(Yuki)
Malam purnama, di tengah keheningan di sebuah pelosok desa. Ada satu buah rumah memilih menyendiri, jauh dari keramaian penduduk. Terdengar suara benda berjatuhan dan jeritan di dalam rumah. Dua orang dewasa, pria dan wanita keluar dari rumah dengan wajah yang ketakutan, menggendong seorang anak berusia 7 tahun di gendongan sang wanita itu. Wajah mereka yang ketakutan, selain itu, mereka berlumuran darah di mana-mana. Baru saja mereka bertiga keluar dari rumah. Sang pria terjatuh, seperti ada tangan-tangan tak kasat mata menarik pria itu masuk ke dalam rumah yang gelap. Si wanita menjerit memanggil pria itu.
"AYAH!"
Si wanita yang tengah menggendong putrinya,
mencoba menenangkan putrinya yang menangis.
"Ayah bagaimana Ibu?"
"Ayah baik-baik saja sayang, ayah pasti akan
kembali."
Pengharapan agar si pria kembali dalam keadaan selamat, ternyata tidak. Pria itu merangkak keluar dari balik kegelapan, wajah pria itu penuh dengan lumuran darah dan luka dimana-mana. Pria itu melemparkan kalung manik-manik, mendarat di kaki si wanita.
"Cepat pergi! Bawa putri kita ke tempat yang aman, ke rumah Kakek Hamidan. Bawa kalung suci itu, dia tidak akan mengejar kalian."
Sebelum ucapan pria itu selesai, pria itu di seret kembali ke dalam rumah yang gelap. Terdengar teriakan dan sesuatu bilah tajam menusuk sesuatu. Si wanita terkejut meratapi si pria, dan berlari kencang menyelamatkan dirinya dan putri sematawayang nya. Berlari di persimpangan jalan yang kanan-kiri banyak pepohonan rimbun, jauh dari rumah penduduk. Baru beberapa meter berlari, si wanita tersandung kayu dan jatuh ke tanah. Si wanita berusaha untuk berdiri, tetapi karena cidera di kakinya si wanita tidak maksimal untuk berlari. Sedangkan sesuatu hitam pekat di balik kegelapan terus mengejar si wanita dan si anak perempuan.
Si wanita memutuskan membawa anak perempuannya bersembunyi di balik semak-semak. Mengalungkan kalung bermanik-manik ke leher anak perempuannya. Wajah si wanita di derai air mata, harus merelakan menyelamatkan putrinya dan mempertaruhkan nyawa.
"Yuki tetap di sini. Jangan keluar, jangan menoleh dan jangan menjawab jika ada yang memanggilmu."
"Ibu mau kemana? Jangan tinggalin Yuki."
Si wanita tidak bisa menjawab pertanyaan putrinya. Sebagai seorang ibu yang rela mempertaruhkan nyawa demi keselamatan putrinya. Si wanita keluar dari semak-semak, berlari ke arah berlawanan, kabut hitam mengikuti si wanita, terlihat sosok bayangan hitam di dalam kabut ikut mengejar si wanita. Anak perempuan yang bersembunyi di balik semak-semak menangis, memanggil lirih ibu dan ayahnya.
Terdengar jeritan seorang wanita yang bergaung di keheningan malam. Anak perempuan itu semakin ketakutan, karena dia sendirian di hutan. Anak perempuan itu melihat sosok bayangan gelap di balik kabut kegelapan. Terdengar sosok gelap itu memanggil namanya, suaranya mirip suara ibunya yang kemungkinan sudah mati.
"Yuki, dimana kamu nak? Yuki, ibu rindu padamu."
Anak perempuan bernama Yuki, tidak akan mau menjawab. Suara itu begitu dingin dan menakutkan sekali. Rasa dingin yang sampai menembus tulang. Yuki ketakutan sekali, tidak ingin sosok bayangan gelap itu menemukannya, sampai tubuh kecil itu semakin merapatkan diri ke balik semak-semak. Terdengar suara ranting patah di kejauhan, sosok bayangan gelap itu menjauh dari tempat dimana Yuki bersembunyi. Merasa lega karena sosok bayangan gelap itu sudah pergi menjauh.
Ada sebuah tangan membekap mulutnya. Yuki meronta-ronta ketakutan, tetapi sosok di belakang Yuki sepertinya tidak berbahaya. Menengok sosok di belakang, seorang pria itu berjanggut putih dan mengenakan pakaian batik. Yuki kenal sosok pria tua itu.
"Kakek Hamidan."
Pria itu yang bernama Kakek Hamidan membawa Yuki pergi ke tempat yang aman. Sebuah rumah kayu. Ada sekitar tujuh orang pemuda berdiri di halaman rumah khas adat Jawa. Rumah itu dikelilingi obor yang menyala. Seorang pria muda melangkah keluar dari rumah.
"Bapak, ada apa ini? Yuki, putri dari Randi dan Ayu kenapa?"
"Dia datang lagi Andi."
Ekspresi tegang Kakek Hamidan yang mengisyaratkan adanya bahaya yang datang.
"Warga sudah diberi tahu?"
"Sudah. Mereka tidak boleh keluar dari dalam rumah, kelilingi rumah dengan air suci dan bara api. Dia tidak akan berani masuk ke dalam rumah yang sudah dipasang pelindung."
Kakek Hamid memerintahkan pemuda-pemuda yang berada di luar rumah. "Kalian semua, cepat masuk ke dalam. Sebentar lagi mereka akan datang."
Bergegas, satu persatu semua orang masuk ke dalam rumah masing-masing yang sudah dipasang pelindung. Yuki kembali menangis di pelukan Kakek Hamidan. Dari balik jendela, terlihat kabut gelap telah sepenuhnya mengungkung sebuah desa di pelosok. Yuki semakin mengeratkan pelukannya. Kakek Hamidan mengusap lembut punggung Yuki, menenangkan gadis kecil itu.
Mereka bagaikan burung yang terperangkap di dalam sangkar, dengan raut wajah tegang. Tiba-tiba ada sebuah tangan di jendela, muncul dua sosok manusia, wanita dan pria yang sangat dikenali, tetapi dua manusia itu sepertinya sudah tidak hidup lagi. Bola mata sosok manusia itu memutih. Sosok-sosok itu terus menggedor-gedor jendela.
"Ayah, Ibu." Yuki memanggil dua sosok manusia yang ternyata ayah dan ibu gadis kecil itu yang sudah meninggal.
"Dia memanfaatkan Randi dan Ayu."
Yuki terus memanggil kedua orang tuanya yang sudah tidak hidup lagi, lebih tepatnya, dua sosok itu hanyalah mayat yang di hidupkan kembali. Entah apa yang dilakukan Kakek Hamidan. Kilatan cahaya begitu terang di luar sana, mengalahkan pekatnya kabut gelap. Semuanya kembali seperti semula.
***
(Noah Chandra)
Aku menguap lebar, hingga bisa saja seekor lalat masuk ke dalam mulutku. Baru juga jam tujuh pagi, aku dan teman-teman lainnya sudah berkumpul di halaman kampus. Profesor Lucius memerintahkan mahasiswa tingkat satu berkumpul di lapangan. Ada lebih dari lima puluh mahasiswa di lapangan. