Bobby menjemput Anya sepulang sekolah. Mereka janjian ketemu sepulang sekolah. Pasangan yang beda sekolah ini memang lebih jarang bertemu ketimbang pasangan satu sekolah. Mereka bisa pacaran dengan leluasa karena ada izin dari orang tua Anya tapi tidak dengan Bobby.
Hari ini ia akan mengajak Anya ke rumahnya untuk sekedar berkenalan dan kasih tahu kalau Bobby sudah berpacaran dengan Anya.
"Benerin rambut dulu, By."
"Apanya yang dibenerin?" tanya Bobby sembari memperhatikan Anya yang sedang mematut diri depan kaca spion.
"Ini, rambut aku tadi berantakan," kata Anya.
"Ntar juga berantakan kena angin," ucap Bobby sembari memegang puncak kepala Anya. Tangannya malah semakin membuat rambut Anya semakin berantakan.
"Bobby, ih!" seru Anya. Dia memanyunkan bibirnya, ekspresi itu membuat Bobby semakin gemas. Di bawah terik matahari, mereka tak merasakan panas sama sekali. Anya membawa kesejukan di hati Bobby.
"Ayo naik," ajak Bobby. Anya mengangguk lalu naik ke jok belakang. Tangannya melingkat di pinggang Bobby.
Mereka meninggalkan sekolah, menuju rumah Bobby. Tujuan hari ini adalah mengenalkan Anya ke mama Claudia.
"Mama kamu galak nggak, By?" tanya Anya.
"Galak kalau aku kena kasus di sekolah sama kalau aku minta uang jajan mulu," jawab Bobby enteng.
"Semoga nggak galak ke aku," harap Anya.
"Nggak bakalan," ucap Bobby sembari memegang tangan Anya untuk menenangkannya.
Sesampainya di rumah Bobby, Anya merasa sangat minder saat melihat rumah besar dengan cat putih bersih. Rumah itu ada di depan perumahan, khusus bagi orang
"Sekarang lagi di rumah sini, kadang di ujung gang blok F menyatu sama penghuni lain, mereka sampai nggak nyangka kalau keluargaku yang punya perumahan," kata Bobby lalu mengajak Anya masuk.
"Permisi," kata Anya.
Suasana rumah hening begitu Anya menginjakkan kaki di ruang tamu. Pandangannya lurus menatap tangga melingkar menuju lantai dua. Rumah yang begitu mewah, dengan kaca di setiap sudut.
Pemandangan ruang tamu lurus ke kolam renang dan taman. Anya takjub, seakan ingat dengan kemiskinannya. Rumah yang dia tinggali hanya mengontrak.
"Nya, minum apa?" tanya Bobby.
"Nggak usah repot-repot, By." Anya menjawab malu-malu. Dia sudah cukup takjub dengan pemandangan di depannya. Belum lagi interior rumah yang bersih tanpa debu.
"Ngga repot, tinggal bikin aja kok," ucap Bobby.
Anya sibuk mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruang tamu. Hidungnya mencium aroma bunga dari pewangi ruangan. Rumah ini bisa jadi model acara rumah idaman di televisi.
Selang beberapa menit, Bobby membawa jus jeruk untuk Anya.
"Ini Anya, diminum ya? Udah makan?" tanya Bobby lalu duduk di sebelah Anya.
"Udah tadi, sebelum pulang ke kantin. Kamu bilang pulang sekolah mau ngajak main jadi aku makan dulu," kata Anya.
"Aku malah belom tapi nggak apa-apa istirahat siang tadi udah makan," ucap Bobby santai.
"Sepi banget, By. Katanya ada mama?"
"Mama lagi di kamar kayaknya, tadi aku panggil dari interkom, beliau cuma mengiyakan. Tunggu aja," kata Bobby.
Tepat saat Bobby mengucapkan kata tunggu, bu Claudia turun dari tangga. Wajahnya terlihat seperti Bobby versi perempuan. Dia berjalan dengan langkah pasti ke tempat Bobby dan Anya duduk. Mereka segera berdiri untuk memberi hormat.
"Siang, Tante."
