Lova pulang dari bangunan milik Mr. Rex Samuel. Sepertinya Pritam cukup menyita fokusnya kali ini. Pria itu terus saja memenuhi kepalanya, kalimatnya yang di dalam kepala Lova. Tentang ajakan untuk pergi si menghabiskan hari akhir pekan bersama.
"Nak Lova!" Seseorang memanggil gadis itu, membuatnya menoleh dengan ekspresi wajah penuh tanda tanya.
Dia melihat seorang wanita tua yang berjalan dituntun oleh pria yang jauh lebih muda di sisinya.
Mereka berjalan mendekatinya.
"Nenek?" Dia mulai tahu siapa yang menyebrang jalan. Ditemani pria yang tidak asing untuknya juga. Kini wajahnya mulai familiar.
"Karan ...." Tak lupa gadis itu juga menyapa pemuda yang ada di sisinya.
"Nenek kok bisa jalan sama dia?" tanyanya, dia merengkuh tubuh si nenek, mengambil alih untuk membantunya berjalan. Melihat barang bawaan yang dibawa olehnya, bisa ditebak kalau wanita tua ini baru pulang berjualan. Masih ada beberapa camilan di dalam keranjang bawaannya.
"Cuacanya panas banget, jadi aku pulang jauh lebih awal." Ditanya apa menjawab dengan kalimat apa, itulah yang sedang dilakukan oleh wanita tua di sisinya.
"Nenek ini ... aku tanya kenapa nenek bisa merepotkan dia lagi? Kalau ada apa-apa nenek ada telepon'kan untuk telepon ke Lova?" tanyanya, terus menerus. Dia berbisik selirih mungkin agar pria itu tidak mendengarnya, tetapi posisi mereka yang dekat, membuatnya mendengar apapun yang dikatakan dengan lirih itu.
"Aku yang bersikeras untuk membantunya, aku tadi melihat nenek berjalan sendiri membawa keranjang jualannya." Karan menyahut. Memotong kalimat milik gadis itu. "Lagian juga nggak perlu sungkan, rumah aku nggak jauh dari sini."
Lova menoleh ke arah pria itu. Dari caranya berbicara dan berpakaian, juga dari caranya bersikap kepada orang tua, sekilas Lova bisa menimbulkan bahwa pria ini adalah pria yang baik.
"Terimakasih kalau begitu." Lova tersenyum manis. "Aku udah nenek pergi dulu," ucapnya.
Belum sempat gadis itu pergi dari hadapannya, pergelangan tangan Lova sudah dicekal oleh pria itu. Membuatnya tidak jadi pergi dari hadapannya sekarang.
"Ada apa lagi?" tanyanya. Karan memang pria yang baik sekilas pandang, sikapnya begitu sopan dan ramah tamah. Namun, Lova juga bukan tipe gadis yang mudah akrab dengan laki-laki di luar sana. Iya bahkan merelakan pekerjaan yang menjadi sumber kehidupan utamanya hanya sebab risih dengan lingkungannya.
"Ada food truck di depan sana ...." Karan menunjuk ke sembarang arah. Sepertinya dia gagap dengan apa yang dia lakukan sendiri. Tentu saja apa yang dia katakan, membuatnya terlihat seperti orang kikuk di sini.
Lova menganggukkan kepalanya. Sepertinya gadis itu tahu di mana letak tempat yang dimaksud oleh Karan. "Lantas kenapa jika di sana ada Food truck?"
Karan menggaruk sisi lehernya yang tidak gatal, seharusnya dia menggunakan kalimat yang lebih bagus dari itu. Sekarang di sini dia terlihat seperti pria yang tidak punya ilmu dan kata-kata yang bagus. Padahal dia selalu melakukan presentasi terbaik di depan pelanggannya.
"Maksudku adalah ... mereka membuka harga promo untuk hari ini. Aku berpikir untuk mengajak kamu ke sana setelah ini jadi mumpung kita bertemu di sini, aku ...."
"Aku harus mengantar nenek pulang ke rumah," jawabnya. Memotong kalimat pria yang ada di depannya. "Kasihan nenek kalau dia jalan sendirian, jadi aku ...."
