Dia mulai merasakan ketakutan yang ada di dalam dirinya. Pontang panting ke sana kemari, dia sudah datang ke rusunawa, tetapi tak ada nenek di sana. Tetangganya yang mengatakan bahwa seorang wanita tua datang dan menunggu dalam sejenak, sebelum akhirnya dia memilih untuk pergi.
"Katanya dia mau menemui seseorang, alamatnya berada di perumahan elit, dia menuju ke sana." Kalimat itu yang cukup membuat hatinya was-was, nenek pasti mau menemui rentenir itu lagi.
Apalagi tujuannya kalau bukan minta uang?
Lova menatap ke sana dan kemari, mencoba mencari keberadaan wanita tua. Tubuhnya gempal dengan cara berjalan yang khas. Rambutnya sudah memutih, diselingi beberapa helai yang masih berwarna abu-abu muda. Dia suka membuat gelung kecil untuk membuat rambutnya tetap rapi.
"Pokoknya khas nenek-nenek kalau berpenampilan, Mbak." Kumpulan anak gadis yang ada di sana menunjuk jauh ke arah gang di depan Lova. "Aku melihat dia berjalan ke sana mungkin tiga puluh menit lebih yang lalu. Sampai sekarang dia gak lewat lagi."
"Kamu yakin?" Lova mencoba untuk memberi penekanan. Tak mau kalau gadis-gadis ini salah dalam memperkirakan.
"Yakin banget. Orang kita gak pernah pergi dari sini sejak tadi."
Lova menganggukkan kepala. "Terimakasih kalau begitu ...."
Dia kemudian berjalan cepat, berakhir pada lari dengan langkah yang acak. Menuju ke tujuannya. Entah di mana yang penting itu menunju ke depan, sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh gadis-gadis tadi.
Dan ....
"Nenek!" Lova berteriak saat wanita itu didorong keluar dari sebuah rumah. Maki-maki terlihat begitu jelas dari gelagat si pemilik.
"Nenek!" Dia memperkeras suaranya. Berlari, menolong wanita tua itu.
"Nenek ngapain di sini?" tanyanya, mengerutkan keningnya. Dia menatap ke arah si pemilik rumah. Jika Lova marah, maka wania paruh baya itu pun demikian.
"Jadi kamu adalah cucunya?" Suara itu menggelegar, mengagetkan Lova yang berusaha untuk membantu si nenek berdiri. Dia melihat luka goresan di sisi sikunya.
"Tante ini ...." Lova menghela nafas. Menggelengkan kepalanya sendiri.
"Urus nenek kamu jangan suka ngemis di rumah orang!" katanya. Sembari menunjuk-nunjuk ke arah wajah Lova. "Dia bahkan tidak mau membayar utangnya yang waktu itu, sekarang tiba-tiba datang lagi dan meminta uang. Dia kira kalau aku ini anaknya?" tanyanya pada Lova, seraya membuat melototi gadis itu.
"Kalau sampai dia datang lagi dan mengganggu, aku akan laporkan ke polisi! Kali ini aku akan memaafkannya lagi. Lagian hutang yang kemarin saja belum dibayar," sambungnya. Seakan tidak puas dengan cacian yang pertama.
"Aku tahu kalau nenek aku salah, tetapi seharusnya ibu juga punya sopan santun. Dia memang bukan ibu kandungmu, Bu. Tapi, dia adalah ibu dari suamimu! Jangan sombong begitu, toh juga kamu hidup menumpang dengan suamimu!" Lova juga terpancing emosi.
"Emangnya salah jika seorang ibu datang ke rumah anaknya?"
Wanita itu terkejut dengan makian milik Lova. Padahal dia terlihat seperti gadis yang biasa saja, wajahnya begitu polos. Namun, kalimatnya menusuk hati.
"Lagian kalau kalian mati, hanya doa dari ibu yang akan diterima sama Tuhan. Kalian pikir harta kalian berguna di sana? Dasar wanita ...." Ucapnya terhenti tatkala tangan wanita paruh baya di depannya terayun begitu saja. Berniat untuk memberi tamparan pada Lova.
Namun, itu tak kunjung mendarat di pipinya. Lova membuka matanya kembali. Melihat seseorang yang tiba-tiba saja datang dan menyela. Padahal awalnya tidak ada tanda-tanda ada orang lain di sini.
Mungkinkah sebab dia terlalu fokus dengan perdebatannya.
