Festival Tahunan
Gevlesta, Dinasti Yaimore
11 Januari 1678 M
Suara orang-orang berlalu lalang memenuhi ruang dengar Svard, menemani langkahnya di jalan setapak sebuah pasar menuju pusat kota yang sekaligus menjadi pusat festival. Pria itu melangkah sebagaimana manusia biasa di dalam metaverse, kedua kaki biologisnya benar-benar menapak di tanah berdebu, bukan dalam bentuk hologram atau avatar. Tidak ada satu pun pelanggan LUBEL yang dapat melakukannya.
DRLING!
[Sistem Penjelajahan LUBEL Metaverse]
(Arah tujuan: Gadleigh Castle; 210 meter; 10 menit)
Svard mengedipkan matanya sekali, mengedarkan pandangan ke arah sekitar setibanya di depan sebuah tugu setinggi dua meter dengan patung seorang pria dengan jubah perang di atasnya.
Sistem AI dari LUBEL memindai seluruh wajah manusia yang berada di sekitar Svard, kembali mencari Klara Ekberg di tengah kerumunan.
(Status pencarian: Tidak ditemukan)
"Penemuan terakhir?"
(Status penemuan terakhir: 17 April 1664 M)
Arus lalu lalang manusia di festival terhenti, membeku tak bergerak. Beberapa hologram berbentuk manusia berpakaian khas kota itu pada tahun 1664 muncul di sekitar Svard. Mereka bergerak, menunjukkan reka ulang akan apa yang terjadi di sana empat ratus tahun lalu.
Hologram-hologram itu tidak terdengar berbicara satu sama lain meski mulut dan tangan mereka bergerak. Svard membisukannya, karena jika tidak, sebentar lagi rekaman suara asli dari skenario hologram itu mungkin akan melukai batinnya. Hologram berbentuk dirinya yang membawa pedang di atas kuda muncul, terlibat dalam sebuah skenario pertikaian antara empat orang: tiga pria, satu wanita.
Lima orang termasuk dirinya disana berdebat hebat, hingga berakhir saling menyerang dengan pedang kecuali sang wanita yang tidak bersenjata. Dia, Klara Ekberg, hanyalah seorang wanita polos yang mudah ketakutan dalam skenario itu. Ia tidak mengerti apa yang terjadi, dan terdapat beberapa alasan yang membuatnya hanya mampu berlindung di balik punggung Svard yang tengah bertarung dengan tentara yang semakin banyak berdatangan dari pihak lawan.
"Hentikan."
DRRP!
Skenario hologram itu lekas berhenti, menghilang dalam hitungan detik. Lalu lalang manusia di sekitar tugu kembali berjalan seperti sebelumnya. Waktu dalam metaverse itu kembali berjalan maju setelah sempat dihentikan beberapa menit.
Svard menghela nafasnya berat. Skenario itu sebenarnya masih panjang ke belakang, tetapi Svard memilih berhenti tak sampai seperempat jalannya.
Svard lantas melanjutkan langkah, beranjak dari tugu menuju pelataran sebuah kastil megah di seberang sungai kecil disana. "Cari Klara Ekberg di seluruh Gadleigh Castle," titahnya, membuat sistem AI kembali bekerja memindai seluruh wajah manusia yang berpapasan atau berada di sekitar Svard berjalan.
DRLING!
Gambar seorang wanita muncul di hadapan Svard, membuat pria itu lekas berhenti. Oh, apakah gadis itu sungguh ada disana? Atau itu sekedar ilusi yang ia ciptakan sendiri sampai terwujud dalam sistem metaverse?
(Kemiripan 97% dengan Klara Ekberg)
(Lokasi: Aula Utama Gadleigh Castle, Panggung Teater)
Tak perlu banyak berpikir, Svard bergegas pindah menuju tempat yang masih ia hafal persis tata letak, suasana, dan nuansanya. Svard sudah ada di dalam sana, di dalam aula, beberapa langkah di pinggir panggung teater sederhana dengan lampu kaca yang menyala di kedua sisinya.
Cahaya lampu itu sengaja memusatkan perhatian siapapun ke tengah panggung, pada seorang gadis bergaun hitam-merah marun. Gadis itu tidak bergerak, pandangannya kosong jauh ke depan, ke bangku teater paling ujung.
Svard meneguk salivanya dalam-dalam, "Klara..." panggilnya bergetar, namun tidak ada reaksi dari gadis itu.
Klara, ia hanya mematung di tempatnya, benar-benar seperti patung tak bernyawa: tanpa pergerakan, tanpa kedipan mata, tanpa dadanya yang terlihat menghela nafas.
Svard menggelengkan kepalanya frustasi, "Apakah kau... lagi-lagi hanya ilusiku?" gumamnya bermonolog. "Mengapa kau muncul disini? Kau ingin memberitahuku sesuatu?"
BRUSSH!
Svard sontak melangkah mundur, menyilangkan kedua tangannya di depan wajah. Panas menjalar cepat tanpa perantara, kobaran api tiba-tiba muncul membakar panggung, berikut dengan sosok Klara yang tetap mematung dengan gaun setengah terbakar.
"Klara!"
DRLING!
[Peringatan: segera keluar dari sistem]
"Tidak, aku tidak tahu apa yang terjadi. Kenapa panggung ini terbakar?"
DRLING!
"Svard! Segera keluar! Kau tidak seharusnya berada disana!"
Suara Sera tiba-tiba terdengar, ia menghubungi Svard dari ruang dan waktu berbeda, kemungkinan besar dari Malmo.
