"Udah," jawab Anya.
"Wajar sih, masa iya mau nunggu Bobby sambil lumutan," balas Rio.
"Waktu terus berjalan membawa kita bertemu dengan orang baru yang tak pernah kita sangka sebelumnya dan tak mungkin aku tetap setia sama yang udah menghilang tanpa jejak," kata Anya sembari memandang lurus ke depan.
"Dan yang paling realistis adalah orang tua kita pasti akan terus bertanya Kalau kita nggak ada calon. Mungkin bakal ruqyah atau disuruh mandi kembang buat tolak bala," kelakar Rio yang cukup mewakili keadaan mereka saat ini.
"Ngga punya calon dianggap bencana kali," Anya terkekeh.
"Yah, namanya society. Apa yang sudah berlangsung sejak lama akan terus berlanjut meskipun kita nggak tahu siapa yang mengawali itu jalan hidup siapa. Bayi sekolah kuliah kerja lalu menikah, Siapa yang menciptakan tatanan hidup itu?" ungkap Rio.
"Padahal bisa aja kan, lulus kuliah muter-muter dulu nggak langsung kerja apalagi ketemu jodoh," balas Anya.
Perjalanan ke sekolah tak terasa hampa karena mereka adalah teman lama. Sebuah reuni tak terelakan lagi. Terlebih ada sepenggal cerita antara mereka, tentang hilangnya Bobby.
"Kak Rio gimana? Sudah ada pacar?"
Rio tak langsung menjawab dia memberikan senyum tipis di bibirnya.
"Cerna kalimat gue," titahnya.
"Nya, cuma nyokap bokap gue yang nggak peduli anaknya punya calon apa nggak, mau nikah kapan, semacam itulah. Mereka selalu bilang sama gue kalau hidup dinikmati aja kalau belum ada ya udah jangan dipaksakan yang penting bahagia. Banyak cara untuk bahagia," kata Rio yakin.
"Contohnya?"
"Punya rezeki melimpah, teman yang baik, masih bernapas, dan banyak lagi kalau kita mau hitung."
Mereka terdiam sebentar larut dalam pikiran masing-masing.
Sudah hampir sampai di sekolah Anya. Entah mungkin masa lalu yang bergerak mengiringi mereka karena melewati jalan yang sama yang pernah mereka lewati saat usia remaja.
"Almamater kita," ujar Rio sembari menginjak rem mobil.
"Sambung lagi lain waktu, Kak."
"Kita cari Bobby," janjinya pasti. Ada sedikit Harapan di hati Anya siapa tahu dia bisa bertemu lagi dengan Bobby menjawab pertanyaan kenapa?
"Makasih ya, Kak."
Hanya itu yang bisa diucapkan setelah itu dia berbalik. Dia harus kembali ke dunia nyata untuk mengajar. Di balik semua kenangan yang ada, dia adalah seorang guru. Kewajibannya kali ini adalah mengajar.
Di manapun Bobby berada, bagaimanapun keadaannya, pria itu akan terus ada dalam hati Anya.
**
Begitu Anya membuka mata, dia sudah ada bersama Bobby sepulang sekolah.
"Hai, tunangan," sapa Anya.
"Hai, yuk pulang. Apa mau ke mana dulu?" tanya Bobby.
Di bawah terik matahari itu depan pagar SMA 127, mereka memutuskansa untuk jalan-jalan sebelum pulang ke rumah.
"Masa pulang? Ke mana dulu gitu," pinta Anya manja.
"Mall? Nonton?"
"Nggak, ntar kamu tidur lagi," ujar Anya sambil menunjukkan muka cemberut.
"Nggak bakalan, apalagi kalau filmnya horor, kemarin bukannya film menye-menye ya?"
Anya naik ke jok belakang sepeda motor tanpa menjawab. Tangannya tanpa sungkan memeluk pinggang Bobby.
"Ke mana aja deh, asal jangan pulang," ajak Anya. Ia ingin pulang lebih lama. Jarak antara rumah dan sekolah tidak terlalu jauh sehingga kalau ingin rasanya Jalan lebih panjang, mereka harus melewati jalan memutar atau jalan-jalan sepulang sekolah.
Anya dan Bobby melipir ke pinggir pantai daerah perumahan paling mewah di Jakarta. Sesampainya mereka di sana, terlihat pemandangan pantai di siang hari jelang sore. Masih menggunakan seragam sekolah yang melekat di tubuh mereka.
