"Bu Anya, pulang sekolah ke ruangan saya," ucapnya dengan nada yang tegas diiringi tatapan tegang dari para siswa. Anya tak mampu berkata-kata, ia hanya mengangguk seraya ibu kepala sekolah meninggalkannya.
"Baik, anak-anak, maaf menunggu lama..."
Satu keahlian Anya adalah tampak baik-baik saja meskipun dalam hatinya terasa resah dan banyak pikiran. Belum lagi temuan kotak makan yang masih ada tersimpan dalam gundukan tanah. Kini sudah ada di tangannya meski belum ia buka karena masih jam kerja. Dia melanjutkan pelajaran sampai jam terakhir.
Waktunya menghadap kepala sekolah, dia tidak takut meskipun perbuatannya salah. Dia melangkah ke ruang Kepala Sekolah di sepanjang lorong berdekatan dengan ruang guru. Tertulis plang Principal's Room di atas pintu.
Kriet...
Pintu terbuka, tampak kepala sekolah sedang mengguratkan tanda tangan di beberapa surat tugas.
"Permisi," ucap Anya. Bu Laila melirik tajam ke arahnya.
"Duduk," ucapnya. Anya duduk di seberang berbatas meja.
"Bu Anya, anda tahu kalau dilarang meninggalkan siswa terlalu lama sehingga kelas menjadi jam kosong?" tanyanya. Pulpen terlepas dari tangan, ia fokus memandang ke arah Anya.
"Saya ke toilet, Bu. Buang air besar," jawabnya memberi alasan yang manusiawi agar terhindar dari sanksi atau mendapat sanksi yang ringan.
"Kalau begitu kondisikan siswa di kelas, beri tugas agar sekiranya mereka ada kegiatan dalam kelas," ujar bu Laila.
"Maaf, Bu."
Anya tak bisa berkata apa-apa lagi karena dirinya memang salah.
"Kalau sampai terjadi lagi, anda akan dapat SP1!" ancamnya.
Dalam hati Anya menyesali sikap kepala sekolah yang keras. Ada beberapa guru yang mendapat perlakuan sama termasuk pak Jamal. Namun dia hanya bisa mengangguk pasrah kemudian keluar dari ruang kepala sekolah.
Hampir jam terakhir, Anya segera pulang tepat waktu. Selain karena sudah lelah, dia ingin segera membuka kotak makan pengganti time capsule yang ia kubur bersama Bobby.
Ting!
Handphonenya berbunyi menandakan taksi online sudah tiba di sekolah. Tanpa menunda lagi, ia segera meninggalkan tempat kerjanya.
Pikiran Anya berkecamuk, dia masih bertanya-tanya tentang surat yang ditulis Bobby. Harusnya kapsul waktu dibuka setelah mereka menikah nanti. Namun kisah hidup kadang tidak sesuai rencana. Tidak ada pernikahan sampai detik ini. Bobby menghilang begitu saja.
Sesampainya di rumah, ia segera menuju ke kamar. Jantungnya berdegup kencang, rasanya seperti berhadapan dengan Bobby. Tangan Anya membuka kotak itu dengan mudah. Bibirnya tersenyum saat menyentuh foto mereka satu per satu. Sampai pada secarik kertas warna biru muda dan pink.
Biru adalah kertas yang ditulis Bobby. Satu yang saat itu menjadi rahasia yang akan mereka buka setelah menikah. Namun meski pernikahan tidak pernah terjadi, Anya tetap akan membacanya.
Dia menarik napas, membaca isi surat itu dengan suara pelan.
"Anya, saat kamu baca surat ini kita pasti sudah menikah dan entah punya anak tidak, yang aku harapkan hanya bersama kamu. Terlalu jauh membicarakan pernikahan sementara kita saja masih SMA tapi apa salahnya punya rencana... "
Air mata menetes dari pelupuk matanya. Dia tak kuasa menahan tangis. Semua harapan masa remaja itu nyata adanya meski tak terwujud hingga hari ini.
"Bobby, kamu di mana?"
Sebuah tanya tanpa jawab, hidupnya terbebani cinta yang belum usai. Sekali lagi Anya menarik napas sebelum lanjut membaca.