Svard menggeleng, malah mendekat selangkah ke dekat panggung yang terus terbakar ke belakang. Pria itu mengerutkan dahinya heran, karena sosok Klara masih ada disana, tak habis dilalap api. "Sera, aku tidak mengerti. Kenapa dia ada disini dan tidak terbakar? Apakah dia hidup?"
"Kubilang keluar sekarang, Svard!"
"Jawab pertanyaanku! Kau adalah Seraph, dan tidak mungkin jika kau tidak tahu!" balas Svard tak kalah menyentak. Namun, sayangnya Sera tak peduli, "Aku akan mengeluarkanmu acak."
"Kau tidak bisa..."
DRLING!
DEP!
****
Love Calvary Church
Visby, Gotland
29 Maret 2058
03.14 PM CEST
Mark mencari kamera dari dalam tas selempang kecilnya begitu ia dan Svard berjalan keluar dari Gereja. Mark tampaknya sangat bersemangat untuk berburu foto dan barang kesenian di kota Visby, berbeda dengan Svard yang malah terlihat seperti orang bingung meski telah berdoa selama satu jam di dalam tadi.
"Apa Sera yang benar-benar mengirimmu ke Visby?" tanya Mark, mulai memotret barisan burung merpati di dekat jembatan sana.
Svard menghela, mengangguk kemudian, "Ya, dia seenaknya saja mengeluarkanku dari sistem penjelajahan menuju Visby. Dia bahkan tidak menjawab pertanyaanku kenapa Klara terbakar di panggung itu."
"Bukankah kau mengatakan Klara tidak terbakar?" Mark kembali memotret pemandangan orang-orang berjalan yang menarik perhatiannya.
CKRK!
"Ya, tapi aku tidak sampai selesai disana, mungkin saja dia terbakar nantinya."
Mark memeriksa hasil jepretan kameranya barusan, "Memangnya kau bisa menebak akhir dari skenario itu? Bukankah selama ini kau tidak pernah ingin melihat keseluruhan skenario atas setiap petunjuk-petunjuk aneh seperti?" tanyanya.
"Ya." Svard merebut pelan kamera Mark dari tangannya, berjalan beberapa langkah menuju jembatan, tertarik juga untuk mengabadikan beberapa gambar. Mark hanya mengikutinya, karena memang tugas pria itu hari ini adalah 'menghibur' Svard. "Apa isi doamu pada Tuhan hari ini?"
"Aku ingin bertemu dengannya."
Mark tersenyum simpul, "Apa kau langsung merindukannya?"
"Tentu saja. Kapan aku tidak merindukannya?" Svard mengambil foto pertamanya usai mengatur fokus, pencahayaan, dan resolusi kamera.
"Apa yang akan kau lakukan jika bertemu dengannya?"
Svard menghela, fokusnya sedikit terganggu karena Mark yang terus bertanya. "Sekedar menyentuh tangannya saja tidak masalah. Lagipula dia tidak akan mengenaliku meski aku selalu mengenalnya."
"Ah, semoga Tuhan mengabulkannya kali ini," harap Mark. Namun, Svard tidak menanggapi, tidak juga sibuk dengan kamera seperti tadi. "Ada apa?" tanya Mark.
Svard memicingkan matanya, melihat lebih jelas kelompok pemusik dan pelukis jalanan di dekat sebuah kedai kopi di perempatan jalan. "Baru kali ini aku baru melihat pertunjukan kolaborasi seperti itu," tunjuknya pada keramaian di bundaran.
Mark turut memperhatikan arah tunjuk Svard tadi, "Oh, aku pernah melihatnya. Mereka berkolaborasi untuk pertunjukan seni musik dan lukis secara bersamaan. Kau mau melihatnya?" tanyanya tanpa memberi kesempatan Svard untuk menjawab, langsung saja mengambil kamera dari tangan Svard dan mendekat ke bundaran.
Svard hanya mengikuti, menyelinap ke celah dimana mereka dapat menyaksikan pertunjukan musik dan lukis itu dari jarak dekat. Keduanya mengamankan posisi penonton yang tepat dan nyaman, khususnya untuk Mark yang akan mengambil gambar.
"Hey? Kau Andrea? Rupanya kau melukis disini juga?"
Atensi Svard beralih, dari semula ke vokalis band berambut blonde menuju seorang gadis berkacamata tebal dengan bingkai hitam yang duduk menyamping di kursi bar tinggi. Gadis itu pelukisnya, ia memegang palet, cat, dan kuas di tangannya.
"Oh? Mark Odhern? Bagaimana kau bisa datang kesini?"
Mark dan Andrea, keduanya saling menyapa akrab, sementara Svard mematung di tempatnya. Apakah dia tidak salah lihat?
"Dia... siapa?"
"Hah?" Mark menoleh, "Oh, aku hampir lupa. Andrea, ini Svard, orang yang membeli lukisan-lukisanmu kemarin itu. Akhirnya kalian bertemu juga."
"Oh? Benarkah?" Andrea lekas turun dari kursinya, penuh hormat mengulurkan tangannya pada Svard, "Senang bertemu denganmu, aku Andrea Stenstorm."
Svard tak kunjung mengulurkan tangannya, malah menatap kedua mata gadis itu abstrak. Detak jantungnya tak teratur, nafasnya memburu meski tak kentara, dan tangannya sedikit bergetar, "Ehm... kau..."
Andrea mengerutkan dahinya bingung. Pria di hadapannya seolah ingin mengatakan sesuatu. Mark di sisi lain juga heran, tak biasanya Svard bersikap seperti seorang antisosial.
"Ah, tidak." Svard menggelengkan kepalanya, menghela sejenak sebelum menyambut jabatan tangan Andrea lugas. Tak lupa sedikit senyum bisnis hangat turut ditunjukkannya, "Senang bertemu denganmu. Aku Calle Svard."