Chereads / Cerdaslah Mencintaiku / Chapter 19 - Pengakuan Menyakitkan

Chapter 19 - Pengakuan Menyakitkan

Kejadian yang tidak pernah terduga Setelah salat asar, setelah lelah bekerja Mahis dan Aya berjalan bersama, sambil menikmati suasana di sore hari. Pemandangan luar biasa. Semilir angin, desiran ombak menambah kemesraan.

"Memori menghilang seiring waktu dengan bergantinya musim. Dari mata turun ke hati, hanya dia sang pemikat hati.

Badai keresahan telah menerjangku di saat aku tak bisa bersamanya, ada niat, aku ingin mencintaimu secara normal dan wajar, namun aku hanya lelaki biasa, dengan cinta yang masih untunya, aku tidak ingin seperti Qais, tapi diam-diam aku mulai menjadi Qais, aku tidak dapat menyangkal perasaanku.

Aku termenung, tak berdaya ketika aku tersiksa rindu, kata-kata cinta mengiang-ngiang setiap saat, setiap waktu. Benar kata penyinta, Cinta datang tak berwaktu. Semua Biidnillah, maafkan aku yang belum mencintaimu," kata Mahis terlihat sedih, lalu melirik ke Aya, Aya tersenyum, senyuman yang sangat manis.

"Kau memandangku, aku tahu."

ujarnya melirik, Aya tersenyum lagi lalu di susul dengan tertawa ringan, Mahis yang baru melihat senyuman itu, merasakan sesuatu yang berbeda, seketika ia memejamkan mata.

"Aku terlalu takut pada cintaku, aku takut akan membuatmu kecewa dan terluka, hatiku tak mampu, tapi sikapku dan keegoisan itu pasti akan ada, maafkan aku Aya, aku boleh jujur," kata Mahis memandangnya. Aya melihat tatapan yang tak ingin ia lewatkan.

"Iya." jantung Aya berdebar.

"Ada, kulit cabe yang nyangkut di gigi," jelas Mahis merunduk dan tertawa. Aya malu ia segera mengambil ponsel untuk mencari sesuatu yang nyangkut di giginya.

'Dasar ini memalukan, udah dag dig dug di hati ternyata, aku kembali konyol, ini malah hal menjijikan.' Batin Aya

"Sudah tidak ada?" tanya Kanaya.

"Iya.." Mahis melihat Aya sejenak, ia kembali menikmati mentari yang akan tenggelam.

"Mas ...." panggilan dengan suara lembut.

"Iya."

"Jangan memberi harapan palsu lagi," tegur cepat Aya karena ia tidak mau malu lagi.

"Sini mendekatlah," suruh Mahis membuat Aya membulatkan mata merasa salah dengar. Mahis menarik Aya, mereka berpelukan, tangan Mahis di pinggang kecil Aya, semakin kesetrum dan copot, hatinya bergetar hebat.

"Mau berdansa ..." ajak Mahis sambil mengulurkan tangannya, Aya menggapai tangan Mahis, mereka bergandengan.

'Mana bisa aku menolakmu, aku terpaut. Sering kali aku malu akan tingkah konyolku, tapi aku tetap selalu ingin di sampingmu, walau air mata sering menetes karena kamu masih mencintainya, jika terlanjur cinta, memang begini walau dia menjadi duri, tapi aku selalu ingin di sampingnya, dan berharap dia akan mencintaiku, semoga ini bukan kebodohan, melainkan ketulusan,' batin Aya.

Keadaan menjadi sahdu dan romantis, nyanyian alam di sore hari, desiran ombak menemani mereka.

Senja sore saksi mereka, tangan Mahis merangkul pinggang Aya dan Aya berpegangan erat di pundak Mahis, kedua kaki Aya sudah menumpang di atas kaki Mahis, memeluk dengan erat.

'Apa artinya ini, apa tatapan itu? Jangan berharap lebih dulu Aya.' Kanaya merunduk.

"Nay jangan grogi, sampai berkeringat," kata Mahis menegur Aya yang mulai melangkah dan merunduk sambil tersenyum-senyum, Mahis mengusap keringat Aya dengan kerudungnya, Aya menelan ludah ia berusaha menyembunyikan rasa bahagianya.

"Aku akan mengakui ..." ucap pelan Mahis, Aya memandangnya.

"Mengakui apa?" Aya terlihat sangat grogi.

"Nay ... rilex dong. Detak jantungnya sangat keras deg deg deg, hem ..." tegur Mahis lalu tersenyum, ia sangat suka melihat Aya salah tingkah. Aya diam ia tak berani mengeluarkan suara.

"Terimakasih atas usahamu, dan kesetiaanmu," ucap Mahis yang tiba-tiba mencium pipi Aya, pasir putih tempat mereka menginjak kan kaki, adalah saksi bisu.

Mata Aya terbelalak lebar dan menghentikan langkahnya sejenak, setelah mendapat ciuman yang membuatnya serasa tersetrum hingga melonggo.

