Setelah kepura-puraan tadi malam, Mahis lalu sibuk pagi sampai siang hari, pekerjaan yang menumpuk membuat dia lelah akhirnya memutuskan untuk shalat dhuhur di luar.
Drettt
Drettt
Suara ponsel milik Mahis ada telepon yang masuk.
"Rafka ...." Aya membaca kemudian menggeser gambar telepon hijau.
"Assalamualaikum," jawab Aya.
"Wa'alaikumsalam Kakak ipar, Mas Mahis ada? Ada hal penting," ujar Rafka.
"Jangan dimatiin aku cari dulu ya, tadi solat di Musola sih," jelas Aya berjalan cepat, langkahnya sangat cepat dan matanya terus mencari sosok suaminya.
"Alhamdulillah mau solat jama'ah," ucap sukur dari Rafka tidak menyangka Kakak menjadi soleh. Aya mencari di dekat penginapan, tidak ada sosok suaminya dia berjalan, langkah kakinya terhenti saat melihat Mahis menyuapi Kay.
"Ka ... penting banget ya?" tanya Aya dengan suara pecah, Aya menelan ludah.
"Penting Mbak soal poperti. Apa ada masalah? Aku yakin saat ini Mbak tidak baikkan?" tanya Rafka penuh curiga.
"Tidak, ini sudah ada Mas Mahis," ucapnya menyembunyikan kesedihannya. Aya melangkah ke suaminya yang sedang menggenggam tangan mantan kekasih.
"Ehm, Mas, Rafka telpon," kata Aya meletakkan ponselnya, Mahis mengambil ponsel lalu pergi dengan cepat. Aya juga pergi dengan perasaan kacau. Wajah Mahis biasa saja walau dipergoki Aya tiada ekpresi terkejut ataupun menyesal. Kay merasa bersalah diapun pergi dari situ saat Mahis ngobrol dengan Rafka dan pandannya tertuju kepada Kay yang hendak pergi.
"Ada apa Ka?" tanya Mahis.
"Ada masalah besar Mas, salah satu poperti di atas namakan orang lain dan uang perusahaan ada yang pakai, ini semua ulah Ferdian, aku juga tidak mengawasi karena aku ke Semarang, setelah selesai rapat dapat kabar itu, aku sudah mencari dan menyuruh tim mencari namun kemungkinan dia keluar Negri Mas, dan total kerugian ada separuhnya, jika terlambat semua akan disita. Besok pagi ada klien penting, dia akan membangun salah satu hotel, dan Mas Fanan yang akan menjadi arsiteknya, hotel itu mencari manager dan chef handal, kalau kita bisa cari chef kita tidakakan bangkrut Mas," penjelasan Rafka panjang lebar.
"Oke ... kita pikirkan nanti, aku akan mengemas pakaian dan pulang ke Jakarta," jelasnya lalu menutup telpon, perutnya merasa keroncongan.
"Aku sudah makan, walau sedikit tapi rasanya tadi sangat tidak enak. Ah aku harus segera pulang, Kayla ... aku harap kita akan segera bertemu," gumamnya lalu berjalan ke kamar.
Mahis sampai di kamar dia mengemas semua pakaian. Namun dia tetap tidak melihat Aya, tidak lama Aya datang.
"Kita harus pulang," ujar Mahis sambil mengemas.
"Tadi solat dulu atau langsung pacaran?" tanya Aya menatap sinis.
"Ya solat. Ayo ke pulang," ajak Mahis tidak berani memandang istrinya.
Mahis berdiri mengambil koper mereka berjalan cepat seperti orang asing. Aya mempercepat langkahnya meraih lengan tangan Mahis menggandengnya.
"Aku tidak akan pulang ikut kamu, kalau kamu tidak minta maaf, tidak menggandeng tanganku. Apa aku ini hanya barang yang kamu manfaatkan agar keadaan Oma baik-baik saja?"
'Aya jangan mau ditindas kamu harus merdeka dan jaya. Dia memang suami dan seorang Imam. Namun Imam yang harus diperbaiki,' batin Aya duduk.
"Apasih maunya dia," gumam Mahis tidak peduli dan segera naik ke mobil sambil memanasi mesin dan mengklason. Sikap Mahis membuat Aya tidak bergeming, Aya malah asik duduk dan menikmati lagu. Mahis menginjak pedal gas dan pergi dengan kecepatan tinggi.
'Waduh ... bagaimana kalau dia tidak kembali. Ah ... pasti dia kembali, tidak mungkin dia tidak kembali. Hitung saja dalam beberapa menit pasti dia kembali minta maaf dan mau menggandeng tanganku,' batin Aya masih berusaha biasa walau ada kecemasan kalau Mahis tidak akan menyusulnya. Kakinya terus bergerak dia sangat cemas.
Namun mobil Mahis tidak terlihat dia menghela napas lalu selfi.
Srettt
Tanpa kata dan ucapan dia melayang di atas lengan Mahis. Mahis membawanya berjalan cepat menuruni jalanan, Aya tersenyum bahagia dia merangkulkan tangannya kepundak suaminya, dan mendengar degupan jantung yang keras.
'Dia memang tidak banyak bicara tapi dia selalu melakukan tindakan yang tidak terduga,' batin Aya.
