Selamat membaca
.
.
"Kenapa Lu?"
"Hah?"
Helena menoleh ke sebelah kirinya, ternyata ada Nina di sana yang baru saja menaiki tangga. Terlihat ada jejak kemerahan di mata gadis yang lebih muda 1 tahun dari Helena itu, tapi Helena memilih mengabaikan hal itu karena dia bisa menebak apa yang terjadi di antara Nina dan Alan. Hanya perlu menunggu Nina menceritakan nya sendiri.
"Gak kenapa kenapa, cuma kecapean," jawab Helena beralasan.
Tapi alasan itu tidak sepenuhnya merupakan kebohongan, karena dirinya memang kelelahan setelah pulang pukul 5.45 sore, yang itu artinya hampir pukul 6 petang. Jadi sudah sewajarnya alasan kecapean bisa menjadi alasan yang paling masuk akal.
"Ouh, aku masuk kamar aku ya," pamit Nina melambai pada Helena, kemudian berlalu meninggalkan Helena sendirian di tempatnya.
"Iya, selamat beristirahat Nina, jangan lupa mengadu sama tuhan kalau ada keluhan," kata Helena yang di hadiahi anggukan oleh Nina.
Mereka pun berpisah dengan masuk ke kamar masing masing, Nina dengan kegalauanya sedangkan Helena dengan jantung yang berdebar debar.
Helena mengeluarkan isi tas terlebih dahulu, meletakkannya pada tempat yang seharusnya agar tidak ada yang rusak karena tidak sengaja terinjak atau terhimpit.
Setelah membereskan peralatan kerjanya, Helena merebahkan tubuhnya diatas ranjang kemudian menatap lurus ke arah langit langit kamar yang sudah menemaninya selama hampir setengah tahun.
"Jadi kalau aku lulus sebagai sekretaris cadangan, aku bakal sering ketemu pak Bastian?" gumam Helena bertanya kepada dirinya sendiri.
Tiba tiba ia teringat dengan taruhan yang dibuatnya beberapa jam yang lalu.
"Mana bisa!" Teriak Helena mengacak acak rambut, kakinya juga menerjang kesana kemari karena frustasi sendiri.
Telapak tangan Helena menyentuh pipinya yang terasa panas hanya dengan membayangkan salah satu adegan dari novel yang selama ini ia baca terjadi di dalam kehidupanya. Hingga sebuah panggilan menginterupsi Helena yang sudah seperti orang gila yang tertawa sendiri.
"Halo kak?" tanya Helena menyapa si penelpon, dia adalah Delima.
"Aku liat nama kamu ada di list calon asistenku, siapa yang masukin?" tanya Delima to the point dengan tujuan menelpon Helena, mungkin karena dia tak ingin membuang waktu Helena.
"Aku sendiri kok yang daftar, hehe…." Jawab Helena sedikit terkekeh dengan kaku.
"Ada apa? Bukannya kemarin kamu bilang tidak saat aku ingin mengangkatmu secara langsung, lalu kenapa malah mendaftar di calon asisten?" tanya Delima tajam dan terlihat sangat lugas tanpa ada kalimat mubazir yang diucapkannya.
Helena diam sejenak, tidak mungkin mengatakan bahwa ia sedang bertaruh dengan Sonia, pasti Delima langsung mendepak namanya dari list. Karena itu ia harus memikirkan alasan secepat mungkin yang masuk akal dan bisa diterima oleh otak cerdas Delima.
"Aku tidak ingin menjadi bahan gunjingan!" kata Helena dengan suara yang tegas dan penuh keyakinan, meskipun setelah mengatakan hal itu ia menggigit bibirnya karena merasa khawatir Delima tidak termakan ucapanya.
"Apa maksudmu?" tanya Delima.
Mendengar Delima yang bertanya sesuai dengan ekspektasinya membuat Helena mengelus dadanya dan bersyukur dengan teramat.
"Aku menolaknya karena awalnya kakak mengatakan akan melakukan seleksi, dan sudah ada beberapa orang yang tertarik, meskipun itu hanya tugas sementara. Karena itu, aku tidak ingin menghancurkan harapan mereka secara paksa. Setidaknya mereka melakukan seleksi sesuai dengan yang seharusnya," kata Helena kali ini sudah lebih tenang karena Delima mengikuti arus yang ia buat.
