"Kamu tunggu di sini dulu ya, Nak. Bunda sama Budhe ke dalam dulu." Lastri pamit pada putrinya. Gadis polos dengan rambut terkepang dua itu mengangguk. Ia mendekap tas ransel dan duduk di depan teras pada paviliun belakang. Tempat para ART lainnya berisirahat.
Rumah kediaman keluarga Brawijaya sangat luar biasa mewah. Besarnya mungkin puluhan kali dari tanah milik bapak Neyya di desa. Keluarga itu punya tiga sopir, tiga orang assisten rumah tangga, dua tukang kebun, dan seorang juru masak. Tiap ART punya tugasnya sendiri-sendiri. Ada yang mencuci, setrika, ada yang tugas mengelap semua perabotan kramik, dan ada yang membersihkan kamar. Kebetulan Lastri bertugas menyapu, mengepel, dan juga membersihkan kamar putra dan putri di keluarga Brawijaya.
"Oh, besarnya, mirip istana," kagum dara bermata bulat ini.
Tatapannya berhenti di balkon lantai dua. Seorang pemuda yang mungkin seumurannya berdiri di balkon, masih dengan seragam sekolah namun semua kancingnya sudah terlepas memperlihatkan otot abs nya yang kencang dan terbentuk. Ia pun menatap Neyya dengan tatapan menyelidik, siapa gadis itu? Pembantu baru? Tanpa sengaja, pandangan mereka berjumpa dalam satu garis yang sama.
"Apa lihat-lihat???" Pemuda itu menegur Neyya dan langsung meninggalkan balkon masuk ke dalam kamar.
Neyya menundukkan kepala sembari dalam hati berseru, dih, galaknya!
"Tuan muda Erlangga sifatnya memang gitu, Nak! Nggak usah dimasukin ke dalam hati, ya." Seorang mendekat, menegur sapa Neyya.
Jadi namanya Erlangga, batin Neyya.
"Ini minum, kamu pasti hauskan perjalanan dari desa." Seorang wanita paruh baya menyodorkan teh hangat manis dan kudapan pada Neyya.
"Ma ... makasih, Bu." Neyya terbata, belum mengenal siapa pun di rumah itu. Jadi masih canggung.
"Nggak usah sungkan. Nama saya, Oneng. Juru masak di sini. Itu yang baru ngelap mobil namanya Pakdhe Totok, sopirnya Nyonya, yang ngelapin motornya Den Erlan namanya Sandy, satu lagi sopirnya Tuan Besar namanya Bayu, dia nggak tidur di sini, pengantin baru jadi dia pilih ngelaju pulang pergi." Oneng, wanita berusia kepala empat yang hampir seumuran dengan Lastri itu menjelaskan pada Neyya, siapa saja pekerja rumah tangga di keluarga Brawijaya.
"Yang pergi sama bundamu tadi namanya Prapti, paling sepuh dan sudah bekerja paling lama di rumah ini. Katanya sih sejak Den Erlangga masih cilik mitik. Dia yang ngurusin semua kerjaan kami, juga yang negur kalau nggak beres, macam supervisor gitu!" Oneng melanjutkan cerita, sementara Neyya manggut-manggut sembari menyeruput tehnya.
"Banyak yang kerja di sini, rumahnya aja gedongan! Besok tukang kebun datang dua orang, sama Santi, ART yang satu lagi, istrinya Bayu. Banyaklah pokoknya, kamu kenalan sendiri saja nanti juga lama-lama apal."
"Iya. Banyak banget ya, Bulik, yang kerja di sini."
"Iya, kalau cuma satu bisa pingsan orang rumahnya mirip istana." Oneng tertawa. Neyya ikutan tertawa. Cara Oneng menjelaskan begitu kocak bagi Neyya.
"Benar juga, rumahnya kayak istana. Nggak seperti rumah saya di desa." Neyya pun mengaggumi rumah bak istana itu sekali lagi.
"Namamu siapa, Nduk? Malah belum kenalan? Umurmu? Cah kok ayune koyo ngene! (Anak kok cantiknya kayak gini?)" Oneng mengelus punggung tangan Neyya.
"Nama saya Neyya, Bulik. Masih SMA, hampir naik ke kelas tiga, tahun ini delapan belas." Neyya menyisir rambutnya ke belakang telinga. Merona malu dengan pujian Oneng. Meski sudah terbiasa mendengar pujian cantik dari warga satu kampungnya di desa, tetap saja Neyya tersipu malu dan berbunga saat mendengarnya dari orang yang baru ia kenal.
"Kelas dua?? Sama donk sama Den Erlan."
