Hari-hari berlalu sikap Mahis yang acuh membuat Kanaya sering sakit hati. Kanaya mengambil cuti karena tidak enak badan. Rumah keluarga Rarendra juga sepi karena kesibukan masing-masing.
Seduhan teh yang di buatnya di pagi hari tidak pernah tersentuh oleh Mahis, bahkan untuk menyapanya pun tidak bisa, Mahis hanya berjalan cepat melewati Kanaya dan fokus pada ponselnya.
Sering terjadi Kanaya berdiri dengan secangkir teh, dan berkata. "Mas teh nya." ia berusaha menjadi istri yang baik.
Mahis hanya menanggapi dengan mengangkat tangan yang berarti tidak. Di satu rumah yang sepi. Semua bekerja dan Oma pergi ke rumah Rahmat untuk beberapa hari.
Dan hari berlalu begitu saja. Pagi yang sangat cerah, Mahis tidak ke kantor karena jam kerjanya siang, melihat Rumah yang mulai berdebu ia mulai cerewet seperti ibu-ibu yang sedang marah.
Mahis sangat keren dengan kaos putih, celana sedengkul warna coklat. Ia memang sangat tampan dan keren, kulit putih bersihnya membuat banyak suster yang terpikat.
"Sebenarnya dia kerjanya apa sih!" gumamnya keras ke meja makan.
"Aku mendengar, jangan cerewet!" sahut Kanaya.
"Kenapa tidak di bersihkan, ini sangat kotor!" ujar Mahis mencolek meja. "Huh, debunya 2 cm." teriaknya.
"Biarin. Aku lama makan hati, aku juga sakit, jadi tidak bersih-bersih. Lagi sakit hatiku! Ini gara-gara kamu. Makanya punya istri di hibur! Di ajak liburan, ajak kemana biar nggak sumpek! Sudah tidak di cintai, masih marah-marah pula." Kanaya mulai kesal. Mahis mendekat.
"Kok kamu yang marah!" Mahis mengerutkan kening.
"Biar." Kanaya fokus mengaduk masakannya.
"Lihat, hi..." Mahis menunjuk ke wastapel yang ada kotoran sisa kopi.
"Apa kamu tidak tahu. Aku sudah menyikatnya ratusan kali. Kalau tidak suka kotor ya sikat sendiri! Aku bukan pembantu! Kalau masih berkomentar pulangkan saja aku," ujar Kanaya mematikan kompor.
"Kamu sedang mens? Minta di pulangkan, kamu minta cerai?" tanya Mahis.
"Aku minta cerai," ujar Aya mendekat, mereka saling menatap.
Brug!
Kanaya pingsan di ia jatuh di pundak lebar Mahis. Mahis memangang dahi Kanaya, suhu bandannya sangat panas.
Mahis membawanya ke kamar, "Panas, wajahnya sangat pucat." Mahis mulai mengompres, ia mengamati dengan seksama wajah ayu Kanaya.
Mahis mencari obat. Ia melihat buku tebal warna coklat. Mahis mengambilnya dan membukanya. Tulisan yang begitu rapi.
[Aku lelah setiap hari terasa menyebalkan. Ada rasa sakit yang menjelma. Aku sangat kesal. Ingin marah tapi tiada guna.]
Hanya itu catatan Kanaya, membolak-balikkan buku itu, sama sekali tiada tulisan kecuali gambar seseorang 10 lembar.
Sketsa wajah. "Ini aku? Keren! Ada tulisan arab, apa ini artinya, tulisannya rapi dan bagus. Gambarnya juga bagus. Mahis menekut bagian itu karna ingin tahu artinya, Mahis membalik kertas. Banyak tulisan acak-acakan, "Mahis Rarendra cerewet, aneh, sulit di mengerti. Dan sok ganteng, dingin, kadang sweet, menyebalkan, padahal Hanif lebih ganteng. Baik pula," itu tulisan Kanaya.
"Aku VS Hanif. Apa bagusnya dia. Dia hanya naik motor jupiter, pintar aku juga," gumamnya, entah kenapa Mahis kesal saat di bandingkan.
Mahis memberikan kaos kaki di hidung Kanaya, Kanaya mengendus indra penciumannya membuat ia bangun, Mahis tertawa.
"Kejam." Suara Kanaya masih lemas.
"He hehe. Maaf. Soalnya tidak punya minyak kayu putih. Kamu sakit kenapa tidak bilang?" tegur Mahis, Kanaya diam dan membuang wajah. Mahis memegang urat nadi, lalu memeriksa detak jantung. Kanaya mengibaskan tangan Mahis yang mendekat ke dadanya.
"Jangan mesum. Aku baik." Kanaya menolak dengan suara pelan.
"Bagaimana baik. Kau panas!" nada tinggi.
"Jangan membentak!" Kanaya lebih tinggi, membuat Mahis terkejut.
"Dari tadi kamu marah-marah," tegur Mahis, Kanaya mencoba bangun, Mahis memberikan bantal di punggung Kanaya.
