Terik membentang di ufuk barat, Lova menyambut pagi dengan cara yang cukup membosankan. Suasana rusunawa terlihat sibuk dan kotor, lalu lalang orang yang ada di lantai dasar menjadi fokus untuk Lova pagi ini. Ditemani satu gelas kopi murahan, dia mencoba untuk memaknai hidup dengan cara yang luar biasa. Berharap kalau semuanya benar-benar akan berubah hanya dalam sekejap mata dan.
Mustahil!
"Gak kerja, Neng?" Seseorang menyapanya. Berjalan ke arah Lova dengan membawa kantung plastik besar berwarna hitam.
Lova menatapnya. "Lagi cari kerjaan, Pak." Lova tersenyum tipis. Memamerkannya lesung pipit miliknya.
"Aku sering lihat kamu pulang malam sebelumnya. Kerja di mana emang, Neng?" Dia bertanya lagi. Entah kemana tujuannya sebelum ini, tetapi sekarang dia berhenti dan berdiri di sisi Lova. Padahal sebelumnya jelas-jelas dia tak datang untuk Lova.
"Bar, Pak. Tapi sekarang udah keluar. Ada masalah," katanya berterus-terang. Lova menatap pria yang ada di sisinya. "Kalau bapak punya kerjaan, boleh lah ditawarkan sama aku." Lova meneruskan kalimatnya. Mungkin ini menjadi ajang paling tepat untuk mempromosikan dirinya.
Pria itu terkekeh. Menatap Lova dari atas hingga bawah. Dia sering memperhatikan Lova dari jauh. Dulu, saat masih kerja di bar, bukan hal yang aneh melihat Lova berpakaian serba ketat, membentuk lekuk tubuhnya. Ditambah dia adalah gadis paling cantik yang ada di rusunawa ini. Semua mata pasti tertuju padanya.
"Kenapa gak buka jasa saja?" tanyanya, tertawa lagi. Dia sama sintingnya dengan pria-pria yang ada di luar sana.
Kerutan halus muncul di atas kening Lova. Menggelengkan kepalanya untuk itu. "Jasa?"
"Kamu cantik, kamu mempesona juga," imbuhnya pada Lova. Pandangan matanya terasa semakin lekat saja, seperti tidak mau berpindah dari fokus awalnya. "Jadi membuka jasa untuk pelayanan pasti akan laris manis." Dia tertawa kecil kemudian. Itu semakin membuat Lova merasa aneh.
Pak tua di depannya itu ternyata bukan orang baik-baik. Dia punya pemikiran yang mesum, begitu kiranya Lova berpikir.
"Aku tidak—"
"Lova!" Suara Nike menyela pembicaraan di antara dia dan pria itu. Lova bisa bernafas lega setelah mendapati teman lamanya datang membawakan sesuatu untuk dirinya. Seperti oleh-oleh. Padahal Nike tidak sedang pulang dari suatu tempat yang jauh.
"Ngapain kamu ngobrol sama dia?" Nike berbisik di sisi telinga Lova. Berusaha untuk berkata selirih mungkin agar pak tua di sisi Lova, dengan posisi berdiri yang tak jauh, tidak bisa mendengar kalimat itu.
Lova melirik Nike. Sepertinya ada hal yang tidak diketahui olehnya. Gelagat Nike sedikit mencurigakan.
"Pamit, kita masuk ke dalam," kata Lova kemudian.
Gadis itu memberi anggukan, khas salam sopan tanpa suara yang sering dilakukan oleh orang-orang Indonesia. Lova mengikuti apa yang dilakukan oleh Nike. Tak ada kata yang terucap, dia masuk begitu saja, pergi meninggalkan pak tua di depan kamarnya.
"Ah!" Nike menghela nafasnya setelah Lova menutup pintu. Dia merebahkan tubuhnya di atas ranjang sempit milik Lova.
"Kamu bawa apa?" tanya Lova menggeledah apapun yang dibawa oleh Nike. "Baju?" tanyanya pada Nike. Dia menoleh. Ditatapnya sahabat lamanya itu dengan saksama. "Kenapa bawa baju sebanyak ini? Kamu mau pindah ke sini?"
"Bajunya hanya di kantung plastik yang itu, sisanya makan malam." Nike menyahut. Menjawab dengan malas. Pandangan matanya jelas tertuju pada langit-langit ruangan. Kosong, hanya ada atap putih yang kotor dengan satu lampu menggantung persis di tengahnya.
