Tujuh tahun lalu
Sebuah desa yang asri di kaki gunung. Seorang gadis cantik dengan wajah riang dan sumringah berlari kecil. Melewati beberapa petak petak perkebunan teh dan pematang sawah. Langkahnya semakin cepat tak kala sebuah rumah reyot dari papan kayu terlihat. Rumah itu sungguh tak layak untuk di tinggali lagi, bisa roboh kapan saja kalau ada hujan besar atau angin kencang. Namun pribahasa bilang, rumahku istanaku.
Bagi gadis berusia tujuh belas tahun, rumah peninggalan sang ayah sebelum mangkat setahun silam itu adalah istananya.
"Bunda!! Bunda!!" seru Neyya hendak pamer nilai raportnya yang dapat seratus di hampir semua mata pelajaran, ranking satu.
"Ada apa, Ney?? Duh, anak gadis kenapa teriak-teriak begitu?" sahut sang Bunda, di sampingnya ada seorang wanita berpakaian rapi, bersih, dan wangi. Penampilannya sungguh berbeda dari sang Bunda yang kusam dan tak terrawat.
Neyya yang masih memakai seragam biru abu-abunya terlihat menyelidik ke arah tamu yang sedang duduk bersila di samping sang bunda.
"Siapa, Bun?" tanya Neyya.
"Ini Budhe Sumi, Ney. Teman Bunda pas jaman kerja di Jakarta dulu," jawaban Bundanya belum membuat Neyya puas, namun gadis itu memilih diam untuk menunggu kelanjutan tujuan sang tamu bertandang.
"Anakmu ayu tenan yo, Las," pujian Sumini membuat Neyya tersipu malu.
"Ah, mbak Sum bisa aja." Lastri, nama ibu Neyya tersenyum ke arah teman lamanya. Bangga saat anaknya dipuji, namun malu-malu enggan mengakui.
Neyya duduk di cakruk dari bambu bersama dengan kedua wanita paruh baya itu. Mendengarkan dengan seksama pembicaraan mereka. Apa yang membuat Lastri begitu bersemangat siang ini?
"Pikirin dulu, Las. Lumayan hlo, gaji pokok, uang makan, kenaikkan gaji tiap enam bulan." Penuturan Sumini membuat Neyya sedikit paham, ia sedang menawarkan pekerjaan pada Lastri.
"Tapi Neyya gimana, Mbak? Saya nggak tega ninggalin Neyya sendiri." Lastri menoleh ke arah anaknya yang sudah perawan. Tak mungkin Neyya tinggal di gubuk reyot ini sendirian tanpa pengawasan orang dewasa. Apa lagi Neyya tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik sampai di juluki kembang desa.
"Tenang saja, Sum. Sudah mbak pikirin. Mbak sudah bicara sama calon majikannya, si Neyya juga bisa tinggal bareng kamu. Sekolah SMA di sana ada banyak, tinggal milih. Swasta ada, negeri juga banyak." Sumini bertutur dengan sangat meyakinkan, memang setelah pensiun menjadi ART ia kini membuka jasa penyalur tenaga kerja ART dan juga pengasuh bayi. Kebetulan, ada sebuah keluarga kaya yang sedang membutuhkan ART meminta bantuannya. Sumini teringat dengan Lastri.
"Tapi ..."
"Jangan mikir panjang to, Las. Jarang ada kesempatan kayak begini. Majikannya baik hati dan gajinya lumayan. Hla ... Dari pada kamu di kejar-kejar hutang, mending ikut aku kerja di kota." Sumini mencoba meyakinkan Lastri, sebagai sahabat ia cukup prihatin dengan nasib Lastri.
Beberapa tahun belakangan Lastri terpaksa berhenti kerja sebagai ART karena suaminya sakit keras. Kangker paru-paru menggerogoti raganya. Mereka terpaksa menjual apa saja yang mereka punya untuk biaya berobat. Bahkan tanah yang saat ini mereka tempati pun ikut di gadaikan ke bank. Lastri hanya hidup dengan mengandalkan hasil ladang yang tidak seberapa. Semua uangnya habis, ludes, namun suaminya tetap meninggal.
Lastri mengeryit dalam, sedang berpikir keras. Satu tahun lagi Neyya lulus sekolah. Kasihan bila gadis itu mesti beradaptasi dengan kehidupan kota.
