"Bertanyalah sesuatu. Jangan diam saja," ucap pria itu. Menyela aktivitas makan Lova.
Dia menatap Pritam. Pria ini sedikit unik, tidak seperti pria lainnya yang kalau melihat Lova dengan pakaian seksi pasti mulai menggoda dan berkata yang tidak-tidak, bahkan dia pernah mendapat ajakan untuk menjadi teman tidur dengan bayaran satu rumah yang cukup mewah.
Namun, Lova enggan melakukannya. Akan menjaga keperawanannya di tengah gempuran keadaan yang terus memaksa dirinya untuk melakukan ini dan itu.
"Aku tidak tahu harus bertanya apa ...." Lova menjawab dengan lirih, tersenyum tipis kemudian. Melirik Pritam, lalu kembali mengiris-iris daging steak di depannya. Menu yang paling tidak asing untuk Lova.
"Kalau begitu aku yang bertanya ...." Pritam memulai. Toh juga, dia tidak peduli dengan semua makanan mewah di depannya ini. Sepertinya sudah bosan sebab dia sudah sering memakannya.
"Katakan padaku dengan jujur, Lova Tilotama Surandra adalah identitas aslimu di kampung?" tanyanya pada Lova.
Tentu saja itu membuat gadis yang ada di depannya terdiam sesaat. Aneh, pertanyaan yang aneh.
"Maksudku, aku bertemu banyak gadis yang mengaku dari kampung seperti dirimu, jejaknya meyakinkan jadi aku percaya saja," imbuh Pritam. Dia menarik secangkir kopi di depannya. Itu yang membuatnya tertarik ketimbang tumpukan daging mewah atau Spaghetti dengan saus aneh di atasnya.
"Namun, ternyata mereka menipuku. Membawa kabur uang yang aku berikan tanpa timbal balik yang pas. Aku ingin mencarinya, tetapi aku tidak tahu identitas aslinya." Pritam mengangkat cangkir kopi itu, memberi isyarat lalu meneguk isinya.
Seteguk demi seteguk, dia melirik wajah Lova dari balik mulut cangkir yang ada di depan wajahnya.
"Aku nggak punya alasan untuk membohongi." Lova akhirnya angkat bicara. "Seperti inilah aku dan inilah identitasku." Gadis itu mengakhiri semua dengan senyum.
"Lalu kau tinggal di mana sekarang?"
Lova tersenyum lagi. "Rusunawa dengan harga sewa yang paling murah," katanya pada Pritam. Dia tak malu, toh juga buat apa? Lova banting tulang untuk hidup di Jakarta. Keringatnya patut untuk dibanggakan.
"Sekolah?" tanyanya lagi. Menggali informasi tentang Lova.
"Tamat SMP, SMA aku hanya masuk di tahun pertama. Sampai pertengahan saja, lalu aku keluar." Gadis itu menjelaskan dengan polos. Sembari menusuk daging steak, dia melirik Pritam. "Ibuku orang yang gak punya. Ayahku kabur menikah dengan wanita lain di luar negeri. Jadi gak pernah pulang," jelasnya. Setelah selesai dengan kalimatnya, dia memasukkan satu suap daging ke dalam mulutnya. Mengunyah dengan begitu anggun, meskipun rasanya enak luar biasa.
Harusnya wajar saja jika dia memberikan respon yang sedikit berlebihan.
"Itu alasan yang kamu merantau ke Jakarta?" Pritam menyahut lagi. "Berapa usiamu?" Belum sempat dijawab, dia kembali melontarkan pertanyaan.
Butuh waktu untuk memberi jawaban, menunggu mulutnya kosong terlebih dahulu.
"24 jika depan." Lova memperagakan dengan jarinya. "Aku baru aja berumur 23 tahun beberapa minggu yang lalu. Mungkin awal bulan," katanya. Mencoba menggali informasi.
"Bagaimana kok bisa tidak yakin? Padahal itu tanggal lahirmu sendiri." Pritam tersenyum singkat. Gadis ini punya pesonanya sendiri.
"Aku merantau ke Jakarta ingin mengubah nasib. Mungkin terdengar sedikit alasan, tetapi aku berpikir bahwa Jakarta bisa memberikan kehidupan yang lebih baik ketimbang duduk dan berdiam diri di kampung. Aku bisa meng-upgrade diriku menjadi lebih baik di sini. Siapa tahu juga ... aku bisa punya jodoh yang mapan di Jakarta." Dia tertawa geli dengan kalimatnya sendiri.
Lalu menggelengkan kepalanya. "Mimpiku kadang memang gak sesuai sama kemampuanku."
