Gevlesta, Dinasti Yaimore
20 Februari 1678 M
Svard tak ingat sudah berapa lama ia berjalan menyusuri sebuah jalan setapak berbatu. Sedari tadi ia merasa berputar-putar di dalam LUBEL, sekedar mengikuti arahan sistem navigasi metaverse itu. Baik Svard atau sistem itu sama-sama mencari pintasan virtual menuju kamar nomor 599. Mereka saling mengejar, karena berkali-kali ruangan itu terdeteksi di tempat yang berbeda-beda, muncul dan hilang tak beraturan.
DRLING!
[Tujuan terkonfirmasi: Vannes, Prancis]
[Waktu terkonfirmasi: Juli 1777 M]
Svard berdecak sebal, ini adalah kali keenam sistem navigasi LUBEL mengganti lokasi, padahal sebelumnya sistem itu mengatakan bahwa kamar bernomor 599 ada di Yaimore tahun 1678 M.
"Pindah!"
DRLING!
Sebuah Mikrov muncul beberapa langkah di depan Svard, hendak membawanya berpindah tempat yang berjarak waktu 99 tahun. Sepersekian detik setelah melintasi Mikrov, pria itu sudah berada di depan sebuah rumah bergaya rustik eropa klasik.
Svard bingung, tidak ada seorang pun di tempat itu kecuali dirinya. Disana juga gelap, satu-satunya yang menerangi hanyalah cahaya violet dari Mikrov di belakang. Namun, Svard tak mau berlama-lama berdiam diri.
"Ljus på! (Lights on!)"
SRLING!
Cahaya dari Mikrov itu berpindah ke atas, melingkupi langit rumah itu bak cahaya matahari berwarna violet hingga seluruh sisi bangunan kuno itu terlihat.
"Musée des beaux-arts..." gumam Svard, membaca sebuah tulisan berbahasa Prancis di sebuah papan nama kayu di pekarangan. "Museum seni rupa murni?"
Svard melangkah perlahan, dengan pandangan matanya yang terus mengedar ke sekitar. Masih sama, tidak ada seorang pun di sana, benar-benar sunyi dan sepi. Beberapa langkah kemudian, Svard sampai di depan pintu, tanpa ragu lagi ia hendak membukanya.
Namun, baru saja Svard menyentuh daun pintunya yang berdebu, sesuatu yang mengejutkan terjadi hingga ia melangkah mundur.
Pahatan kayu dengan lidah api itu kembali muncul, meski kali ini ia berada di pintu dan warna yang berbeda. Jika di Malmo api itu berwarna merah membara, kali ini ia berwarna biru terang. Namun tak ada yang berbeda dari keseluruhan bentuk pahatan kayu itu.
Dua wajah wanita yang sangat mirip layaknya kembar, yang Svard ketahui sebagai Klara di kanan dengan gaya pakaian Eropa klasik dan Andrea di kiri dengan gaya pakaian kontemporer kembali muncul. Kedua wajah itu saling berhadapan, dengan angka '599' ada di antara kepala mereka.
"Benar ini tempatnya."
CKLK!
KRIEEET!
Pintu itu terbuka sendiri tanpa diminta. Diluar dugaan Svard bahwa bagian dalamnya akan sangat gelap, tempat itu justru cukup terang dengan cahaya lilin dan lampu kuning temaram di berbagai sisi ruangan dan langit-langitnya.
Svard melanjutkan langkah, melintasi deretan kursi-kursi yang menghadap sebuah panggung kecil di depan. Aneh, apakah benar tempat ini adalah museum? Tempat ini lebih terlihat seperti gedung pertunjukan seni. Namun, Svard juga tak bisa lekas menyimpulkan, karena matanya tertuju pada beberapa lukisan yang dipajang mengelilingi pinggir panggung itu.
Svard semakin memicingkan mata seiring langkahnya yang semakin mendekat ke panggung. Ia kemudian berhenti di depan sebuah lukisan yang dipajang paling depan dan tengah. Ia terdiam beberapa saat, karena jelas-jelas ia mengenali gaya lukisan itu, apalagi wajah wanita yang menjadi figurnya.
Itu adalah lukisannya sendiri.
Potret Klara yang ia lukis ratusan tahun lalu.
Potret Klara Ekberg yang sesungguhnya.
Svard memeriksa lukisan-lukisan lain di samping kanan dan kiri lukisan paling tengah itu, dan ia semakin terkejut saja ketika mengetahui bahwa seluruh lukisan yang ada di dinding kamarnya ada disana.
Ya, seluruh potret Klara dan wanita mirip Klara yang ia lukis selama ratusan tahun perjalanan hidupnya itu ada disana, entah bagaimana caranya.
Apakah itu lagi-lagi sebuah ilusi?
"Apa maksudnya semua ini..." gumam Svard bingung.
Lalu semakin ia dibuat bingung ketika mendengar suara tawa yang menggema di ruangan itu.
Hahaha!
