Sorovein Residence
Malmo, Swedia
21 Maret 2058
09.20 PM CEST
Hujan deras turun disertai angin kencang malam ini. Kilat dan suara petir datang bersaut-sautan, menjadi pertanda bahwa mungkin badai besar akan datang sebentar lagi. Belakangan cuaca tidak dapat diprediksi, dan Svard menyesal karena memutuskan untuk pergi ke Malmo hari ini.
Svard berlutut di pinggir tempat tidurnya. Ia terjatuh, bersamaan dengan suara petir yang lagi-lagi menggelegar hebat sampai mampu menggetarkan jendela dan pintu ruangannya. Pria itu memegangi dada kirinya, tubuhnya membungkuk, melipat, bahkan dahinya nyaris saja menyentuh lantai.
CRACK!
DAR!
ARGH!
Svard berteriak kesakitan.
ARRRGH!
Pria itu semakin berteriak, suaranya menggema di seluruh ruangan, bahkan terdengar sampai keluar kamarnya.
Karma dan kutukan itu kembali dirasakannya sejak sekian lama. Rasanya sangat menyiksa, dan disaat seperti ini Svard tidak menginginkan hal lain yang lebih baik selain kematian.
"Arrrghh!!"
"Bunuh saja aku, sialan!!"
Runtuh sudah, Svard tersungkur di lantai. Jantungnya serasa diremak, darahnya panas mendidih, tulang-tulangnya dipalu diremukkan, dan jutaan sel-sel saraf dari ujung kepala sampai ujung kakinya seolah telah berubah menjadi jarum yang menusuk-nusuk dan menyengatnya. Bukankah seperti itu sensasi dari sebuah kematian?
Sementara di luar, tepat di depan pintu kamarnya, Sera dan Yona berjalan mundar-mandir. Seraph dan Sylph itu khawatir usai mendengar teriakan Svard beberapa kali. Teriakan pria itu menggema sampai seluruh kastil alias mansion yang mereka huni. Suara itu sangat menyayat hati sekaligus mencekam, bahkan lebih mencekam dibanding suara petir dan guntur yang masih menggelegar tanpa henti di langit sana.
"Kenapa dia harus datang ke mansion ini? Apakah itu disengaja?" tanya Yona.
Sera menggeleng, "Aku tidak tahu. Tapi baik disengaja atau tidak disengaja, disini atau di tempat lain, Svard akan merasakannya. Munculnya rasa sakit itu termasuk ke dalam takdirnya, dan ia tidak bisa lolos begitu saja."
"Ya, aku paham. Bukankah itu suatu pertanda?"
"Hm. Baik atau buruk, kita tidak tahu yang mana."
Yona menghela, menatap pintu kamar Svard yang ukiran kayunya kini bercahaya merah terang seperti lidah api yang menjilat-jilat ke atas. "Baik dan buruk yang kau maksud tetap saja berakhir buruk."
"Belum tentu. Svard sudah lama menginginkan kematiannya. Jangan kau lupakan itu."
"Tapi bagaimana caranya? Gadis itu bahkan tidak kunjung muncul."
Sera menggeleng, tampak yakin meski masih berpikir, "Apa yang kumaksud dengan pertanda baik salah satunya adalah tentang kemunculan gadis itu. Svard sendiri yang mengatakan ia akan kesakitan jika ia bertemu dengan gadis itu. Sekarang kau ingat-ingat, berapa puluh tahun Svard tidak mengalami sakit seperti sekarang?"
Yona mengerutkan dahinya, turut berpikir, "Kau benar juga. Apa gadis itu sudah ada di dekatnya saat ini?"
"Mungkin saja, dan sebaiknya kita membantu Svard mencarinya."
"Itu akan sangat melelahkan."
"Gunakan kemampuanmu, Yona, jangan hanya mengeluh. Bagaimanapun juga, kita harus segera mengakhiri tugas membosankan ini."
****
Svard duduk di atas tempat tidurnya, melipat dan memeluk kedua kakinya yang masih sedikit bergetar sisa kejadian yang menyiksanya tadi. Kesakitan itu berhenti bersamaan dengan hujan deras dan guntur yang juga berhenti. Siksaan tadi itu semakin memperpanjang trauma yang tidak kunjung menghilang sejak empat ratus tahun lalu, saat Dia datang membawa karma dan kutukan itu pada Svard.