"Kalau akhirnya aku nggak sama kamu, semoga aja sama kamu. Aku cuma mau sama Anya, kalau bukan, biar aku tolak cewek yang mendekat. Nanti kalau sudah menikah, kamu akan aku ajak tinggal di Taiwan karena sudah disiapkan bisnis untuk aku di sana. Kamu juga bisa mengajar seperti impian kamu jadi guru. Tenang aja, belajar bahasa mandarin itu gampang. Kamu pasti bisa."
Anya menutup kertas itu kemudian meringkuk di tempat tidurnya. Semua impian masa remaja itu kini sirna. Takdir tak lagi sejalan, hidup adalah misteri yang tak bisa ditebak. Semua tak bisa berjalan sesuai keinginan.
Selang beberapa detik, ia menata kembali emosinya kemudian membaca ulang surat itu sambil tiduran. Dia sadar, ada kata Taiwan disebut. Apa ada hubungan antara Bobby dengan Taiwan?
Anya dikejutkan oleh suara telepon. Tertulis nama Jenan di layar. Dia segera mengangkatnya.
"Halo," ucap Anya.
"Anya, aku di depan."
"Oke."
Anya segera menghapus air matanya, dia memastikan semua baik-baik saja. Dia tidak boleh terlihat sedih di depan Jenan.
"Jenan," sapanya sambil tersenyum tipis begitu langkahnya sampai di depan Jenan. Namun wajah itu tetap terlihat habis menangis. Mata Anya bengkak, hidungnya merah karena berair.
"Kamu kenapa?" tanya Jenan khawatir.
"Nggak, cuma kangen papa," dusta Anya. Dia tidak mungkin berkata jujur tentang masa lalunya.
"Ya udah, kita jalan yuk, biar kamu nggak sedih lagi."
"Aku belum mandi, belum ganti baju ngajar," tolak Anya ragu.
"Nggak masalah, kita keliling aja. Makan drive thru biar ngga turun dari mobil," ajak Jenan.
"Iya deh," Anya mengangguk. Dia segera mengunci pintu kemudian ikut ke mobil Jenan. Ikut bersama Jenan bisa jadi pelipur laranya untuk sementara karena kapsul waktu bersama Bobby cukup membuat hatinya bersedih.
"Nya, tadi siang pas istirahat aku ketemu sama Rossa, mantan aku pas SMA," cerita Jenan. Anya spontan menelan ludah.
"Lalu apa yang kamu rasakan?"
"Biasa aja. karena aku sudah punya Anya," jawab Jenan yakin. Kalimat itu membuat Anya tersindir. Jenan bersikap seperti itu sementara Anya masih terus mengingat tentang Bobby.
"Jadi kalau nggak ada aku, gimana?"
"Ya biasa aja karena udah berlalu. Hidup terus berjalan, belum tentu kita selalu bersama orang yang sama. Lagian yang udah nikah aja bisa cerai apalagi cuma pacaran."
Anya termangu mendengarnya. Biar bagaimanapun dirinya dan Jenan adalah pasangan kekasih untuk saat ini. Tak salah jika Jenan mengutamakan Anya ketimbang mantannya sedangkan Anya masih sibuk bergumul dengan masa lalu.
Tanpa terasa, mata Anya tak bisa menahan kantuk sehingga kepalanya jatuh ke kanan. Dia tertidur lelap dalam hitungan detik. Begitu ia membuka mata, ia sudah ada di pinggir lapangan basket SMK 21.
Bobby dan teman-temannya sedang bertanding melawan squad dari kelasnya. Ada pertandingan persahabatan antara kelas XI IPS SMA 127 dua diantaranya adalah teman sekelas Anya dan kelas XI dan XII SMK 21. Anya hanya menjadi suporter khusus Bobby karena tak tahu harus ada di pihak siapa.
"Bobby! Semangat, By!" pekiknya disambut senyuman dari Bobby sementara matanya tak lepas dari bola yang melambung tinggi.
Bobby dan Anya menjadi pasangan idaman saat itu, tak disangka Bobby yang berpenampilan garang bisa jadian dengan Anya yang imut dan polos. Sebelum semua menjadi kenangan.