Heey! Jangan seperti itu! Haha!
Svard memutar tubuhnya, mencari-cari siapa wanita dan pria yang tertawa di ruangan itu. Namun lama kelamaan ia ingat, bahwa itu adalah suaranya sendiri, suaranya bersama Klara.
Tak cukup suara itu membuatnya terkejut, berkas-berkas cahaya menyerupai hologram mendadak muncul di panggung. Sosoknya dan Klara yang berdansa ada disana, mereka tertawa bahagia, karena Svard yang terus membercandai Klara ketika seharusnya mereka serius dan romantis di lantai dansa.
Belum sempat kejutan-kejutan itu berakhir, satu lagi kejutan datang, dan kali ini membuat Svard benar-benar membeku di tempatnya. Nafasnya bahkan tercekat, detak jantungnya serasa berhenti sekian detik, pikirannya berhenti bekerja, seluruh tubuhnya melemas.
Klara Ekberg, wanita itu berjalan menghampirinya.
Kali ini bukan ilusi, sosok wanita dengan gaun biru kerajaan dan mahkota kecil di kepalanya itu kini berdiri tepat di hadapannya. Ia tersenyum, dan senyum itu tak sedikit pun berubah atau menua, tetap sama manisnya hingga Svard berkaca-kaca.
"Kau..."
Klara mengangguk, "Ya, ini aku, Svard."
Svard meneguk salivanya dalam-dalam, masih tak percaya dengan apa yang disaksikannya kini. "Bagaimana bisa kau... ada disini? Apakah... kau masih hidup?"
Klara lagi-lagi tersenyum anggun. "Saat ini aku berada di ambang hidup dan mati. Aku menunggumu datang," ujarnya, menyentuh wajah Svard dengan kedua tangannya.
Svard merinding, kedua tangan Klara di wajahnya masih terasa sama, tak berubah sedikit pun. "Apa yang kau lakukan disini? Kenapa kau menungguku?"
"Karena aku merindukanmu, Svard. Tidakkah kau juga begitu?" tanya Klara. Kedua manik matanya yang cantik itu tak kalah berkaca-kaca dari Svard, sebelum akhirnya ia mencium bibir pria kekasihnya itu lembut.
Svard tak tinggal diam. Ia meraih pinggang Klara mendekat padanya, memperdalam ciuman mereka bersama air matanya yang terasa telah jatuh. Rindu dan sendu, perasaan itu bercampur aduk untuk mereka.
Svard lantas melepaskan Klara lebih dulu, menangkup wajahnya. "Jangan tinggalkan aku lagi, dan ikutlah denganku, ke duniaku saat ini, hm? Aku berjanji tidak akan pernah membuatmu sakit seperti dulu. Kau mau, kan?"
Namun Klara menggeleng, "Aku tidak bisa, Svard. Aku harus pergi," jawabnya, membuat Svard mengerutkan dahinya kecewa. "Kenapa? Kenapa kau tidak bisa? Kemana kau akan pergi?"
"Aku mencarimu selama ini, Klara."
"Ya, aku tahu. Tapi kita memang tidak bisa bersama, Svard. Kau hanya ditakdirkan untuk bersama dengannya."
"Siapa yang kau maksud? Tidak ada wanita yang kucintai selain dirimu, Klara!"
Klara menggeleng, tersenyum dengan air matanya yang terus menetes ke wajahnya. Ia menyentuh wajah Svard hangat. "Kau sudah bertemu dengannya, bukan?"
Svard terdiam.
"Anggap gadis itu adalah diriku sementara waktu, hingga kau mampu mencintainya sebagai gadis itu sepenuhnya..."
"Klara..."
"Dengarkan aku, Calle Svard! Kau harus mengakhirinya, aku tidak mau kau terus menderita karena diriku. Temukan kebahagiaanmu dengannya, aku mohon."
Svard hanya menggelengkan kepalanya enggan, ia menolak.
"Waktuku tak lama lagi, aku benar-benar harus pergi. Bisakah kau meyakinkanku bahwa kau akan baik-baik saja dengannya?"
"Tidak, jangan pergi, Klara." Svard menggenggam tangan Klara erat, menariknya yang perlahan melangkah mundur menjauh. "Klara..."
"Lepaskan aku, Svard. Ini adalah akhirnya."
"Tidak, Klara!"
Klara hanya tersenyum dan mengangguk. Tanpa sadar Svard melonggarkan genggamannya pada tangan gadis itu hingga ujung jari mereka bersentuhan untuk terakhir kalinya.
"Klara!"
Terakhir kalinya, sebelum Klara benar-benar menghilang, berubah wujud menjadi cahaya yang Svard lihat sebelumnya di atas panggung kecil.
"Klara, kumohon..."
"Klara..."
Svard terjatuh, bertekuk lutut lemas di lantai.
Pria itu menangis terisak, dadanya sesak, perasaannya hancur.
Klara benar-benar meninggalkannya kali ini, dan gadis itu tak akan pernah kembali.