"Perumahanku nggak ada apa-apanya dibandingkan sini," ucap Bobby.
"Perumahanku?"
"Perumahan yang kita tinggali adalah milik orang tuaku," ucap Bobby.
"Ternyata aku pacaran sama anak sultan. Nggak kelihatan, ya?"
"Penampilan kamu sederhana, ke sekolah pakai motor jadi nggak kelihatan kalau anak orang kaya."
"Sayang juga naik mobil jarak dekat dari rumah ke sekolah. Buang bensin," tukas Bobby. Ia merogoh kantung seragamnya, ia menemukan sebatang rokok lalu. membuangnya ke tanah. Niatnya tidak akan merokok lagi. Anya mengetahui tindakan itu, segera ia memungut rokok itu.
"Kamu merokok?" Anya menatapnya curiga.
"Iya, aku sempet coba satu atau dua batang. Biasalah, pengaruh teman-teman biar dikata keren tapi sekarang udah nggak lagi, kurang suka aja," kata Bobby.
"Syukurlah, aku ngga suka cowok merokok. Kesannya bandel aja," ucap Anya.
"Tenang aja, aku bukan anak bandel," Bobby menunjukkan ekspresi manja. Dia membuat Anya nyaman saat bergelayut di lengannya.
Mereka selalu lengket, ke manapun berdua, termasuk saat sekolah. Bobby mengantar Anya sampai depan gerbang. Anya melambaikan tangan saat berbalik ke sekolah masing-masing.
Tanpa sadar, mereka jadi pusat perhatian. Murid-murid sekolah memperhatikan gerak-gerik Bobby dan Anya bagai artis yang sedang jadi sorotan. Mereka jadi ikon kisah kasih antar sekolah. Untuk pertama kalinya ada kisah cinta antara dua sekolah berbatas tembok itu.
Foto tunangan mereka sudah menyebar untuk pengalihan isu dari gosip Anya punya hubungan lebih dari murid dan guru dengan pak Jamal. Perlahan gosip itu hilang dengan sendirinya berganti asmara antara anak SMA dan SMK.
Anya bisa tenang melangkahkan kaki di sekolahnya. Dia tak lagi mendapatkan tatapan sinis dari teman-temannya. Seperti biasa, dia dan Bobby tetap bertemu di balik batas tembok sekolah.
Tepat jam istirahat, Anya berdiri di tempat biasa. Parkiran batas tembok itu jarang dikunjungi siswa. Dulu sering ada siswa yang diam-diam merokok tapi sekarang sudah jarang karena kesiswaan dan guru BK yang ketat mengawasi murid-murid.
Tangan Anya menggenggam dua plastik cilok untuk dirinya dan Bobby.
"Sayang!" seru Bobby dari balik tembok. Dia berdiri di tangga, terlihat sampai dada dari posisi Anya berdiri. Seulas senyum terbit dari bibir Anya.
"Hati-hati nanti jatuh!" seru Anya mengingatkan.
"Aku bawain jajan cireng," kata Bobby. Dia melempar seplastik cireng bumbu pedas ke arah Anya.
"Hap!" ujar Anya sembari menangkap cireng.
"Ngga sopan tahu, lempar-lempar makanan," protes Anya.
"Kalau boleh sih aku turun," balas Bobby santai.
Sepersekian detik, mata Anya berkedip kemudian pandangan matanya berubah. Dia ada di lobby sekolah. Ada banyak orang yang mengerubunginya. Mulai dari tukang kebun hingga kepala sekolah. Harum parfum tercium di hidungnya.
"Bu Anya, akhirnya sadar," kata bu Wanda begitu melihat mata Anya terbuka.
Anya pingsan saat berjalan beberapa langkah dari gerbang. Dia mengalami kelelahan yang amat sangat sehingga tak kuat lagi berdiri.
"Aku kenapa?"
"Kamu pingsan, mungkin kecapekan, aku antar pulang, ya?" tawar bu Wanda.
"Nggak apa-apa, pulang aja kalau memang harus istirahat. Nanti murid kasih tugas aja," saran pak Darwis, kepala sekolah.
Anya mengangguk, dia tak mampu menolak. Pikirannya sudah sangat lelah.