"Kamu juga! Cerewet. Cepat ke kantor," suruh Kanaya.
"Ha." Mahis duduk di samping Kanaya.
"Bukannya lebih betah di kantor? Dan main game! Ketimbang melihat aku. Sudah enek ya pulangkan saja aku!" Kanaya berbicara acuh dan santai.
"Dari mana dia tahu," gumamnya. "Dari Hanif?"
"Apa? Tebakkanku benar!" Kanaya melempar bantal, Mahis memeluk erat bantal itu.
"Pergi sana." suruhnya menyerah dengan suara pelan.
"Bukan begitu." Mahis mau menjelaskan tapi tidak bisa.
"Aku bilang pergi," suruh Kanaya mendorong bahu Mahis.
"Kenapa kau mengusirku ini rumahku," ucap Mahis membuat Kanaya terbungkam. "Bukannya wanita saat marah kalau menyuruh pergi, si pria harus tetap bertahan. Kalau bilang tidak apa, berarti ada apa-apa? Bukannya wanita ingin di mengerti dan bilang kaum pria tidak peka. Ini aku harus bagaimana? Apa yang ada di hatimu? Ingin aku pergi atau menemani. Katamu kita teman," jelas CEO jenius membuat istrinya diam.
"Kenapa wanita tidak jujur, apa coba yang ada di hatinya? Kalau tidak jujur bagaimana pria bisa mengerti isi hatinya. Kalau masih diam kenapa bilang kaum pria tidak peka. Wanita yang rumit." perkataan Mahis sangat cepat, Kanaya melongo.
"Kenapa dia ngegas dan tron-tron ton ..." gumam Kanaya
"Kamu bilang apa? Aku kerja jam dua. Kamu libur berapa hari? Aku buatkan makanan untukmu ya. Kue pay?" tawar Mahis yang mulai perhatian.
'Aku perhatian karena ingin tahu arti tulisan arab itu.' batin Mahis.
"Tidak perlu, aku sudah membuat kue bronis," cegah Kanaya, mereka tidak berani saling memandang.
"Ha. Kalau begitu aku ambilkan. Coklat membuat hati rilex siapa tahu kamu berhenti marah." Mahis pergi ke dapur.
"Aku harus punya trik, agar tahu artinya. Apa ya, aku sangat penasaran. Apa dia lagi dia membandingkan aku dengan Hanif. Tidak bisa di diamkan ini." gumamnya, Mahis mengambil beberapa kue bronis, ia mencuci tangannya, tanpa sadar Mahis meletakkan bronis itu di wastapel.
"Yah. Basah semua. Kenapa aku konyol," ujarnya menyesal, "Aku bisa gagal fokus karna Hanif. Kacau nih." Mahis membuang semua, dan mengambil yang baru.
"Tinggal tiga." Mahis mengambil dan segera ke kamar.
Mahis masuk, ia duduk di ranjang, ia diam Kanaya mengambil kue. "Kok hanya tiga."
"Aku membuangnya." Mahis jujur, Kanaya mencubitnya. "Soalnya tidak sengaja saat cuci tangan, aku tarok di bawah, jadi basah. Siksa, terus siksa!" titah Mahis, Kanaya malah menyuapi suaminya.
"Maaf," kata Kanaya menyesal.
"Ini sangat enak," puji Mahis kembali memakan kue, Ia menikmati.
"Yang pertama kali merasakan kak Hanif," kata Kanaya dengan santainya, Mahis tersedak lalu berdiri, ia akan marah.
"Kapan dia kemari?" sontaknya.
"Kemarin malam ambil map, lagian ada si kembar dan Fanan." Kanaya santai sambil memasukkan makanan ke mulutnya, Kanaya menaikan alis.
"Oh ya aku yang menyuruh," gumamnya, ia kembali duduk.
"Maaf dua hari aku memang tidak bersih-bersih. Tidak ada hujan jadi debunya masuk ke rumah, bibi sedang sakit, dan semua orang sedang sibuk, Aidil juga sakit," jelas Kanaya.
"Apa sekarang sudah membaik?" tanya Mahis, ia terlihat panik.
"Jantungku." Suara pelan dari Kanaya, Mahis membulatkan mata.
"Kenapa sakit?" Mahis panik, dan akan menyentuh di bagian luar dari tempat jantung.
"Jangan modus," tegur Kanaya.
"Kenapa, kamu milikku. Semua bagian dari dirimu, punyaku," ujar Mahis.
"Kalau begitu." Kanaya membuka resleting bajunya, Mahis terkejut ia lari terbirit-birit.
"Keterlaluan! Dasar wanita tidak tahu malu. Apa dia tidak malu. Menyebalkan, kenapa detak jantungku. Kenapa hatiku. Makin gila." gumam Mahis, Kanaya yang masih di dalam kamar puas.
"He hehe, ternyata dia juga konyol, konyol tapi tak sadar, lagian aku pakai kaos dalam. Aku tidak berani menantangnya, tapi kejadian ini seru. Aduh, pusingnya." Kanaya masih tertawa sendiri. Ia mencoba tidur.