Anya mengatupkan bibir, perasaannya mendadak gugup saat bu Claudia menatapnya tajam. Mereka duduk di posisi masing-masing. Bu Claudia di tengah, kursi paling ujung. Dia terlihat tidak menyukai Anya. Kesan pertama yang canggung.
"Bobby, kok beda ceweknya? Kemarin bukan ini yang nungguin kamu sampai jam dua," kata bu Claudia.
"Bukan, yang itu udah nggak jadi pacar lagi. Masa lalu," tukas Bobby. Wajahnya memperlihatkan rasa tidak nyaman. Kasihan Anya, sudah terlanjur datang malah disambut dengan wajah judes ibunya.
"Saya pulang aja, Tan. Rumah Anya dekat kok," kata Anya tidak enak.
"Jangan pulang dulu, Anya bisa main kapan aja di sini, dia pacarku sekarang," bela Bobby. Kalimat itu membuat Claudia terdiam. Putra tunggalnya sudah bisa memilih apa yang dia jalani. Dia bukan lagi anak kecil yang sering berantem dengan teman sepermainan.
"Bobby, jagain pacarnya. Jangan dibuat mainan," pesan bu Claudia tetap dengan wajah jutek. Dia beranjak meninggalkan Bobby dan Anya di ruang tamu agar ada sedikit celah bagi keduanya.
"By, mama kamu nggak suka sama aku?" tanya Anya dengan polosnya.
"Mama memang jutek orangnya tapi bukan berarti dia nggak suka kamu," hibur Bobby sambil tersenyum.
Ting! Ting! Ting!
Bunyi sendok dan mangkuk beradu menandakan tukang bakso lewat depan rumah. Bobby bergegas memanggilnya.
"Ngebakso, yuk!" ajak Bobby lalu memegang jemari Anya.
"Ayo!" seru Anya lalu berjalan mengikuti Bobby di belakangnya.
"Bakso sepuluh ribu dua mangkuk," pinta Bobby pada kang bakso. Tak butuh waktu lama mereka segera mendapat bakso di tangan.
Mereka makan bakso berdua di teras, tak perlu gengsi bagi anak orang kaya seperti Bobby untuk sekedar beli makan di gerobak. Semua manusia sama saja, dia juga masih jajan dengan uang orang tua. Tak perlu terlalu membanggakan diri.
"By, kamu kok masuk SMK sih? Padahal kamu bisa masuk sekolah elite internasional," tanya Anya membuka obrolan.
"Lebih kena di hati, mulai dari jurusannya sampai lingkungan yang lebih ramah, lagian kalau aku sekolah di tempat elite, nggak bakal ketemu kamu," rayu Bobby.
"Kamu bakal ketemu cewek lebih cantik, bukan aku," ucapnya merendah dan apa adanya. Dia tidak ingin meninggi, Anya hanya gadis imut sederhana yang kadang insecure dengan dirinya sendiri.
Di tengah asik makan bakso, tiba-tiba matanya menerjap lalu semua berubah. Pandangan matanya tak lagi sama. Bola matany melihat langit-langit kamar. Rupanya hari sudah jelang maghrib. Anya tidur sepanjang hari setelah pingsan.
Saat tidur tadi, dia masih saja mendapat bayang masa lalu tapi hanya sekejap. Mungkin ini adalah efek dari obat. Dia harus kembali konsultasi. Berapapun ia bayar asal bisa tidur dengan tenang.
Mama belum pulang, dia hanya tinggal sendiri di rumah. Tidur sepanjang hari membuatnya lapar dan haus. Untung saja di rumah masih ada mie instan dan telur. Harusnya ia hanya bisa memakan yang ada di rumah sampai ada kurir makanan mengetuk pintu.
"Iya!" sahut Anya dari dalam. Iapun segera membuka pintu.
"Dua paket Webnovel Fried Chicken!"
"Saya nggak pesan, Pak."
"Dari pak Jenan untuk nona Anya," ucapnya dengan lugas. Kalimat itu cukup menjelaskan kalau ia menerima makanan dari Jenan.
"Saya nggak usah nambah ongkos?" tanya Anya lagi.
"Sudah lunas," jawab si kurir. Anya mengangguk lalu mengucapkan terimakasih. Jenan lagi, pria itu selalu baik padanya. Apa mungkin Anya bisa melepaskannya?