"Bagaimana dengan menerima tawaran Pritam?" Dia mengulang kalimat yang sama, setiap pembicaraan mereka berhenti.
Lova tidak bisa memutuskan itu hanya dalam satu malam, mungkin salah jika dia bercerita pada teman lamanya ini sebelum dirinya sendiri yakin akan pilihannya.
"Bayangkan saja jika kamu bekerja di sana dan kamu kenal sama bosnya, kebayangkan berapa bonus yang akan kamu terima jika kerja kamu semakin baik setiap harinya?" Nike berbisik seraya mengadu mie instan di atas mangkok. "Kalau aku jadi kamu, jelas-jelas aku pasti mau menerima itu. Kamu tahu diskotik dan klub malam yang dia punyai?" tanyanya pada Lova.
Gadis yang dilempari pertanyaan hanya dia membisu, menatap kepulan asap dari permukaan mie instan di depannya.
"Black mouse cukup terkenal di kalangan orang-orang penyuka dunia malam, apalagi kota Jakarta itu penuh dengan orang-orang yang seperti itu. Itu bukan sembarang bar dan diskotik atau klub malam seperti tempat kamu kerja sebelumnya. Di sana hanya om-om yang suka genit dan mata keranjang." Nike tertawa dengan kalimatnya sendiri, seperti dia sedang menghina temannya itu.
"Aku nggak bisa menerima itu begitu saja. Aku nggak yakin mau kerja di bar lagi." Dia mengatupkan bibirnya setelah itu. Memutar garpu yang ada di dalam genggamannya, menarik mie kuah ke dalam satu pusaran yang sama. "Kalau dipikir-pikir, pilihanku salah setelah aku memutuskan untuk menerima bekerja di bar."
"Apanya yang salah?" Nike menggerutu. "Kalau memang kamu nggak mau nggak jadi diskotik itu, gimana kalau ikut Pakde? Lagian kalau ikut Pakde pun kamu nggak akan. Sudah kukatakan kalau Pakde itu tidak melulu tentang seks bebas. Ada beberapa pekerjaan yang hanya mengharuskan kamu mempromosikan sebuah produk atau melakukan transaksi berkedok itu."
Nike bangga dengan apa yang dia katakan. "Aku adalah SPG. Dan aku bekerja seperti itu," ujarnya pada Lova. "Berkali-kali aku bilang sama kamu, jangan terlalu menganggap remeh dunia malam itu." Nike bangun dari tempat duduknya, berniat mengambil air putih dari galon di sudut ruangan. "Jangan hanya mengartikan bahwa dunia malam itu tentang pesta seks atau minuman keras, jangan juga hanya mengartikan bahwa dunia malam itu hanya tentang lampu kelap-kelip di diskotik kota, bukan juga tentang orang yang bergoyang di tengah alunan musik jazz dengan DJ seksi yang memandu."
Lova menatap punggung temannya. "Bar tempat aku kerja nggak seperti itu. Itu lebih hanya menjual minuman beralkohol saja. Hanya saja memang tamu-tamunya ...."
"Setiap gedung yang ada di pinggiran kota dan bergerak di malam hari, sebagian besar menyediakan layanan seks rahasia. Kamu aja yang nggak tahu tentang itu," katanya pada Lova.
Nike menekan tombol dispenser dan membiarkan air keluar jatuh di dasar gelas. Memenuhi gelas kosong itu.
Gemercik air sejenak meminta fokus Lova untuk datang.
"Jadi semua tempat itu sebenarnya sama saja, tetapi tidak melulu tentang hal-hal negatif. Tergantung bagaimana cara kamu memahami tempat itu dan beradaptasi, Lova." Setelah kelasnya penuh dia menoleh lagi, berjalan kembali ke tempat duduknya semula.
"Mau kamu kerja sama Pritam atau ikut sama Pakde sebagai anaknya, aku yakin jalannya nggak jauh beda. Akhirnya pun juga nggak jauh beda. Kalau memang kamu nggak mau pilih keduanya dan tetap kokoh untuk mencari kerja yang normal, kenapa nggak coba pulang ke kampung saja?" ujarnya, lagi-lagi dia tertawa pada kalimatnya sendiri.
