Chereads / Surrealistic Lucelence (Andrea den Svard) / Chapter 19 - Sakit Mata, Seduhan Herbal

Chapter 19 - Sakit Mata, Seduhan Herbal

"Fellecia Edge?"

"Kalian yakin ingin menggunakan nama itu untuk perusahaan kalian?"

Itu adalah dua pertanyaan pertama dari Svard usai Lissa mempresentasikan ide perusahaan mereka ke depannya. Lima orang itu silih lirik, hingga akhirnya Marcel yang menjelaskan. Seharusnya Annette, karena ia yang pertama kali mencetuskan nama itu di menit-menit terakhir kemarin mereka presentasi.

"Ya, Svard. Sejujurnya kami tidak menggali filosofi dari nama itu terlalu dalam, karena keterbatasan waktu. Tapi bagaimana menurutmu?"

"Kurasa nama ini berlebihan, terlalu panjang, dan terkesan memaksa. Apakah ada di antara kalian yang bernama Fellecia?" tanya Svard lagi, memperhatikan satu per satu anggota tim dari balik kaca mata hitamnya.

Oh, bukan tanpa alasan ia harus mengenakan kacamata hitam di ruangan tertutup. Tidak lain dan tidak bukan adalah karena matanya yang menghitam setelah peristiwa kemarin. Svard menangis sepanjang malam, membuat penampilannya sangat acak-acakan pagi ini.

Namun lebih dari sekedar penampilan fisik, Svard seharusnya tidak datang bekerja karena kesedihannya yang tidak bisa dianggap remeh.

"Menurutku nama itu bagus, Svard. Memang tidak ada filosofi khusus, tapi bukankah kita semua intuisi untuk menerjemahkan bahwa kata 'Fellecia' merujuk pada sesuatu yang indah?" Andrea balik bertanya.

"Ya, mungkin. Sebetulnya ini juga tidak terlalu bermasalah untukku, karena kalian tahu sendiri, Lucelence juga bukan kata yang sederhana. Aku hanya ingin memastikan bahwa kalian tidak asal-asalan memilih nama."

"Sekali kalian asal-asalan meski untuk hal-hal sesederhana nama, aku khawatir itu akan menjadi kebiasaan," lanjut Svard yang diangguki Mark dan yang lain, termasuk Andrea. "Lanjutkan jika kalian nyaman, tetapi aku masih meminta kalian membuat filosofi dari nama itu beserta slogannya nanti."

"Itu akan menjadi penting agar bisnis kalian selalu diingat."

"Baik, Svard."

"Ya, silakan kau lanjutkan, Mark," titah Svard kemudian. Singkat saja ia berbicara di awal, dan itu membuat tim yang ia dampingi itu heran, terlebih Andrea. Gadis itu menilai Svard tidak seperti biasanya hari ini.

"Siapa CEO kalian?"

"Aku, Mark," jawab Lissa.

Mark mengangguk, tersenyum simpul memuji. "Tidak aneh jika mereka memilihmu, kau berbakat dan pandai berbicara di depan umum."

"Terima kasih, Mark. Semoga dia bisa bekerja dengan baik," ujar Gillian mengolok, mengundang tawa di ruangan itu kecuali Svard.

Andrea yang sedari tadi memperhatikannya semakin bertanya-tanya. Apakah dia sakit sampai tidak berbicara? Kenapa juga ia mengenakan kacamata hitam dan menunduk? Tapi ya sudahlah, mungkin memang ada sesuatu.

Pertemuan pertama antara mentor dan mentee itu berjalan santai meski serius selama lebih dari dua jam. Mark memberikan masukan beserta tugas yang harus mereka lakukan seminggu ini sebagai bagian dari rangkaian seleksi ke tahap selanjutnya.

"Mark?" panggil Andrea sebelum Mark beranjak dari kursi dan keluar. Hanya tersisa mereka di ruangan itu, sementara yang lain sudah keluar lebih dulu, terlalu antusias untuk mencoba berbagai fitur di dalam LUBEL.

"Kenapa?"

"Ehm, itu... apakah Svard sakit? Dia diam saja sedari tadi."

"Oh, sepertinya memang begitu. Rupanya kau mengamatinya sedari tadi." Mark sedikit tersenyum jail, menggoda Andrea meski gadis itu tak sadar.

"Semua orang mengamatinya, Mark. Kenapa juga dia mengenakan kaca mata hitam alih-alih Glimms di dalam LUBEL ini?"

"Dia tidak bisa memakai Glimms hari ini, kondisi matanya buruk. Tapi aku tidak tahu juga kenapa dia tetap bisa masuk ke dalam LUBEL tanpa benda itu."