"Ini di tempat umum, meskipun lebih tepatnya berada di depan rumah, Nyonya."
Suara itu, Lova mengenalnya.
Dia menoleh. Menatap Lova juga si nenek.
Benar, Lova mengenalnya! Siapa namanya? Ahh, dia lupa!
"Meskipun mereka yang salah sekalipun, menggunakan kekerasan di tempat umum bisa mendapatkan tindak pidana." Dia menoleh ke arah sisi lampu jalanan. Ada CCTV di sana. "Apalagi kekerasannya terekam CCTV," ucapnya. "Aku juga melihat ibu mendorong nenek tadi, sepertinya kesalahan murni ada padamu, Nyonya."
Wanita itu menarik tangannya, wajahnya jelas-jelas tak suka dengan kedatangan pria asing ini.
"Kamu ini siapa? Ada hak apa kamu ikut campur, huh!" Jelas-jelas dari nada bicaranya dia begitu kesal.
Dia menoleh pada Lova, juga untuk si nenek yang ada di sisinya. Sepertinya mereka takut sekarang, dia bahkan melihat lutut nenek itu bergetar.
"Aku calon suaminya," ucapnya.
Pengakuan yang mengejutkan, mereka memang pernah bertemu. Lova bahkan memperkenalkan nama padanya. Mereka berbicara di halte tadi. Namun, itu adalah pertemuan yang pertama kali, bahkan dia tidak menyangka kalau dirinya akan kembali bertemu dengannya untuk yang kedua kalinya.
Malah dengan situasi yang seperti ini. Suasana yang aneh dan canggung.
Setelah mendengar kalimat itu, wanita itu pun berdecak kesal. Menatap satu persatuan wanita yang ada di depannya. Secara tidak langsung, dia dia kalah dalam pertarungan ini.
"Terserah kalian saja! Dasar rakyat jelata!" Dia kesal, setelah menyelesaikan kalimatnya dia pergi begitu saja masuk ke dalam rumahnya lagi meninggalkan semuanya dan menutup pintunya.
Lova menghela nafas. Sekarang fokusnya diberikan untuk wanita tua yang ada di sisinya.
"Nenek baik-baik saja kan?" Gadis itu mulai memeriksa keadaan wanita tua itu. "Maafin Lova karena pulang terlambat," imbuhnya set mengerutkan keningnya. "Seharusnya lupa mengabari dulu tadi," katanya kemudian. Terus menyesali apa yang terjadi sekarang ini. Wajahnya jelas-jelas dipenuhi dengan kekhawatiran.
"Nggak papa nggak papa. Lagian juga ini semua salah nenek. Nenek seharusnya nunggu kamu dulu sebelum pergi ke sini."
Lova menggelengkan kepalanya. Memeluk wanita tua di depannya itu. Dia datang ke Jakarta tidak bersama orang tuanya lalu atas takdir Sang Kuasa, dia ditemukan dengan nenek tua yang kerap disebut dengan nama Mbah Ajeng juga cucu semata wayangnya Dani. Mereka seperti keluarga yang tidak sah yang begitu berharga untuknya sekarang.
Tunggu, Lova melupakan sesuatu! Dia yang sudah baik hati menolong mereka malam ini. Seorang pria yang sedari tadi berdiri di sisinya.
"Ah ... aku hampir lupa!" Dia tersenyum tipis, mengulurkan tangannya. "Terima kasih banyak atas bantuan kamu tadi. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi kalau kamu nggak datang," ucap Lova.
Dia tersenyum manis. "Aku kebetulan lewat sini dan melihat kalian dalam bahaya." Dia menatap ke sektiar. "Rumah kamu jauh dari sini atau dekat dari sini?"
Lova menatap nenek. "Lumayan, mungkin kalau berjalan kaki 15 menit atau 20 menit."
"Aku memesan taksi, mungkin kita satu arah, mau gabung juga?" tanyanya pada Lova.
Dia diam sejenak, menatap nenek.
"Tenang saja aku yang bayar," imbuhnya.
Lova menggeleng. "Bukan itu ...."
"Nenek kamu juga terluka, jalannya juga jauh dan sudah malam. Bagaimana?"
Lova menatapnya. Ah, sial! Kenapa jadi bimbingan? Padahal hanya perlu menerima saja. Toh juga ongkosnya tak akan mahal.
... To be continued ...