Hultgren Student Apartment
Gothenberg, Swedia
Svard kembali melirik jam tangan untuk kesekian kalinya. Kedua kakinya sedikit gugup di bawah sana, sementara tangannya mengepal di atas meja kecil tempatnya duduk menunggu Andrea. Sesekali Svard mengedarkan pandangannya ke sekitar, mengamati seisi lobi apartemen mahasiswa yang menurutnya sangat sederhana dan tidak terlalu bagus itu.
Lantainya kusam dan berdebu, meja dan kursi kayunya tampak sudah usang, dan lampu-lampu yang tidak terlalu terang sampai membuat ruangan itu tampak remang-remang. Semua itu bukan ciri-ciri hunian yang layak, setidaknya jika dilihat dari lobinya saja.
"Permisi..."
Svard terperangah, terkejut dan gugup begitu Andrea akhirnya datang usai terlambat beberapa menit. "Oh ya, silakan duduk dulu," ujarnya kemudian.
Andrea tampak canggung, sepertinya ia tidak berniat berlama-lama, langsung saja mengeluarkan paper bag berisi kacamata yang kata Svard adalah milik Mark. "Ini kacamatanya, maaf aku terlambat," ujarnya tanpa basa-basi.
Namun, Svard di tempatnya tak langsung merespon. Pria itu malah mengamati gadis berkacamata tebal dengan rambut diikat satu di hadapannya itu, menatapnya lekat tanpa canggung sedikit pun sampai Andrea merasa tidak nyaman.
"Maaf? Apakah ada hal lain yang ingin kau katakan?"
Svard lantas menghela, "Boleh aku tahu, apa alasanmu terlambat?" tanyanya.
"Ehm itu... aku baru saja selesai bekerja paruh waktu di kedai kopi yang agak jauh dari sini. Sekali lagi aku minta maaf jika membuatmu menunggu terlalu lama."
"Apa kau juga tinggal disini?"
"Ya, aku tinggal disini."
"Kenapa kau tinggal disini? Apartemen ini tidak layak huni."
Andrea mengerutkan dahi, frontal sekali gaya bicara pria ini, "Bagaimana bisa kau mengatakannya tidak layak huni? Kau sangat tidak sopan, aku bahkan tidak mengenalmu dengan baik."
Svard terdiam, hanya bisa meneguk salivanya dalam-dalam, tak lagi menimpali. Ia malah memeriksa isi paper bag yang diberikan Andrea padanya, tak peduli dengan gadis itu yang masih menatap marah usai perkataannya yang disebut tidak sopan. "Terima kasih."
"Juga, Mark menitipkan ini untukmu," lanjut Svard, memberikan paper bag yang ia taruh di kursi sebelahnya sejak tadi.
"Apa ini?" Andrea bingung.
"Aku tidak tahu. Tapi kuharap kau akan mengenakannya, suka atau tidak suka."
Andrea lagi-lagi harus mengerutkan dahinya, Svard ini benar-benar aneh. Selain tidak sopan, nada bicaranya juga terdengar misterius. Pandangan matanya sayu dan dalam, mampu mengintimidasi siapapun yang melihatnya di pertemuan pertama atau kedua.
"Baik. Sampaikan pada Mark aku berterima kasih. Aku pamit dulu."
"Sebentar," cegah Svard sebelum Andrea bahkan sempat beranjak dari kursinya. "Ada apa?" Gadis itu terdengar kesal.
"Apakah kedua iris matamu..."
"Memang berbeda warnanya?"
"Iris?"
"Hm. Apakah memang berbeda?"
"Kau dapat mengetahui jika kedua mataku berbeda? Bagaimana bisa? Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya. Ataukah kau juga seorang... tertakromat sepertiku?"
Svard tersenyum simpul, "Aku bukan tetrakromat asli, tapi aku bisa membuat mataku menjadi tetrakromat sepertimu. Kembali ke pertanyaanku, apakah kedua iris matamu berbeda?"