"Tapi aku punya hak untuk mengangkat siapa pun yang ingin aku angkat," kata Dilema menegaskan kepada Helena.
"Kakak tidak memikirkan aku?"
"Hah? Memangnya apa masalahnya?"
"Aku akan menjadi bahan pembicaraan satu kantor karena berhasil menjadi asistenmu padahal aku tidak mengikuti seleksi," kata Helena terdengar begitu penuh keyakinan.
Namun, setelah di fikir lebih jauh, apa yang dia alasankan itu ada benarnya. Pasti akan menjadi bahan pembicaraan yang buruk jika ia menerima Delima waktu itu. Lagi pula ketika itu ia memang tidak tertarik.
"Ah maaf, aku tidak memikirkan kesana. Yaudah jangan lupa untuk mempersiapkan dirimu, karena bukan hanya aku yang menyeleksi kalian," kata Dilema terdengar menerima alasan Helena.
"Siap, kalau ada kisi kisi kirim ya lewat chat haha …," Kekeh Helena sedikit bercanda.
"Kenapa harus kisi kisi kalau saya punya soalnya?" tanya Delima.
"Bukan begitu, maksud aku itu apa aja tesnya biar mudah belajarnya, aku gak mau pake jalur curang begitu!" Tegas Helena protes dengan penawaran Delima.
"Haha … Helena kami memang yang terbaik, tapi kamu tahukan tidak semua peserta itu jujur," Kata Dilema memperingati.
"Aku tahu, tapi setidaknya keputusan akhir tetap milik kakak, aku ingin kakak memilih mereka yang memang berpotensi, agar bisa membantu kakak dan pak bos," kata Helena pula, kali ini terdengar lembut dan penuh perhatian.
"Baiklah, Kalau begitu selamat beristirahat," kata Delima lembut.
"Kakak juga,"
Panggilan itu pun berakhir begitu saja menyisakan Helena yang sudah tenang dan teralihkan mengenai kejadian beberapa menit yang lalu.
"Mandi sekarang apa ntar malam aja ya?" gumam Helena menatap kosong pada layar ponselnya.
"Ntar aja deh, sayang pembalutnya baru di ganti jam empat sore tadi," jawab Helena pula pada pertanyan yang sebelumnya ia lontarkan.
Helena kembali merebahkan tubuhnya keatas ranjang, tangannya berusaha meraih menyalakan kipas angin ukuran sedang dengan karakter Minions sebagai bingkai kipas angin tersebut sehingga terlihat menggemaskan.
"Ah, sepertinya kalau pindah kos, cari yang pake ac deh. Gak cukup cuma kipas angin kecil begini, masa harus beli kipas angin yang tornado!" keluh Helena memejamkan matanya sambil menikmati angin yang dihembuskan oleh kipas angin.
"Tapi, untuk sekarang aku rasa ini sudah cukup, karena disini ada kulkas umum untuk menyimpan makanan!" gumamnya pula dengan mata terpejam, namun kesadarannya masih tetap masih ada meski sedikit.
"Kira kira, kalau menggantikan kak Delima, aku harus pake rok span tiap hari kek kak Delima Atau engga ya?" pada sisa sisa kesadaran yang ia miliki, ia masih memikirkan sesuatu yang bahkan belum tentu terjadi.
"Tapi aku tidak punya banyak rok span," lanjutnya.
Helena membuka matanya yang sudah sayu, kemudian menoleh pada jam ponselnya, sejenak ia menyetel alarm pada ponselnya.
Helena berencana untuk tidur hingga pukul delapan malam, menimbang dirinya sedang haid sehingga tidak perlu melaksanakan ibadah maghrib. Meskipun tidur di waktu magrib itu juga tidak dianjurkan karena tidak baik untuk kesehatan.
Tapi apa boleh buat, Helena benar benar sudah mengantuk, dan sepertinya sudah tidak bisa menahan matanya untuk terbuka lebih dari tiga menit.
Setelah menyetel alarm, Helena langsung memejamkan matanya dan mengabaikan berbagai notifikasi yang masuk ke ponselnya, selama itu bukan panggilan Helena tidak akan terusik.
Helena berharap, kondisi tubuhnya lebih untuk menyambut hari kedua haid yang selalu menyakitkan.
"Semoga saja"
.
.
TBC