Lebih dari sekedar gangguan kecemasan, Svard bahkan beberapa kali mencoba mengakhiri hidupnya meski itu mustahil. Darah mungkin terkucur ketika pisau menyayat nadi di leher dan pergelangan tangannya, namun hanya butuh beberapa menit sampai luka itu mengering dan menghilang. Memang terdengar menyakitkan, tapi Svard sama sekali tidak merasakan perihnya sayatan mata-mata pisau itu.
Satu-satunya sakit yang mampu Svard rasakan adalah seperti yang baru saja terjadi.
Manusia biasa mungkin akan mengiranya kebal, tetapi ketika itu muncul, sialnya Svard merasa menjadi seorang pengecut yang sesungguhnya.
Baru saja hendak memejamkan mata, Svard mendengar pintu kamarnya dibuka dari luar, diikuti langkah cepat seseorang setelahnya. Svard menghela, lama-lama suara langkah itu tidak terdengar hanya dari satu orang saja.
"Svard?"
Mark, ia masuk tanpa izin bersama Sera dan Yona. Tampak ekspresi khawatir dari pria itu, "Kenapa kau kembali disiksa seperti itu? Apakah kau membuat kesalahan?"
"Kesalahan seperti apa yang kau maksud?" Svard bingung.
"Ya… mungkin saja kau terlalu sering mengutuk si Dia itu belakangan ini? Apakah dia marah padamu?" Mark menebak-nebak saja, membuat Svard, Sera, dan Yona ikut berpikir.
Svard lantas tersenyum miring, "Mungkin saja, dia marah padaku. Mungkin aku akan terus melakukannya sampai dia bosan dan mematikanku dengan benar."
"Jangan berkata seperti itu, Svard. Jika kau ingin mati, matilah dengan cara yang benar. Kau mungkin masih perlu mendekam di neraka jika mati dalam keadaan membangkang." Yona memperingati, namun itu sama sekali tak pernah diterima oleh Svard, "Tidakkah kau berpikir bahwa mansion ini saja sudah menjadi neraka untukku? Rasanya aku sudah sangat terbiasa, Yona."
"Lebih baik kau cari gadis itu. Dia mungkin ada di dekatmu saat ini sampai kau merasakan sakit luar biasa itu lagi."
Svard menghela nafasnya berat, menatap lurus ke depan, tepatnya ke lukisan gadis wajah tersenyum gadis itu yang turut ia pajang di sebelah tempat tidurnya dekat jam dinding. "Aku juga berpikir begitu. Karena selain tubuhku yang sakit, aku juga merasa... sedih."
"Perasaan sedih aneh dan abstrak, yang tidak bisa kujelaskan sama sekali," lanjut Svard, semakin kosong menatap ujung tempat tidurnya. "Perasaan itu masih sama, persis seperti dulu."
Hening kemudian, baik Mark, Yona, dan Sera tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Ketiganya bingung, karena tidak banyak aturan atau pertanda khusus atas karma yang melekat pada Svard. Mereka hanya bisa menebak-nebak dan mencoba-coba setiap kemungkinan yang sekiranya meringankan beban pria itu.
"Untuk apa kau datang kesini?" tanya Svard kemudian, pada Mark, yang seingatnya tidak diperintahkan untuk datang menyusul.
"Ah, aku menemani pelukis yang mengirimkan lukisan-lukisan pesananmu hari ini. Dia menghubungiku, mengatakan jika ia tersesat di Malmo, jadi aku datang membantunya," terang Mark
Yona tersenyum miring, "Kau sungguh manis, Mark. Khususnya pada wanita cantik seperti pelukis itu," cibirnya.
"Memangnya kenapa? Kau cemburu?" goda Mark, membuat Yona hanya memutar bola matanya malas. Svard dan Sera sudah tidak heran, Mark memang menyukai Yona sejak lama meski tidak pernah terang-terangan mengaku, namun Yona hanya menganggapnya sekedar bercanda.
Kasihan sekali.
"Berhentilah menggoda wanita di hadapanku," tegur Svard kemudian. "Dimana lukisan-lukisan itu?"
"Oh, aku menaruhnya di galeri lantai dua."