****

Royal Carte Residence

Gothenberg, Swedia

Svard berjalan cepat dari pantry, mengenakan kacamata hitamnya seperti tadi pagi ketika mendengar seseorang membunyikan bel apartemen. Ini sudah agak malam, dan tak ada seorang pun yang mengunjunginya kecuali Mark, satu-satunya orang yang mengetahui alamat pribadinya di Gothenberg.

DRLING!

"Ada apa..."

Svard terdiam seketika mendapati seseorang bukan Mark di depan pintunya. "A-andrea? Bagaimana kau bisa datang kesini?" tanyanya pada si tamu.

Andrea tampak kikuk, menggaruk lehernya yang tidak gatal. "Mark memberitahuku alamatmu, dan katanya kau sedang sakit mata, jadi dia menyarankanku untuk... menjengukmu sebentar, hehe..."

Astaga, Svard sungguh ingin memaki Mark saat ini juga, berani-beraninya ia mengolok-ngolok Svard yang telah berduka setelah ditinggal Klara?

"Sebenarnya... aku baik-baik saja. Tapi silakan masuk."

"Tidak usah, Svard. Aku hanya memastikan kau baik-baik saja."

"Maka pastikan aku lebih baik-baik saja di dalam. Masuk," titah Svard lagi, seperti biasa sedikit memaksa sampai Andrea menurut.

"Maaf jika rumahku berantakan."

Andrea tersenyum miring, memperhatikan seisi apartemen besar Svard yang menurutnya sama sekali tidak layak disebut berantakan. Jika memang berantakan sekali pun, Andrea yakin itu akan tetap terlihat rapi tertutup kemewahannya.

"Duduklah, kau mau minum apa?"

"Tidak perlu repot-repot. Sebetulnya aku membawa seduhan herbal yang biasa kuminum ketika sakit. Apakah kau... suka? Aku ragu kau akan menyukainya karena pahit dan sedikit tradisional."

Svard di balik kacamatanya tersenyum. "Jika kau ingin perhatian padaku, jangan ragu-ragu. Berikan apapun yang ingin kau berikan. Aku bukan pria yang sangat modern juga jika kau ingin tahu."

"Oh, begitu. Baiklah."

"Ya. Dapurnya disana jika kau ingin menuangkannya. Aku tunggu." Svard mengambil tempatnya duduk di sofa ruang tengah depan televisi, sementara Andrea tanpa banyak bicara melenggang ke pantry.

Svard sedikit terhibur, melihat tingkah Andrea yang malu-malu dan menghindari kontak mata dengannya seperti itu. Lupakan dulu parasnya yang mirip dengan Klara, karena saat ini yang Svard butuhkan adalah sosok teman dalam bentuk apapun.

"Lama sekali. Apa yang dia lakukan disana?" gumam Svard tak sabaran, lalu beranjak menyusul ke dapur. Tampak Andrea memang tidak sibuk disana, hanya menunggu airnya mendidih di atas kompor.

"Apa air itu sangat menarik?" tanya Svard, membuat Andrea terkesiap. Tak hanya karena kemunculannya yang tiba-tiba, tapi karena ia yang berdiri terlalu dekat dengan gadis itu sampai wajah mereka hampir bersentuhan ketika Andrea menoleh.

"Aku... menunggunya mendidih untuk... merebus herbal. Kenapa kau disini?"

"Karena ini dapurku tentu saja," jawab Svard, sedikit mengeluarkan smirknya tanpa mundur sedikit pun. Ia menunjuk bungkusan herbal-herbal itu dengan dagu. "Sudah bisa direbus."

"Oh, iya. Kau benar." Andrea buru-buru menaburkan daun dan batang kering tumbuhan itu ke dalam air yang mendidih.

"Aku heran, kenapa kau memberikanku herbal seperti ini jika kau tahu aku sedang sakit mata. Apakah ada orang yang mengobati penyakit mata dengan herbal?"

Andrea menghela, menatap Svard sejenak, hingga kemudian ia menarik sedikit kacamata hitam Svard. Sesuai dugaannya, kedua mata Svard tampak menghitam dan memerah. Andrea paham apa kemungkinan penyebab mata seseorang bisa seperti itu.

"Alasannya? Karena lebih dari sekedar obat tetes mata untuk menghilangkan perih matamu, kau memerlukan penenang untuk hatimu."

Svard terdiam, meneguk salivanya dalam-dalam, menatap lekat Andrea dengan matanya yang perih dan sendu itu.

"Berceritalah, Svard. Kau sudah terlalu dalam memendamnya. Aku akan menemanimu sembari kau menikmati ketenangan seduhan herbal yang kubuat."