Erlangga juga kelas dua SMA, tapi karena masa ujian semester sudah berakhir, maka tinggal menunggu hasil kenaikan kelas dan ia akan menjadi anak kelas tiga.
"Eh, serius?"
"Iya, ngapain bohong. Jadi kamu pindah sekolah ke kota??"
"Iya, Bulik. Pindah ke kota," jawab Neyya.
"Anak jaman sekarang memang harus sekolah tinggi, biar nggak cuma kerja jadi ART begini. Pas jaman Bulik dulu, seusiamu gini sudah di suruh nikah! Kalau nggak nikah disebut perawan tua, jadi aib keluarga."
"Haha, iya, Bulik."
"Padahal jaman sekarang, umur tiga puluh tahun belum nikah saja sudah jadi hal biasa di kota."
"Iya, Bunda juga sering cerita begitu." Neyya mengangguk. Sudah banyak pemuda desa yang datang untuk melamar Neyya dengan iming-imingan sawah dan ternak, namun Neyya belum mau. Masih mau sekolah.
"Oh ... Bi the we, omego bus way! Daftar ke sekolah mana?" tanya Oneng dengan bahasa engress senin kamis miliknya. Maksud dia By the way alias ngomong-ngomong.
"Kemarin Neyya sudah daftar program beasiswa di SMA swasta St.Michael. Sekolah negeri di sini pakai sistem zona, Bulik, jadi Neyya tak bisa daftar ke sekolah negeri," keluh Neyya. Padahal kan enak di sekolah negeri, nggak usah bayar uang sekolah, apa lagi Neyya siswa berprestasi.
"Hah?? ST. Michael?? Sama donk sama den Erlan!" seru Oneng lagi.
"Ehh?? Sama lagi??" Neyya menutup mulutnya tak percaya dengan kebetulan yang baru saja dia dengar.
.
.
.
Di lantai dua, Erlangga diam-diam mengamati keberadaan Neyya dari celah gorden. Siapa gadis cantik dengan mata bulat itu?? Pembantu baru?? Tidak, Mamanya tak akan mengijinkan pembantu baru semuda itu tinggal di rumahnya.
Erlangga Brawijaya, seorang cowok berrambut hitam, berpotongan undercut dengan dua buah hair line di kedua sisinya. Hidung mancung, alis mata tebal dan rapi, lipatan mata tegas, punya sorot mata tajam, setajam sudut matanya, bibirnya sedikit tebal, dilengkapi dengan garis rahang tegas, dan dagu yang sedikit lancip. Tinggi 180an, dan tubuh atletis yang proposional.
Semua orang bilang kalau Erlangga itu sungguh titisan dewa! Gantengnya nggak ketulung, karena emang bibit unggul dari mamanya yang cantik dan papanya yang ganteng. Tapi kalau menyangkut masalah sikapnya, dih ... amit-amit ... nggak cuma galak, tapi juga sombong dan kaku! Jangan harap bisa dekat-dekat dia kalau Erlangga nggak suka. Dan siap-siap hidup di neraka kalau Erlangga sudah benci.
Erlangga tipe cowok dingin, kaku, dan sombong, tapi herannya cewek satu sekolahan cinta mati sama dia! Ya, mungkin karena selain ganteng dan pintar, Erlangga juga tajir melintir. Dia anak ke dua dari pasangan Hanung Brawijaya dan Amanda Brawijaya yang punya tambang batu bara di pulau seberang. Aset mereka banyak, bisnis dibidang lain pun juga berjalan lancar. Jadi Erlangga bergelimang harta dan tak pernah hidup berkekurangan.
Dan kini, si Tuan Muda ini lagi terusik, dengan kedatangan seorang gadis cantik di rumahnya. Entah kenapa Erlangga penasaran. Entah kenapa saat tatapan mata mereka bertemu tadi Erlangga merasa ada aliran listrik yang menyetrum tubuhnya. Cantik paras dan putih kulitnya membuat Erlangga susah barang menelan ludah sekali pun.
Erlangga yang cuma cinta pada dirinya sendiri itu merasa aneh. Kenapa ada gadis yang bisa membuatnya membeku dan tak bisa berpaling sedikit pun darinya?? Berpaling dari wajah ayunya, juga senyumannya yang mampu membuat Erlangga ikut tersenyum.
Apa aku sudah gila?? batin Erlangga kalud. Kenapa jantungnya begitu berdebar padahal, kenal aja enggak!
Siapa gadis itu?? Sihir apa yang dia pakai untuk memikat seorang Erlangga??
****❤️❤️❤️****
Vote, comment, follow, collect, gift, like, apa pun itu bentuk dukungannya saya berterima kasih ❤️❤️
Follo IG @dee.meliana