Ariela mulai menitikan air matanya. Ia sama sekali tidak sanggup menghadapi semua ini seorang diri. Tapi yang ia miliki saat ini hanyalah ibunya seorang. Ariela hanya ingin membuat wanita paruh baya ini bahagia. Ia tidak ingin melihat kehidupan ibunya sulit terus.
"Kamu menangis?"
"Tidak Bu, aku tidak menangis. Aku akan membantu Ibu untuk bersiap-siap ya."
Ariela membantu mengambilkan pakaian ganti untuk ibunya. Ia tidak pernah patah semangat jika untuk ibunya. Baginya wanita yang sudah melahirkannya itu adalah segala-galanya untuk dirinya. Hidupnya hanya untuk ibunya seorang.
Ariela dan ibunya langsung menuju rumah sakit. Kali ini, Ariela bisa mengajak ibunya pergi menggunakan taksi. Biasanya Ariela akan pergi naik bus dan pulang naik taksi.
Ariela sebenarnya sedikit senang karena Rey memberikan banyak uang. Tapi ia harus mengambilnya di bank dan tidak mungkin ia meninggalkan ibunya di rumah sakit. Untung saja, Ariela masih memiliki uang simpanan untuk berobat. Jadi ia bisa mengambilnya besok sebelum menuju club.
Ariela menatap sendu ke arah ibunya. Dilihat dari raut wajah ibunya ia nampak bahagia. Senyum di wajahnya selalu bisa Ariela lihat jika mereka keluar dari rumah.
Rasanya, Ariela ingin sekali bisa mengajak ibunya pergi setiap hari. Tapi keadaannya tidak memungkinkan. Selain Ariela harus bekerja dengan giat. Wanita paruh baya itu juga membutuhkan banyak istirahat.
Beberapa saat kemudian. Mobil yang mereka tumpangi tiba di rumah sakit. Ariela membayar taksinya lalu membantu ibunya turun dari mobil.
Ariela memeluk lengan ibunya dan mereka berjalan masuk ke dalam.
"Hati-hati Bu, ada beberapa anak tangga di depan Ibu."
"Iya sayang. Kamu jangan cemas. Ibu sudah paham jalan ini. Setidaknya, Ibu masih bisa melihat walau tidak jelas."
"Tetap saja, Bu. Aku akan selalu menghkawatirkan Ibu."
Wanita paruh baya itu tersenyum. Ia menangkup tangan putrinya yang melingkar di lengannya.
"Kamu anak baik. Ibu bangga memiliki kamu."
"Tentu saja, kan Ibu yang sudah mendidik aku untuk jadi anak baik."
"Kamu sama seperti ayahmu. Dia pria yang hebat sama seperti kamu. Ibu jadi merindukannya, apa kita bisa mengunjunginya?" tanya Elise.
Ariela menganggukkan kepalanya. "Tentu saja, kita akan mengunjunginya usai berobat. Hari ini, aku akan membawa ke mana saja Ibu inginkan. Kita akan pergi makan sup ayam jahe terenak di kota ini dan kita akan bersenang-senang hari ini."
Elise tersenyum. Ia tahu anaknya pasti sangat sulit sekali untuk mendapatkan banyak uang. Andaikan saja ia bisa membantu putrinya untuk mencari nafkah. Pasti Ariela tidak akan sesulit ini.
Walau sudah tua dan tidak bisa melakukan pekerjaan berat. Elise tetap tidak ingin menyusahkan putrinya. Sebisa mungkin, ia mencoba baik-baik saja jika berada di hadapan putrinya. Dan Elise akan membuat makanan kesukaan putrinya sebelum Ariela pulang. Tentu saja, semua yang dilakukan Elise dibantu oleh seseorang yang Ariela percaya.
"Bu, duduk dulu di sini. Aku daftar dulu ya," ucap Ariela lembut dan Elise menganggukkan kepalanya.
Tak jauh dari Elise duduk, ada seorang pria yang memerhatikan mereka berdua. Pria itu tidak ingin kehilangan jejak kedua wanita yang memang sedang diikutinya itu. Ia harus bisa menjalankan tugasnya sebelum bosnya membunuh dirinya karena tidak bisa bekerja dengan baik.
Pria itu menghubungi seseorang dengan menggunakan ear phone yang selalu melekat di telinganya itu.
"Boss, mereka di rumah sakit. Sepertinya ibunya sedang sakit. Saya akan mencari tahu apa penyakit ibunya."
Setelah mendengarkan jawaban dari ujung telepon sana, pria itu mematikan sambungan teleponnya lalu ia kembali mengawasi Ariela dan ibunya.
Elise mencoba memerhatikan di mana putrinya berada. Ia tadi sempat melihat bayang-bayang putrinya yang berjalan menuju meja pendaftaran. Elise jadi berpikir, andai saja matanya bisa disembuhkan. Ia pasti tidak akan menyusahkan putrinya seperti ini. Elise berharap jika kedua matanya bisa melihat dengan jelas. Dengan begitum ia tidak akan membuat Ariela kesulitan lagi.
Bersambung