Gemercik air terdengar samar-samar, membangunkan Mayya dari tidurnya, barangkali? Entahlah. Dia hanya merasa sesuatu seakan menimpa tubuhnya dari atas, membuat dirinya tidak bisa bergerak sekarang. Cukup sulit untuk memaksakan dirinya.
"Syukurlah kamu bangun juga."
Mayya menoleh ke arah sumber suara. Ditatapnya seorang gadis setara usia dengannya, barang kali, sedang menyeduh teh hangat dalam cangkir kecil yang sedikit retak di bagian pegangannya.
"Mbak Lova?" Suaranya lirih dan parau, khas seperti orang yang sedang pilek. "Mbak ...."
"Eh, jangan bangun dulu kalau belum bisa bangun. Jangan dipaksakan." Lova menghampiri dirinya, meletakkan gelas di atas meja, tak jadi memberikan pada Mayya. Membantu gadis itu untuk duduk di atas ranjang jauh lebih penting sekarang.
"Aku kok bisa ada di sini, Mbak?" tanyanya pada Lova. Kalau tak salah tebak, dia pasti ada di kamar rusunawa sewa milik Lova. Tempatnya sedikit kotor dan berantakan, tidak seperti kamarnya yang selalu bersih dan rapi.
"Kamu tadi pingsan," kata Lova tak berbasa-basi. Langsung menuju pada intinya. "Raut wajah kamu juga pucat pasi," imbuhnya. Setelah itu dia menarik kursi dan mengambil teh hangat untuk Lova. "Minum dulu," tawarnya.
Mayya melirik itu. Menerimanya kemudian. "Makasih, Mbak."
"Sama-sama." Dia menyahut, nada bicaranya iba pada Mayya.
Mereka tidak saling kenal dengan akrab. Hanya saja sesekali saling menyapa kalau bertemu di jalan. Sebenarnya mereka ini sama-sama 'gak jelas' alur hidupnya di Jakarta. Lova selalu melihat Mayya berangkat kerja, katanya dia bekerja di pabrik tekstil yang cukup terkenal, tetapi dia tidak pernah kau bertanya di mana itu. Lova bukan tipe orang yang akan ikut campur dengan urusan orang, terserah mau bagaimana, itu bukan urusan Lova.
Namun, dia tidak pernah melihat Mayya pulang kerja, paling-paling kalau tak sengaja dua sampai tiga kali saja. Itu bisa dihitung dengan jari dalam kurun waktu yang lama.
"Kalau boleh tahu, kamu kenapa?" tanyanya. Hati-hati, takut kalau Lova menyinggung masalah pribadinya.
Mayya diam, menyeruput teh itu. Namun, dia menjeda waktu untuk berpikir sebenarnya. Dia tidak mungkin mengatakan pada Lova bahwa dirinya diperkosa kemarin malam, seseorang pria menyiksanya secara seksual dengan brutal, mencekoki Mayya dengan minuman keras agar dia teler, baru di'mainkan' layaknya boneka tak punya nyawa dan perasaan.
"Aku kecapekan, Mbak." Dia berbohong, menatap Lova dengan miris. Hatinya menjerit, rasa sakit tidak dirasakan di dalam hatinya saja. Namun, juga pada batin dan semua fisiknya.
"Karena lembur di pabrik?" tanya Lova, mengusap punggung Mayya. Tubuhnya yang kecil mungil tidak pantas disiksa waktu untuk bekerja secara brutal siang dan malam begini.
"Kalau gak kuat, kenapa gak keluar saja? Cari kerjaan yang ringan?" tanya Lova, mengusulkan. "Aku tahu, cari kerja di Jakarta bukan hal yang mudah. Syukur dapat kerja tetap, meskipun itu di pabrik yang kesannya kumuh dan kotor, kerja lembur tapi gajinya bikin hancur," ucap Lova.
Dia menghela nafasnya. "Aku juga merasakan itu semua," imbuhnya tersenyum miris. "Tapi kalau begini, kamu bisa sakit dan ...."
"Aku pengen pulang ke kamarku, Mbak." Mayya tiba-tiba menyela, gadis ini tidak banyak bicara. Sekalinya berbicara cukup mengejutkan untuk Lova. Lagian mereka juga tak akrab.
"Kamu bisa istirahat di sini dulu sampai mendingan, gak perlu sungkan. Lagian aku juga tinggal sendiri. Kalau kamu gak nyaman karena ada aku, aku bisa keluar."