Lova mengambil satu baju dari dalam kantung plastik. "Beli di mal?" tanyanya. Membolak-balikkan kain bajunya, mencari harga dan merek barang kali.
Nike menggelengkan kepalanya. "Baju bekas yang bermerek. Ada temanku yang menjual turun harga hingga 70 persen. Aku membeli semua itu dari sana." Nike menghela nafasnya. Bangkit lalu duduk di sudut ranjang.
"Pakde belum pernah bertemu dengan kamu secara langsung, jadi dia ingin membuat janji temu dengan kamu. Mungkin nanti malam," katanya mengimbuhkan. Menjelaskan pada Lova. "Baju yang paling mahal dan bagus kamu gunakan untuk ketemu Pritam malam depan. Sisanya boleh kamu pilih untuk bertemu dengan Pakde," ucapnya memberi arahan. Dia seperti ibu yang mengatur anaknya, yang mau masuk ke sekolah besok pagi.
Lova meletakkan kembali mini dress yang ada di depannya. Mendesah panjang, resah. Dia duduk di atas kursi plastik. Memandang ke arah Nike. "Memang harus pakai baju yang begitu?" tanya Lova, mengelak jika bisa. Tak mau menggunakan pakaian yang mencuri banyak perhatian.
Nike manggut-manggut. "Apa bedanya dengan pakaian yang sering kamu gunakan di dalam bar? Hanya saja, itu sedikit terbuka dan mencolok." Nika tersenyum kuda. "Kamu akan terlihat cantik dan mewah nanti," imbuhnya pada Lova.
"Aku gak nyaman pakai baju begitu. Aku akan pakai baju yang biasanya," tuturnya.
Nike menggelengkan kepalanya. Bangun dari tempat duduknya, berjalan untuk mendekati Lova. "Hitung-hitung itu latihan untuk bertemu dengan Pritam malam besok." Nike meraih bahu sahabatnya itu. Memandang masuk ke dalam sepasang mata teduh milik Lova. Dia tahu, Lova tidak seperti dirinya. Gadis ini bisa dibilang sedikit pengecut. Dia tak pantai memantapkan diri dalam sebuah lingkungan yang baru.
"Kamu juga harus berbohong pada Pritam bahwa kamu adalah profesional dalam bidang itu. Pritam tidak mau menerima gadis yang menye-menye atau semacamnya. Dia mau bermain dengan gadis yang sudah profesional." Nike manggut-manggut dengan kalimatnya sendiri. "Jadi lakukan itu seperti layaknya seorang profesional," imbuh Nike menutup kalimatnya. Dia hanya berusaha untuk menyakinkan Nike saja.
Mau diterima atau tidak oleh gadis ini, biarlah dia yang memutuskannya hingga besok.
Lova menggelengkan kepalanya samar. "Aku gak tahu dan aku gak yakin, aku bahkan belum pernah makan malam dengan lawan jenis. Gimana bisa aku makan malam dengan pengusaha kaya?"
Nike memberi kode dengan gerakan tangannya. Lova tidak bisa membatalkan semua ini. Itulah artinya. "Aku sudah mendaftarkan nama kamu. Pakde juga sudah membuatkan identitas anggota. Aku yakin, anak buah Pritam juga sudah menyelidiki latar belakangmu. Jadi, tidak ada waktu untuk berjalan mundur. Tidak ada kesempatan untuk mencabut semuanya dan berubah pikiran, oke?"
"Bagaimana jika aku gagal? Pakde hanya akan rugi kan?"
Nike menaikkan kedua bahunya. Melihat bibirnya sembari mengerutkan keningnya. "Itu juga yang aku pikirkan dulu," gumam Nike. Sembari berandai-andai. Ingatannya dibawa kembali pada saat pertama kali dia melakukan pekerjaannya.
"Dulu saat pertama kali aku menemani seorang pejabat, aku juga khawatir tentang pelayanan yang aku berikan. Bagaimana jika aku tidak mendapatkan bonus dan bagaimana jika aku pulang dengan tangan kosong?" Nike kembali menatap Lova. Membungkukkan tubuhnya condong ke depan. "Jadi aku menggila dan melakukan semuanya. Kuncinya hanya nikmati saja. Rasakan puncak klimaks yang membawamu terbang ke surga," ucapnya. Berlagak.
Dia menatap Lova. "Kamu pasti bisa. Jadi, temui Pakde nanti malam. Dia akan banyak memberikan arahan dan ilmunya."
... To be continued ....