"Ekhm, ada kembang api deh kayaknya, di dalam sini," tunjuk Aya ke jantung Mahis. Mahis diam dan menurunkan istrinya secara kasar.
"Hih ... kasarnya," keluh Aya.
"Maaf," ujar Mahis cepat tanpa ekspresi.
"Aku belum dengar," ujar Aya.
"Maaf kurang keras?" tanya Mahis mendekat ketelinga Aya. "Maaf ...."
"Ih ... tidak tulus," ujar Aya.
"MasyaAllah orang ini heh," kata Mahis emosi dan ingin meremas kepala Aya, Aya sudah menutup mata ketakutan, namun tidak jadi Mahis membukakan pintu.
"Masuk, hati-hati terjadug, ada pengawas Oma, huft ..." titah Mahis lumayan lembut. Aya melihat orang pengintai yang jelas suruhan Oma. Aya tersenyum manis lalu masuk ke mobil. Mahis menutup pintu, berjalan lalu masuk dan melajukan mobilnya.
Drett
Drett
"Halo ... iya Raf ... ini sudah berjalan pulang," ujar Mahis, mengeraskan suara panggilan.
"Masalahnya aku sudah menseleksi beberapa chef tapi tidak cocok dengan lidah Derektur itu Mas. Mas ini kontrak besar lo ... Oma menyarankan Mbak Aya. Menurut Mas?" tanya Rafka dari telpon Mahis memandang Ayaa. Aya asik mendengarkan lagu dengan handset.
'Gengsi amat minta tolong ke si ayam. Makin berhutang aku nanti. Tapi ... apapun buatannya itu enak banget. Kalau aku menuruti gengsiku Perusahaan akan bangkrut banyak orang yang akan sedih,' batin Mahis merasa pusing dengan situasi. Aya memperhatikan lalu melepas hendsetnya.
"Ada masalah ya?" tanya Aya tidak dijawab oleh Mahis. "Suami istri itu berbagi, apa masalahnya, suka duka bersama. Jadi, kalau tidak keberatan cerita ke aku juga boleh," ujar Aya, Mahis menoleh, mereka saling menatap, Mahis membuang wajah.
"Mas, aku tutup dulu ya," ujar Rafka.
Tut ....
"Apa kamu bisa membantuku?" tanya Mahis.
"Alhamdulillah ... aku bermanfaat. Apa?" tanya Aya.
"Heh ... ini masalah perusahaan. Salah satu kariawan menggelapkan dana dan salah satu aset poperti juga lenyap. Rafka mengambari ada kontrak penting dan perusahaan akan mendapatkan hasil yang fantastis. Yang paling jadi beban adalah nasib kariawan lain. Aku takut tidak bisa menggaji. Intinya Derektur itu menginginkan chef. Apa kamu bisa membantu?" tanya Mahis. Aya tersenyum.
"He ... aku akan bantu dengan syarat kamu tidak akan bertemu dengan Kayla dan tidak akan berhubungan dengannya lagi," kata Aya mengulurkan tangan, Mahis membuang wajah.
"Tidak ikhlas banget bantu suami," ujar Mahis merasa kesal dengan persyaratan yang diajukan Aya.
"Aku akan berdosa jika mengijinkan suamiku bertemu dengan istri orang. Ayo ... diel tidak?" tanya Aya sambil menggerakkan tangannya.
'Orang ini ada aja acaranya. Huh ... demi, demi ... siapa tau nanti ketemu chef yang lebih handal. Sekarang setuju saja,' batin Mahis menjabat tangan istrinya. Aya mengecup punggung tangan suaminya.
"Aku sudah mengunci perjanjian kita," ujar Aya, Mahis melepaskan tangan Aya.
Aya tersenyum dia menurunkan kaca mengeluarkan wajahnya dan memandang udara setelah hujan berakhir.
'Demi ... kamu harus menahan rindu. Eh tapi kontraknya berapa hari ya. Kalau satu tahun gimana? Ah ... tenang Mahis dia tidak mengawasimu, tetapi Oma pasti lebih awas,' batin Mahis.
"Mas ... kalau suatu saat nanti kamu mau mengingkari persyaratan dariku ingat ada dua Malaikat yang mencatat perbuatanmu. Ada Allah yang selalu mengawasimu, jadi ...." Aya menghadap kesuaminya. "Berhati-hati dan waspadalah. Hehehe, aku mengancammu, suamiku ... terima kasih," ujar Aya bersandar di lengan Mahis. Mahis hendak menyingkirkan kepala wanita cantik itu. Namun tidak jadi.
"Rasanya sangat sakit, sakit, banget, tapi ... ucapan kecil yang sudah kamu katakan setelah kamu melakukannya. Itu yang membuat aku sangat nyaman," ujar Aya sambil melangkahkan kedua jari telunjuk dan tengah ke tangan suaminya.
'Apa yang aku katakan. Aku tidak merasa aku mengatakan cinta. Dasar gadis konyol. Memang aku mengatakan apa?' batin Mahis. Aya mengangkat kepalanya.
"Alhamdulillah ... sampai," suaranya riang setelah melihat gerbang dan mobil pun masuk, wajahnya selalu ceria.