Andrea mengangguk kemudian, "Ah, tentu saja kau bisa. Apakah memakai... Glimms?"
"Rupanya kau tahu tentang perusahaanku."
"Ya, aku tahu. Siapa juga orang Swedia yang tidak tahu Lucelence?
"Sepopuler itukah diriku?"
"Mungkin."
"Hm. Begitu."
"Ya, dan ngomong-ngomong mataku memang berbeda, meski tidak akan kentara." Andrea membuka kacamatanya kemudian. Gadis itu mendadak antusias karena akhirnya bertemu dengan seseorang yang dapat melihat kecantikan iris matanya meski lewat perangkat teknologi. "Kau dapat melihatnya lebih jelas sekarang," ujarnya, tanpa ragu sedikit pun mencondongkan wajahnya ke arah Svard, membuat pria itu ikut tertarik mendekat.
Keduanya kini secara tidak sadar menatap satu sama lain dari jarak sangat dekat. Awalnya Svard memang hanya tertarik pada mata Andrea, memfokuskan pikirannya kesana. Namun setelahnya ia turut memperhatikan keseluruhan wajah gadis itu.
Lalu sekujur tubuh Svard rasanya merinding.
Andrea, gadis itu sejak awal mirip sekali dengan Klara: bentuk wajahnya, dan kini kedua iris matanya yang berwarna berbeda. Tidak hanya parasnya, tetapi yang lebih penting adalah perasaan Svard padanya saat ini juga persis sebagaimana perasaannya setiap kali melihat Klara dulu.
"Andrea..."
"Ya?" Andrea kembali ke posisinya, mengenakan kacamatanya kembali, sementara Svard masih seperti tadi: merinding dan menderu nafasnya. "Kau... apa sungguh namamu adalah Andrea Stenstorm?" tanyanya kemudian. Sungguh pertanyaan yang lazim ditanyakan seseorang yang baru dua kali bertemu seperti mereka.
"Apa maksudmu? Pertanyaanmu aneh, Calle Svard."
"Jadi itu memang namamu?"
"Tentu saja. Memangnya siapa lagi namaku?"
Svard kembali meneguk salivanya dalam-dalam, menenangkan perasaannya yang berkecamuk, "Kau sungguh mirip dengan seseorang yang kukenal. Tapi lupakan saja, mungkin kau bukan dia."
"Orang yang mirip denganmu? Siapa..."
DRRT!
DRRT!
Getar ponsel Andrea memutus pembicaraan mereka. "Maaf, ibuku menghubungi," izinnya pada Svard meski tak berpindah tempat. Langsung saja ia berbicara, "Halo, Bu?"
"..."
"..."
"Astaga. Apa yang terjadi? Ibu dimana sekarang?" Andrea mendadak panik, membuat Svard yang awalnya tak mau menyadap percakapan ikut bereaksi di tempatnya.
"..."
Andrea menghela nafasnya berat, "Baiklah. Aku akan kesana sekarang."
"..."
"Tidak tidak. Jangan bersikap seolah kau kuat. Aku akan kesana sekarang juga!"
Andrea mematikan ponselnya, berdiri dan merapikan barang bawaannya. "Aku harus pergi, sekali lagi tolong sampaikan terima kasihku pada Mark."
"Ada apa?" Svard lagi-lagi menahan Andrea. "Sesuatu terjadi pada ibumu? Kemana kau akan pergi?"
"Ibuku sakit, dia jatuh dan dilarikan ke rumah sakit. Aku harus pergi ke Visby sekarang. Jadi, permisi."
"Biar ku antar." Svard ikut beranjak, merogoh kunci mobilnya di saku.
"Tidak perlu, aku bisa pergi sendiri."
"Menggunakan kereta atau pesawat terlalu lama. Aku bisa mengantarmu lebih cepat. Sudahlah, jangan menolak, aku hanya ingin membantumu."