"Ay? Masih marah?" Sagara sibuk mencolek-colek lengan sang istri yang saat ini sedang makan sambil mengamuk.
Cara makan Shayna sangatlah elegan. Sagara mengakui hal itu. Siapapun yang melihat bagaimana Shayna duduk dan makan pasti tidak akan berpikir bahwa gadis itu sedang menyumpah. Ya! Shayna sedang menggerutu. Dia menyumpahi banyak hal. Terutama masalah kematian Ferdi.
"Ay, udah kali! Jangan gitu banget mikirinnya. Harusnya lo seneng kalau pelakunya udah mati."
Mendengar ucapan Sagara, Shayna mengerutkan kening. Sagara masih belum mengerti juga bahwa kematian Ferdi adalah hal yang lebih buruk dari teror itu sendiri. Karena kematian Ferdi menandakan bahwa pelaku masih berkeliaran.
Ya, pelaku masih berkeliaran. Tidak jauh. Hanya sedang makan nasi goreng di depan korban.
"Ferdi bukan pelakunya. Udahlah, males ngomong sama kamu!" Shayna diam. Dia tidak menggerutu lagi. Yang gadis itu lakukan murni hanya makan. Sibuk mengunyah, sampai akhirnya timbul keinginan untuk berbelanja.
"Mas, habis ini anterin belanja ya?" Tanya Shayna.
Sagara menganggukkan kepalanya, bertanya sesuatu yang jawabannya padahal sudah dia ketahui. "Pakai duit lo 'kan? Awas aja lo morotin gue. Lagi miskin nih gue!"
"Astaga… ya iyalah pakai uang aku. Lagian yang ngasih nafkah kamu juga aku!" Kesal Shayna. Suasana hatinya seburuk itu. Sangat amat buruk sehingga membuat dia cenderung berkata ketus. Sagara tidak mempermasalahkannya. Dia mengerti kekesalan dalam diri Shayna.
Lagipula Sagara sendiri yang membuat Shayna kesal.
Salah sendiri menyadari bahwa Ferdi bukan pelakunya. Jika saja Shayna pura-pura bodoh dan tidak teliti, mungkin tembakan itu tidak akan menebas nyawa Ferdi.
Sikap Shayna yang terlalu teliti secara tidak langsung membuat Ferdi terbunuh. Mati sia-sia begitu saja.
***
***
Sepanjang menjelajah Mall, Shayna terlihat begitu berwibawa. Aura yang ada pada dirinya membuat semua orang tampak segan dan hormat secara bersamaan.
Setiap dia masuk ke sebuah toko, maka para pelayan akan berebut untuk melayaninya. Seolah tau Shayna adalah seorang bos besar yang hendak membeli banyak barang.
"Mas kata kamu bagus gak tas yang ini?" Tanya Shayna memperlihatkan tas berukuran cukup kecil. Tas yang katanya limited edition padahal ukurannya mengejutkan. Dengan dompet Sagara yang masuk angin saja sepertinya lebih besar dari dompet Sagara.
"Lo beli tas gituan buat apa? Wadah dosa?" Tanya Sagara, tampak tak suka.
Wajah Shayna seketika cemberut. Namun, itu tidak bertahan lama sampai dia sadar bahwa dia yang membayar. Dia membelinya menggunakan uangnya sendiri. Jadi, dia tidak perlu meminta pendapat sang suami. Bukan begitu?
"Mbak saya mau ini satu ya." Kata Shayna, mengejutkan Sagara.
"Wah, serius? Lo beli itu Ay?"
Shayna mengangkat pundaknya, menepuk lengan Sagara dan melenggang melewati sang suami dengan santainya.
Berjam-jam berbelanja, Shayna akhirnya selesai juga. Dia pikir dia akan berbelanja banyak mengingat dirinya sedang sangat stres. Akan tetapi, berbelanja dengan Sagara justru membuatnya semakin stress. Di awal Sagara masih diam. Di akhir…
Dia membungkus banyak hal. Dari pakaian, jam tangan mahal, bahkan hingga ke game keluaran terbaru. Sedangkan Shayna hanya membeli beberapa barang saja. Itupun harganya masih jauh dibandingkan harga jam tangan Sagara yang sangat menguras dompet.
Sampai di dalam mobil, wajah Shayna kusut kembali.
"Seneng sekarang? Udah gak stres lagi mikirin Ferdi?" Tanya Sagara, berlagak seolah dia baru saja menghibur sang istri. Padahal yang dia lakukan adalah membuat istrinya semakin stres.
"Tambah stres, Mas. Kamu belanja lebih mahal dari aku." Ketus Shayna, mulai menjalankan mobilnya.
Sepanjang Shayna menggerutu, Sagara justru tertawa sambil menikmati kentang goreng yang tadi sempat dia beli.
"Emang paling bener tuh belanja sendirian— ih!" Shayna kesal saat Sagara menyuapi dia dengan beberapa buah kentang goreng. Bagaimana jika dia tersedak dan kecelakaan?!
"Makan, ngoceh mulu. Berisik tau Ay!"
Shayna melotot ke arah sang suami. "Aku gak akan ngoceh kalau kamu gak banyak tingkah."
"Aku cuman beli beberapa barang, Ay! Gak banyak."
"Tapi jam tangannya seharga mobil Mas Sagara sayang…"
"Tas kamu juga seharga motor keluaran terbaru, Shayna sayang…"
Keduanya sama-sama mengucapkan kata sayang tanpa perasaan yang benar. Hanya sebatas omong kosong dari mulut keduanya.
Sibuk berdebat, tanpa sadar ponsel Sagara berdering sejak tadi. Pria itu segera menjawabnya saat melihat yang menghubunginya adalah perawat pribadi sang kakek.
"Kenapa Tin?"
"Tini?" Sahut Shayna.
Sagara mengangguk. "Oke-oke. Gue sama Shayna kesana sekarang."
Mendengar nada panik dari sang suami, Shayna ikut khawatir. "Kenapa Mas?"
"Kakek… pingsan di kamar mandi."