"Jadi mending segera tentukan pilihanmu sebelum undangannya kadaluarsa. Lagian kalau dipikir-pikir Pritam itu pria yang baik. Melihat bagaimana dia memperlakukan kamu di awal pertemuan kalian, sepertinya dia tertarik sama kamu."
Mendengar kalimat dari teman lamanya itu, Lova terkekeh-kekeh. "Apa alasannya dia tertarik sama aku? Nanti aku yakin dia mengencani banyak wanita di luar sana yang jauh lebih cantik dan jauh lebih kaya. Kalau dipikir-pikir aku itu nggak ada menarik-menariknya sama sekali, Jadi tidak mungkin dia tertarik sama aku."
Nike duduk kembali di depannya. Menatap Lova dengan penuh keseriusan.
"Kalau dipikir-pikir, aku punya satu ide yang mungkin akan berguna buat kamu." Dia mencondongkan tubuhnya ke depan. Sedangkan teman lamanya itu dia membeku, jelas-jelas dia sedang menunggu temannya untuk kembali berbicara.
"Gimana kalau kamu cari sugar daddy saja?"
"Sinting!" Gadis itu menyentak kemudian, dia menggebrak meja di depannya tatkala mendengar ide yang tak lagi bisa dikatakan normal itu. "Kamu ini sudah sinting rupanya!"
"Hei, jangan gitu!" Nike mencoba memberi pengetahuan pada temannya, berbulan-bulan dia tinggal di kota metropolitan, Lova tidak pernah bisa menyamai kehidupan yang ada di sini. Sulit untuk beradaptasi dan dia sulit untuk mengubah pola pikir ke dan cara hidupnya.
Bisa dikatakan dia ini gadis cantik yang monoton. Bukannya tidak ada laki-laki yang tertarik padanya, tetapi lebih tepatnya dia tidak mau mencari laki-laki dan menggubris mereka yang tertarik padanya.
"Sugar daddy itu nggak melulu tentang seks dan pelayanannya, terkadang pria tua hanya minta teman untuk diajak berkencan berkencan satu atau dua malam."
"Memangnya kamu pikir kalau mereka berkencan saat itu ngapain aja?" Lova sekarang berani memprotes. "Seks!"
Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sama yang setara usia saja aku menolak, bisa-bisanya kamu menawari penawaran seperti itu!"
Nike berdecak dengan kasar kemudian. "Pola pikir kamu terlalu sempit," katanya. "Sudahlah. Percuma juga aku berdebat sama kamu. Ujung-ujungnya ... aku akan kalah berbicara juga."
Pembicaraan mereka berhenti sampai di sana. Tidak ada kata-kata yang terucap, sebab sekuat apapun Nike meyakinkan teman lamanya itu untuk segera memberi pilihan terbaik, jika Lova sendiri tidak mau menetapkan pilihannya maka apapun yang dikatakannya hanya akan nihil saja.
"Ngomong-ngomong ... aku mau curhat ...." Namun, ada banyak yang ingin dikatakan oleh Lova pada temannya yang belakangan ini sibuk.
Nike manggut-manggut. "Katakan saja aku mendengarnya."
"Belakangan ini aku terus bertemu dengan seseorang."
Kalimat itu membuat aktivitas makan Nike berhenti.
"Seseorang? Sugar daddy?" --ternyata dia masih dengan pembicaraan yang awal. Sebenarnya dia tidak ada niat buruk untuk teman lamanya itu, Nike hanya ingin mengubah pola pikir dan cara hidup Lova Tilotama Surendra. Dia ingin temannya itu bisa maju, tidak hanya berdiam diri padahal dia sudah berbulan-bulan berada di Jakarta.
"Hush! Jangan ngawur begitu!"
Nike tertawa. "Baiklah, apa?" Dia menatap ke arah Lova.
"Dia pria yang baik dan pengertian, dari semua macam pria yang pernah aku temui ketika tinggal di Jakarta, hanya dia yang aku rasa cocok."
"Lalu kamu suka padanya?" tanya Nike, menyahut dan menyimpulkan padahal Lova belum selesai berbicara.
Gadis itu diam, menatap Nike.
Suka? Dia suka pada Karan?
"Kenapa diam saja? Aku lagi tanya sama kamu, kamu suka sama dia?"
... To be continued ...