Pritam melihat sebuah sisi yang mengejutkan dari gadis di depannya itu. Dia tidak seperti yang diceritakan oleh anak buahnya tatkala menelusuri tentang Lova.
Tentu saja apapun yang dikatakan oleh Lova di depannya sekarang ini, dia sudah mengetahuinya jauh-jauh hari sebelum mereka bertemu tepat disaat nama Lova dipilih sebagai teman kencan satu malam untuk dirinya.
"Kenapa kamu diam saja?" Lova mulai tersadar dengan Pritam yang membeku begitu saja. "Ah, aku terlalu banyak bercerita?"
Pritam menggelengkan kepalanya. Selain cantik, Lova juga terkesan sederhana dan apa adanya. Dia berkata jujur tentang semua yang ada di dalam kehidupannya.
"Aku diam sebab aku tertarik dengan ceritamu." Pritam tersenyum tipis. Menatap Lova lalu kembali mengarahkan pandangan matanya untuk menatap jendela besar yang ada di sisinya.
Gerimis tiba-tiba saja mengguyur kota, padahal ramalan cuaca mengatakan hanya ada mendung tanpa tetesan air yang membasahi malam.
"Ketika aku tidak suka dengan ceritanya, biasanya aku menyela. Telingaku akan gatal ketika mendengar hal-hal yang tidak aku inginkan."
Love tertawa ringan. Pria ini punya selera humor yang sedikit berbeda.
"Aku tidak bercanda."
Sekarang tawa itu hilang begitu saja. Lova menganggukkan kepalanya. Mengerti dengan kalimat yang baru saja terlontar dari celah bibirnya.
"Ngomong-ngomong ... Kamu lebih suka malam yang penuh bintang atau malah mendung lalu hujan?" Gadis itu kembali mencoba akrab dengan suasana yang ada. Pritam hanya diam, kencan buta tak seperti yang biasanya dia jalani.
Tentu saja ini bukan kencan buta untuk pertama kalinya, puluhan gadis sudah duduk di depannya menjadi kekasih bayarannya. Semua hanya duduk menikmati makanan dan terkesan jaim. Mereka selalu melebih-lebihkan fakta agar Pritam tertarik.
Intinya makan malam bangsawan yang membosankan.
Lova menoleh pada Pritam. "Kalau aku lebih suka malam dengan hujan gerimis apalagi kalau hujannya sedikit lebat. Suasananya syahdu banget."
"Hujan itu berisik, bukan?"
Lova manggut-manggut. Pandangan matanya tertuju kembali pada pria berjas rapi itu. Lagi-lagi dia terkejut dengan caranya berpikir.
Umumnya orang akan berpikir bahwa hujan adalah waktu penyembuhan paling manjur dengan melakukan dialog pada diri sendiri sembari menatap tetesan hujan di luar sana. Namun, untuk Pritam, hujan itu berisik. Dia terganggu dengan hal itu?
"Kenapa kamu suka malam yang hujan? Itu pasti dingin."
Lova menarik nafasnya panjang. "Kamu benar. Hujan malam-malam itu membuat suasana dan udaranya jadi dingin dan lembab. Namun, itu bagus untuk aku. Kamarku begitu sempit dan pengap. Aku hanya punya satu kipas angin kecil, itu tidak benar-benar berfungsi dengan baik. Jadi Kalau malamnya hujan, udaranya akan dingin dan sejuk di dalam kamar. Jadi aku bisa tidur dengan nyenyak."
Dia tersentuh? Ah, tidak semudah itu.
"Jadi kamu gunakan udara sebagai AC alaminya?" Pritam tertawa. Begitu juga dengan Lova.
"Kamu benar. Aku menggunakannya sebagai AC."
Keduanya kini menyela pembicaraan dengan tawa yang bersahut-sahutan. Malam yang dikira akan membosankan dan menegangkan untuk gadis itu, berubah menjadi malam yang begitu santai. Sepertinya dia mulai cocok dengan pria asing ini.
"Pritam!" Lova memanggil. Sudah mirip memanggil temannya sendiri, padahal mereka baru saja bertemu.
"Boleh aku membungkus makanannya?" tanya Lova. Membuat Pritam hampir tersedak dengan air ludahnya sendiri.
"Maksudku ... Aku tinggal di rusunawa yang umum. Jadi kadang kala ada anak pengemis yang lewat di sana, daripada membuang ini aku ingin memberikannya pada mereka. Bagaimana?"
Pritam membeku. Gadis ini benar-benar unik.
... To be continued ...