"Cita-citamu opo, Nduk??" tanya Sumini.
"Guru Paud, Budhe." Neyya mengungkapkan keinginannya untuk menjadi pengajar bagi anak-anak kecil, menjadi anak tunggal selalu membuat Neyya menginginkan seorang adik. Karena sering mengajak anak-anak di sekitar rumah bermain, lama-lama Neyya menyukai anak kecil.
"Tuh, dengerin, Las! Masa kamu nggak mau anakmu sekolah tinggi dan kejar cita-cita. Mau jadi apa kalau kalian tetep di desa ini??" Sumini masih mencoba membujuk Lastri.
Lastri menatap sang putri dengan pandangan sendu. Memang apa yang diucapkan Sumini tidaklah salah. Neyya terlalu muda untuk menanggung semua beban Lastri. Sebagai orang tua Lastri tak mau mengubur cita-cita Neyya.
Lastri menghela napas panjang dan menoleh pada putrinya. "Kalau Neyya mau diajak, Lastri mau kerja di sana, Mbak Sum."
"Nah, gitu donk!" Sumini langsung tersenyum lebar.
"Gimana, Nak? Mau ikut Bunda ke kota? Ikut bekerja? Nanti sekolah di sana." Lastri bertanya pada Putrinya. Semua ia lakukan juga semerta demi putri semata wayangnya ini. Jadi semua keputusan tergantung pada Neyya.
"Neyya nggak keberatan kok, Bun," jawab Neyya. Gadis itu sebenarnya takut, ia takut meninggalkan teman-teman dan juga kehidupannya yang super nyaman di desa. Namun melihat setiap hari ibunya banting tulang menolah lahan yang hasilnya tak seberapa membuat Neyya menjadi berani. Hasil ladang yang bahkan tak cukup untuk membayar hutang. Tak cukup untuk mengisi perut dengan kenyang.
Melihat kulit Bundanya menghitam, rambutnya memutih, keruttannya jelas, dan tubuhnya kurus membuat Neyya mengesampingkan rasa egonya dan memutuskan untuk ikut Lastri ke kota.
"Serius, Nek? Hidup di kota berat dan juga sangat keras. Kamu yakin, Nak?"
"Yakin, Bunda. Neyya akan cepat belajar dan beradaptasi."
"Bagus!! Kalau begitu Budhe jemput tiga hari lagi, ya! Neyya bisa urus pindah sekolahnya dulu." Sumini tersenyum girang, wanita tambun itu terlihat puas dengan jawaban Neyya.
Lastri tersenyum, memeluk tubuh anak gadisnya seakan mengajaknya berdoa kalau pilihan mereka untuk pergi merantau ke kota adalah pilihan yang tepat.
*** ❤️❤️❤️ ***
Satu minggu kemudian.
"Selamat siang, Nyonya Ananda, ini Lastri. ART yang baru."
"Ya sudah, suru dia lekas bekerja! Kasih tahu apa saja tugas dan tanggung jawabnya!" Nyonya Ananda bahkan tak melihat ke arah Lastri dan lebih sibuk membuka buka majalan fashion.
"Baik, Nyonya."
Lastri membungkuk pelan dan pergi mengikuti pembantu lain yang jauh lebih senior.
Sementara itu, Neyya sedang duduk di paviliun belakang tempat para pembantu beristirahat. Neyya sedang mengaggumi, betapa besar rumah majikan sang bunda. Sangat jauh berbeda dengan gubuk reotnya di desa.
"Rumahnya sungguh mirip istana." Neyya terkagum-kagum, masih dengan mendekap erat tas ranselnya yang sudah usang gadis itu menyapu pandang dengan matanya yang bulat indah berbinar.
Tatapannya berhenti di balkon lantai dua. Seorang pemuda yang mungkin seumurannya berdiri di balkon. Ia pun menatap Neyya dengan tatapan menyelidik. Tanpa sengaja, pandangan mereka berjumpa dalam satu garis yang sama. Saat itu lah Neyya pertama kali berjumpa dengan Erlangga.
"Apa lihat-lihat???" Erlangga menegur Neyya dan langsung meninggalkan balkon masuk ke dalam kamar.
Neyya menundukkan kepala sembari dalam hati berseru, dih, galaknya!
****❤️❤️❤️****
Vote, comment, Fav, Follow