Chereads / Marriage Obsession / Chapter 14 - 14| Di balik gubuk tua.

Chapter 14 - 14| Di balik gubuk tua.

Langit malam menemani langkah kakinya, bintang muncul, bertebaran di atas sana, mendominasi langit malam Kota Jakarta. Suasana sepi, hanya ada sekali dua kali saja motor lewat di jalanan. Wajar, sebab ini bukan jalan utama antar kota.

"Mbak Lova?" Seseorang tiba-tiba memanggilnya dari belakang, dia datang dengan langkah yang dipertegas. Semakin cepat, akhirnya dia berlari untuk menghampiri Lova.

"Mbak Lova dari mana?" tanyanya dengan aksen yang khas, setengah Sunda barang kali. Entahlah.

"Jalan-jalan?" tanyanya lagi. Padahal Lova tidak menjawab apapun. Dia hanga diam, membisu di sana. Sesekali tersenyum.

Sekarang Lova menganggukkan kepala. Akan cukup melelahkan Jika dia menjelaskan semuanya dari awal, mulai dari pertemuannya bersama seorang pria asing yang terlihat begitu ramah dan baik. Sejak dia bersama dengan Pritam tadi, tak pernah sekalipun lelaki itu membuat dirinya merasa gengsi. Dia nyaman berada di sampingnya.

"Kalau kamu, baru pulang kerja?" Lova ikut berbasa-basi. Mengimbangi suasana yang ada. Sebenarnya tidak mendung. Akan tetapi, udara malam bertambah semakin dingin saja setiap detiknya. Atau mungkin itu sebab Lova memakai baju yang sedikit terbuka.

"Hm, aku lembur hari ini. Besok aku mau ambil cuti. Ada acara nikahan teman," jawabnya. Menjelaskan sejenak.

Dengan gadis ini, sebenarnya Lova tidak terlalu akrab. Dia hanya tinggal di satu rusunawa dengannya. Jaraknya pun cukup jauh. Dia berada di lantai tiga, sedangkan Lova ada di lantai dua, tepat di sisi kamar Nike.

"Ngomong-ngomong kamu itu kerjanya apa, aku selalu melihat kamu berangkat pagi-pagi buta dengan pakaian rapi. Seperti orang kantoran, itu keren banget."

"Aku kerja di pabrik, Mbak. Pabrik gudang kain dan tekstil. Kerjanya cukup berat, tetapi mau bagaimana lagi? Kalau berangkat harus dituntut rapi. Meskipun di dalam pabrik nanti, Aku paling ganti baju pakai kaos panjang atau semacamnya. Mencari baju yang kainnya tipis sebab di dalam pabrik panas banget." Gadis itu menjelaskan. Antusiasnya luar biasa. Seperti bangga dengan pekerjannya.

"Gajinya sesuai?" tanya Lova. Kakinya poin penting dari sebuah pekerjaan adalah gaji yang didapat di awal bulan. Kalau tenaganya yang dikeluarkan terlalu besar dengan gaji yang minim, itu bukan rekomendasi terbaik untuk bertahan hidup di Jakarta.

"Lumayan. Setidaknya bisa bayar rusunawa sambil nabung sedikit-sedikit." Dia tersenyum. Menatap langit luas yang ada di atasnya, menghela nafas panjang. Mencoba merasakan kebebasan setelah seharian berada di dalam pabrik yang begitu pengap.

Setidaknya gadis ini sedikit lebih beruntung dari Lova. Dia punya pekerjaan tetap, gajinya juga selalu ada. Itu menjadi jaminan untuk tetap hidup di kota yang semakin mencekik ini..

"Aku dengar dari Nike, kalau Mbak Lova baru aja keluar dari bar. Kenapa?"

Lova menoleh. Ah, Nike sialan itu! Benar-benar bermulut besar.

"Ada kejadian yang membuatku ingin keluar, jadi aku memutuskan untuk keluar." Lova menjawab.

"Padahal sayang banget, sepertinya Mbak Lova cocok dengan pekerjaan. Mbak Lova cantik, punya tubuh yang bagus, jadi ... menjamin itu semua."

Lova tersipu malu, mengangguk. Hanya bisa begitu.

"Kalau kamu punya rekomendasi pekerjaan, bisa tolong kasih tahu aku. Aku lagi butuh kerjaan untuk bayar rusunawa."

Dia mengangguk. "Pasti, Mbak. Aku pasti mengabarkan."

