Galang baru saja, keluar dari dalam kamar mandi. Pria lalu, mengecek handphonenya matanya melotot tajam ketika dirinya ingat jika hari ini ada janji bertemu dengan Hanin.
Diliriknya jam sudah pukul 20.00 malam, Galang berharap jika istrinya itu tidak ada di sana.
"Kamu mau kemana?" tanya Wina seolah tidak tahu, akan pergi kemana Galang saat ini.
"Aku harus pergi keluar sebentar Sayang. Nanti jika urusan aku selesai, segera datang lagi," ucap Galang.
"Gak boleh, kamu gak boleh pergi. Pokoknya gak boleh."
Galang memandang ke arah Wina, pria itu tidak akan mungkin kembali mengulang rasa sakit yang sama kepada Hanin, sejak kemarin Galang tidak menghubungi istrinya itu.
"Please kali ini aja. Aku gak bakalan lama kok, cuma sebentar," pinta Galang.
Wina tetap dengan pendiriannya, hingga akhirnya wanita itu mengalah, entah apa yang membuat Wina jadi mengalah dengan keputusan yang tadi sempat menggebu gebu.
Galang pun segera pergi, suara petir terdengar sangat jelas. Dengan, kecepatan tinggi pria itu mengendarai mobilnya.
***
Hanin segera berlari dari tempat tersebut, sebelumnya dirinya membayar minuman yang dia beli. Di tengah derasnya hujan Hanin berjalan tak tentu arah. Wanita itu menangis sekuat tenaga melampiaskan semua kekesalan di dalam dada.
Hanin lalu berlari menuju halte dan duduk di sana dengan derai air mata yang sudah mengalir deras.
"Apa mencintaimu sesakit ini?" tanya Dita.
"Sudah aku katakan untuk tidak pernah menunggu dan mencintaiku."
Deg
Hanin menoleh, ke arah belakang di sana sudah ada Galang yang berdiri di tengah hujan. Tubuh Hanin bergerak menatap ke arah suaminya.
"Bukankah sudah pernah aku katakan bahwa hubungan ini tidak bisa seperti hubungan lainnya. Aku mencintai orang lain dan kamu tahu akan hal itu," ucap Galang. Pria itu tidak suka dengan apa yang baru saja dirinya dengar, keduanya sudah sepakat untuk menjadi teman saja. Kenapa sekarang dirinya mendengar hal seperti ini, dari mulut Hanin.
"Sudah dari awal aku bilang, bahwa kita hanya sebatas teman. Jadi berhenti memiliki rasa yang tak seharusnya kamu miliki. Berhenti menjadi orang yang tersakiti, kita hanya dua orang yang memiliki ikatan tapi tidak mencintai."
Dibawah guyuran hujan, Hanin menangis wanita itu mengeluarkan semua air matanya. Mendengar ucapan yang dilontarkan oleh Galang membuat perasaan Dita sangat sakit, sungguh dirinya di sini memang seperti bayangan.
"Apakah tidak ada sedikitpun rasa itu untuk aku Mas?" tanya Hanin dengan berani. Hanin seharusnya tidak bertanya, karena dirinya sudah tahu apa yang akan menjadi jawaban dari sang suami.
"Kamu tahu jawabannya, berhenti menyakiti diri kamu sendiri. Berhenti berjuang demi apa yang tidak akan mungkin bisa kamu dapat. Hati aku bukan untuk kamu, hati dan perasaan aku hanya untuk Wina."
"Kenapa kamu tidak ceraikan aku saja Mas, dan menikah dengan Wina secepatnya."
"Itu tidak semudah yang dikatakan. Tunggu selama satu tahun ini, aku akan membuat Mama dan Papa mengerti bahwa hubungan kita tidak bisa dilanjutkan. Tolong kerjasamanya."
Hanin lalu berjalan mendekati Galang, mengikis jarak di antara mereka. Dirinya memaksakan diri untuk tersenyum, mencoba untuk menutupi luka yang ada di dalam hatinya. Rasanya Hanin ingin berteriak sekencang mungkin, tapi hal itu tidak mungkin dilakukannya.
"Mas Galang harus balik ke rumah sakit kan? Ayo Mas pergi, kasihan Wina menunggu kamu," ujar Hanin mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
"Biar aku antar ke rumah. Kamu sudah kehujanan," balas Galang.
Dengan senyuman yang dipaksakan Hani menggelengkan kepalanya, wanita itu tidak mau berada dekat dengan sang suami saat ini, dirinya ingin sendirian.