"Kamu bisa pergi sama dia sekarang, nenek itu masih kuat untuk jalan sendiri. Lagian juga jarak rumahnya tinggal beberapa langkah lagi. Kenapa anak muda zaman sekarang selalu berlebihan dengan situasi yang ada?" Wanita tua itu tertawa kemudian. Dia menepuk pundak gadis muda yang ada di sisinya lalu melepaskan genggaman tangannya.
"Bersenang-senanglah seperti aku katakan kemarin, Nak. Aku dengar di jalan yang ada di sana juga akan ada pasar nanti malam, kalian bisa datang ke sana setelah ngobrol di fo ...." Wanita tua itu menghentikan kalimatnya, tidak bisa melanjutkan sebab itu adalah kata dalam bahasa asing.
"Food truck," sahut Karan.
"Nah, benar ...." Dia tertawa lagi. "Kalian boleh pergi sekarang."
"Tapi, Nek ...." Hampir saja Lova berbicara untuk menolak itu dengan caranya sendiri, tetapi wanita tua itu jauh lebih keras kepala dari dirinya. Dia melenggang pergi begitu saja setelahnya. Meninggalkan Lova bersama pria asing ini.
"Jadi gimana?" tanya Karan, menyala keheningan di antara keduanya. "Kalau kamu mau kebetulan aku punya voucher gratisnya, itu hanya berlaku sampai nanti malam. Namun, nanti malam aku ada acara jadi tidak bisa datang. Jika kamu mau kita bisa pergi sekarang."
Lova menatapnya dalam diam.
"Aku nggak akan maksa kamu kalau kamu nggak mau."
Gadis itu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, lagian setelah ini dia hanya akan masuk ke dalam rusunawa lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang sembari menatap langit-langit ruangan.
"Baiklah." Akhirnya mau memutuskan, gadis itu mengakhiri kalimatnya dengan senyum yang tipis.
Karan mengembangkan senyum di atas bibir merah mudanya, di dalam hatinya sedang bersorak atas kemenangan yang tidak dia sangka sekarang. Karan akhirnya benar-benar bisa berjalan bersama gadis, tak disangka padahal ini adalah pertemuan mereka yang ketiga kalinya.
"Ayo ..." Lova mengajak, memulai langkah yang pertama kali diiringi dengan sepasang kaki jenjang Karan.
Sejenak tidak ada pembicaraan di antara keduanya, sama-sama diam satu sama lain. Sepertinya mereka, mencoba untuk sama-sama memahami keadaan yang sama.
"Ngomong-ngomong kamu selalu pergi dengan membawa tas jinjing seperti itu, memangnya kamu kerja apa? Yang aku tahu orang-orang kantoran pasti hanya membawa tas kecil atau bahkan tidak ada yang membawa tas sebab mereka meninggalkan barang-barang di perusahaan."
Karan melirik tas yang dia bawa. "Ah, ini ..." Dia menarik sesuatu di dalam sana. Mengeluarkan kertas mirip seperti pamflet. "Aku punya usaha kecil-kecilan untuk kembali merintis usahaku yang bangkrut kemarin, itu bergerak dalam bidang makanan. Aku mencoba untuk membuat inovasi produk. Kamu mau mengambil satu?" katanya, menawarkan.
Lova tersenyum, mengambil itu. "Furniture?" tanyanya. Menatap ke arah pria yang mengangguk-anggukan kepalanya.
"Dulu bisnisku sempat berkembang waktu ayahku masih hidup, ada beberapa investor yang datang untuk membantu perkembangan perusahaan. Namun, semuanya berubah saat ayah meninggal dan Jakarta semakin keras saja. Jadi aku kehilangan sedikit demi sedikit hingga akhirnya tidak tersisa sedikitpun," katanya. Menatap Lova yang ada di sisinya.
"Mungkin kalau kamu berniat untuk membeli furniture suatu saat nanti, kamu bisa datang padaku. Aku akan memberi harga diskon yang khusus untukmu."
Lova tertawa. "Diskon teman?"
"Diskon yang banyak."
Lova menatapnya. "Banyak?"
"Diskon teman, diskon orang baik, dan diskon perempuan cantik," ujarnya. Menatap gadis yang diam membisu, terkejut dengan kalimatnya.
Belakangan ini banyak sekali yang menggodanya.
... To be continued ....