Mayya menggelengkan kepalanya, dia keras kepala rupanya.
"Aku cuma pengen tidur di atas kasurku, aku lelah banget." Dia menyahut. "Makasih udah mau nolong aku, Mbak." Dia mulai bangkit dari tempat duduknya setelah meletakkan secangkir teh di atas meja. Dia menatap Lova dengan begitu teduh, matanya pun masih terlihat penuh dengan duka.
Lova sendiri tak tahu sebenarnya apa yang terjadi padanya semalam hingga pulang dalam keadaan kacau seperti ini.
"Beneran mau naik ke lantai atas? Mau aku antar dan ...."
"Gak perlu, Mbak. Nanti nambah merepotkan," jawabnya. Suara itu masih terdengar begitu penuh luka. Sepertinya apapun masalah yang sedang dihadapinya benar-benar begitu besar.
"Udah aku bilang kalau kamu tidak merepotkan sama sekali, kalau memang sekiranya belum kuat untuk naik tangga, kamu bisa ...."
"Aku bilang aku sudah bisa!" Tiba-tiba saja Mayya menyentak, meninggikan nada bicaranya jelas-jelas kesal sebab Lova terus saja memintanya untuk tinggal. "Jangan terlalu kasihan padaku sebab aku tidak ingin dikasihani." Gadis itu mengerutkan keningnya, menatap Lova dengan serius. "Makasih karena sudah menyelamatkan diriku dan menolongku tadi, aku akan membalasnya suatu saat nanti jadi biarkan aku pergi karena aku ingin beristirahat dan aku ingin sendiri."
Melihat bagaimana cara gadis di depannya itu menatap dan berbicara, Lova tahu apapun permasalahannya pastilah begitu berat untuk ditanggung sendirian, tetapi dia juga tidak bisa mempercayai orang begitu saja sebab kepercayaan itu mahal harganya.
"Maafkan aku." Lova melirih. "Kamu boleh pergi kalau begitu."
Setelah dipersilakan pergi, gadis muda itu bangkit dari tempat tidurnya, sekuat tenaga dia berdiri sembari mulai mengambil barang-barangnya. Lova hanya bisa membantu sebisanya saja sekarang. Meskipun di dalam hatinya dia benar-benar ingin gadis ini tinggal sejenak saja, memastikan bahwa Mayya pergi dengan keadaan yang jauh lebih baik dari yang tadi.
"Pamit dulu, Mbak. Sekali lagi makasih sudah menolong aku."
Lova manggut-manggut, dia hanya bisa mempersilahkan gadis itu untuk keluar dari kamar sewanya. Membuka pintu yang ada di sana. Udara dingin mulai merambah masuk, sebab di luar sedang hujan gerimis. Langit mendung datang sejak beberapa jam yang lalu.
"Hati-hati di jalan! Langsung hubungi aku kalau kamu butuh sesuatu."
Kalimat itu sejenak menghentikan langkah kakinya dan membuat Mayya menoleh dan berdiri di ambang pintu. "Makasih, Mbak."
Lova hanya tersenyum dengan kalimat itu dan membiarkan punggung Mayya menghilang selepas dia pergi dari ambang pintu.
Kini pandangan Lova tertuju pada cangkir teh yang sudah habis isinya. Entah sebab dia benar-benar haus dan membutuhkan kehangatan, atau hanya sebab tidak enak jika tidak menghabiskan teh yang dia seduh untuknya. Sejauh orang berkata, teh buatan Lova itu kalau nggak ada rasanya ya pasti kemanisan.
Jadi tidak ada yang pernah mau menghabiskan teh atau kopi yang dia buat, dia tidak pandai untuk memadupadankan rasa agar begitu pas.
"Sebenarnya apa yang terjadi padanya, lagian juga dia kerja di mana? Pabrik mana yang terus mengharuskan karyawannya untuk lembur setiap hari? Memangnya pabrik itu sebesar apa?"
Dia menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri. Teka-teki kata siapa yang terjadi pada Mayya, sebenarnya tidak perlu dipusingkan olehnya.
"Lova!" Seseorang mengejutkan dirinya dari ambang pintu yang terbuka, tiba-tiba saja menyembulkan kepalanya keluar dari sana. Nike
"Pritam mau ketemu kamu lagi!"
"Huh?"
... To be continued ...