"Gak usah Mas. Kamu pergi aja, pasti sekarang Wina sangat membutuhkan kamu. Aku bisa pulang seorang diri, aku baik baik saja," jawabnya.
Galang segera menarik istrinya dan memeluknya, pria itu mengusap rambut Hanin dengan penuh kelembutan hal ini semakin membuat perasaan dan hati Hanin menangis.
"Maaf, kamu harus buang jauh jauh perasaan yang seharusnya tidak tumbuh. Tolong buang dan lupakan semuanya, cuma satu tahun."
"Iya Mas. Kamu gak perlu berlebihan seperti ini, aku baik-baik saja. Kamu sekarang mending pergi ya. Kasihan Wina sendirian di rumah sakit," ucap Hanin menahan sesak di dalam dadanya.
"Aku antar kamu dulu, jangan buat aku menjadi semakin bersalah."
Hanin hanya menganggukkan kepalanya, keduanya yang sudah basah kuyup akibat hujan yang begitu deras segera masuk ke dalam mobil. Selama diperjalanan tidak ada suara yang terdengar, Hanin hanya diam dan menatap ke arah jendela.
Sesekali, Galang melirik ke arah istrinya. Tidak seharusnya dirinya mengatakan hal seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, hal ini harus dia lakukan. Galang tidak mungkin memberikan harapan yang salah. Karena orang yang ada di dalam hatinya itu hanya Wina, wanita pertama yang berhasil membuat Galang merasakan cinta pertama.
***
"Mas mampir dulu. Ganti baju, biar gak sakit," ucap Hanin.
Galang menggelengkan kepalanya, "Gak usah. Aku langsung pergi aja, kasihan Wina sendirian," jawab Malik. Mendengar jawaban tersebut, membuat Hanin hanya bisa tersenyum miris, wanita itu tidak yakin dengan hatinya yang mungkin sudah sangat sakit. Kenyataan yang begitu menyayat hati, mencintai tapi dilarang untuk mencintai.
"Kamu hati hati ya Mas. Titip salam sama Wina, semoga cepat sembuh," ujar Hanin.
Galang menganggukan kepalanya, lalu pergi dari tempat tersebut mengendarai mobil itu, Hanin hanya mampu terdiam menatap ke arah mobil yang sudah pergi menjauh.
"Tidak bisakah, aku ada di dalam hati kamu Mas? Apa untuk mencintai seorang diri juga tidak bisa?" ucap Hanin dengan perasaan yang begitu sakit.
Masuk ke dalam rumah, lalu pergi menuju kamar mandi, berada di bawa shower Hanin hanya duduk di sana. Menatap ke arah depan dengan tatapan kosong, perasaannya begitu hampa.
Cukup lama Hanin di sana, lalu akhirnya wanita itu beranjak dan mengganti pakaiannya. Saat sudah selesai dengan urusan Hanin mencoba membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Baru saja akan memejamkan matanya, suara dering ponsel yang da di dalam tas Hanin berdering.
Dahi Hanin berkerut ketika melihat nama sang Papa yang tertera di sana, dengan segera Hanin mengangkat panggilan tersebut.
"Hall …,"
"Kamu apa apaan sih Nin, Wina itu sedang sakit, kenapa kamu malahan suruh Galang pulang. Saudara kamu itu sekarang sedang membutuhkan Galang , kamu jadi orang jangan egois," bentak Dewi ibu tiri Hanin.
Hanin hanya terdiam, kenapa wanita yang terlihat baik di depan Papanya bisa bersikap seperti saat ini, wanita itu terus membentak Hanin mengatakan untuk dirinya mengalah. Rasanya Hanin ingin menjawab namun, tidak bisa wanita itu hanya bisa mendengar dan mendengar saja apa yang diucapkan oleh Dewi.
"Kamu dengar itu. Jangan buat anak saya sedih, kamu sudah terlalu banyak menyakiti dia. Galang hanya sebentar saja di sana, kamu sudah merengek meminta Galang pulang," ucapnya lagi.
Entah drama apa yang saat ini, sedang dilakukan oleh Wina sehingga wanita itu mengatakan hal yang tidak tidak. Hanin hanya bisa pasrah, dirinya tidak tahu harus menjawab seperti apa.
"Kamu dengar kan!!!" bentaknya.
"Iya Ma," jawab Hanin singkat.
Panggilan telepon itu lalu terputus, Hanin menghembuskan nafasnya berat. Sungguh hal seperti ini benar benar membuat Hanin hanya bisa pasrah dan pasrah.
##
Selamat membaca yaa!!!