Dia sampai di tujuannya, Lova berhenti di depan sebuah gang kecil yang tak jauh dari rusunawa. Itu juga membuat lawannya berhenti.

"Aku mau mampir ke rumah seseorang dulu, kamu bisa duluan kembali ke rusunawa." Lova mengutarakan tujuannya. Gadis itu mengangguk. Dia menatap gang sempit, masuk ke dalam sana. Gang itu minim penerangan, dengar-dengar itu rumah orang-orang yang jarang bersosialisasi.

"Mau ke sana, Mbak?"

Lova manggut-manggut. "Ke rumah teman," katanya.

Dia tak tahu kalau Lova punya teman yang tinggal di sana. Padahal Lova terhitung baru di lingkungan ini.

"Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu. Hati-hati yang, Mbak. Gangnya gelap banget." Dia merinding dengan kalimatnya sendiri, dirinya adalah tipe orang yang penakut.

Lova kembali manggut-manggut. "Kamu juga harus hati-hati," katanya mengakhiri pembicaraan mereka.

Dia membiarkan gadis muda itu pergi begitu saja.

••• Marriage Obsession •••

Rumah teman? Tidak. Terlalu tua untuk dibilang 'teman' oleh Lova.

Tujuannya adalah sebuah rumah tua, yang terlihat begitu kotor dan kumuh. Sepertinya sudah lama tidak dilakukan renovasi di sini. Lagian juga, untuk apa direnovasi? Yang tinggal hanya seorang nenek tua bersama cucunya yang berusia 12 tahun. Mereka berjuang hidup dengan cara yang patut untuk diapresiasi.

String lampu gantung yang ada di sisi pintu masuk menjadi penerangan utama menyambut kedatangan Lova. Dia celingukan ke kanan dan ke kiri, sesekali mengintip dari gorden jendela tua yang ada di depannya. Memastikan bahwa tuan rumah ada di dalam sana.

"Sudah tidur kah?" tanya Lova, monolong.

Perempuan itu melirik jam tangan murahan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam, kurangnya sedikit.

Dia menghela nafasnya panjang, sepertinya tidak jadi memberi hadiah untuk si gadis kecil itu. Padahal dia pasti suka makanan mewah seperti ini.

Lova mencoba mengetuk pintu. Sekali dua kali ketukan seakan diabaikan, hingga dia mencoba lagi. Tak berselang lama sebuah suara menyahut. Langkah kaki yang seakan diseret menyela keheningan. Sekian detik kemudian gagang pintu ditekan setelah berhasil membuka kuncinya.

"Good night!" Lova menyambut dengan cara yang ceria, seperti biasanya membangun semangat untuk gadis kecil itu. "Ah, aku ganggu kamu tidur?" tanyanya, lekas senyap setelah melihat gadis itu mengucek kedua matanya.

Dia Dani, orang yang selalu mendapat prioritas dari Lova kalau dia gajian.

"Enggak," jawabnya dengan suara parau. Khas orang setengah sadar.

"Aku bawain makanan buat kamu, kamu pasti suka." Lova menyodorkan beberapa kantong kresek untuknya. "Ada beberapa yang harus segera dimakan malam ini, sisanya bisa kamu awetkan dengan mengukusnya lagi. Kamu bisa makan buat besok pagi sebelum berangkat ke sekolah."

Dani menganggukkan kepalanya. Dia menerima uluran tangan Lova tanpa memberi jawaban apapun.

Nova mengintip masuk ke dalam rumah, biasanya nenek duduk di kursi itu. Nonton TV jam segini.

"Nenek nggak ada? Tidur di dalam kamarnya?" Lova bertanya dengan nada lembut sembari mengusap puncak kepala Dani.

Dani diam sejenak. Sebelum akhirnya dia berbicara. "Bukannya nenek ada di rumah Mbak Lova? Dia bilang mau berkunjung ke sana," katanya.

Lova terkejut bukan main. "Dari tadi aku nggak di rumah, aku pergi bersama seseorang."

Dani sekarang membuka matanya lebar-lebar, dipaksa untuk sadar oleh keadaan. "Maksudnya, Mbak Lova dari tadi nggak ada di rumah? Terus gimana sama nenek?"

Lova menaikkan kedua bahunya. "Aku juga nggak tahu. Dia pergi sejak tadi?"

"Tadi setelah maghrib, setelah salat dia pergi ke rumah Mbak Lova."

Mendengar hal itu sekarang hatinya mulai was-was.

"Kalau begitu aku cari nenek dulu. Perasaanku jadi nggak enak."

... To be continued ...