"Aku tersetrum," ucap Aya tanpa exprasi, wajah datarnya membuat Mahis tertawa kecil.

"He, sejujurnya aku selalu menunggu Kay, aku sama sekali tidak pernah jatuh cinta kepadamu," kata Mahis pelan dan menatap Aya.

"Arga mengawasi kita, jadi jangan jauh-jauh." Mendengar itu Kanaya melepaskan diri, lalu mendorong Mahis, Mahis terjatuh, tangannya terluka karena tertancap karang.

'Jika aku mengakui cintaku itu akan memalukan, sangat memalukan, aku merasa sangat tidak punya harga diri. Aku hanya berpura-pura berpaling, sebisaku aku mengalihkan fikiranku, tapi aku selalu kembali memikirkanmu, ini sangat menyakitkan, kau beri harapan lalu kau kembali mengatakan kalau kamu mencintainya. Saat ini aku tidak bisa menahan kemarahanku lagi. Hatiku sakit jika terus berpura-pura dalam kebohonganmu. Tidak bisakah hal yang tiba-tiba puistis itu terjadi. Kamu jahat. Sangat jahat.' batin Aya dengan deraian air mata.

"Tunggu!" Mahis berlari memeluk erat Aya dari belakang. "Maafkan aku, membuatmu tersiksa selama ini, aku juga tersiksa, sangat! Aku sangat tersiksa melihatmu, namun aku terlalu egois, dan aku akan berdosa jika terus berbohong, aku menyerah, berhentilah mencintaiku. Aku belajar membuka hati. Tapi cintaku memang untuknya." ungkapan jujur yang sangat menyesakkan hati, Aya menghapus air matanya.

"Aku tidak bisa lagi berbohong, aku benci kepada diriku." Mahis berjalan di depan Aya yang mematung. memandang Aya. Aya mengambil nafas panjang dan berkali-kali menghapus air matanya.

"Heh, huh. Ini memalukan. Aku meminta sesuatu berikan malammu dan biarkan aku menjadi istri nyata bukan istri pura-pura. Satu malam saja," tantang Aya, Mahis terkejut.

"Aku tidak bisa, maafkan aku." Mahis menyesal.

"Aku memintamu, sebagai temanku, teman cerita teman tidur, aku tidak meminta macam-macam, aku ingin menghabiskan malam bersama," ujar Aya berjalan cepat, Mahis menyusulnya.

"Allahu Akbar." Aya terjatuh kakinya berdarah karna pecahan cangkang kerang yang tajam, Mahis berlari.

"Jangan lagi perhatian, aku bisa sendiri, kalau tidak pura-pura stop!" Aya menolak Mahis dengan kasar, ia berjalan pincang. Mahis di belakangnya tak tega, ia berlari dan membopong Aya, Aya memukuli punak dan punggung Mahis, sambil manangis.

'Hiks hiks, aku benci tapi aku juga terlanjur cinta.' batinya, ia menangis di dada Mahis.

"Aku akan bersamamu sampai akhir, sampai maut memisahkan. Walau tiada cinta, maukah kamu dan aku berteman?" ajak Aya, Mahis terkejut mendengar itu.

Mereka masuk rumah, Mahis mendudukkan Aya di sofa, lalu mengambil kotak obat, dan air bersih untuk membersihkan luka, mereka saling mengobati. "Jangan baik kepadaku," pinta Mahis.

"Karena Oma." Aya mengobati tangan Mahis, Mahis mengobati kaki Aya.

"Aku temanmu," ujar Mahis, memberikan jempolnya.

"Apa?" Aya menaikkan alis.

"Janji berteman, jangan menangis, aku berjanji aku tidak akan membahas Kay," jelas Mahis, Aya memberikan jempolnya, ia tersenyum.

"Kamu bahas seribu kali pun aku tidak akan cemburu." Aya berbohong.

"Masa, tadi kok pergi! Bilang kalau cemburu, cemburu aja! Atau banget?" tanya Mahis. Aya mulai salting.

"Kalau iya. Iya aku cemburu! Banget! Puas! Senangkan aku mengakuinya?" ketus Aya.

"Kamu lucu." Mahis tersenyum mencubit hidung Aya, lalu mengobati lukanya, Aya juga, saat Aya mengangkat kepala mereka berjadukan.

'Sangat sakit, namun Allah yang akan memberi cinta pada pernikahan suci ini, semuanya biidnillah.' batin Aya, Mahis mendekat Aya tidak tahu, tersentuh lah kedua bibir, mereka saling terkejut dan berpaling, membuang wajah.

"Ayo solat." Mahis terlihat gugup, ia berjalan cepat, Aya menyentuh bekas ciuman tanpa sengaja.

'Kamu memang tidak pernah bisa ku mengerti. Apa ini sengaja, sengaja banget. Aya, solat dulu.' batin Kanaya.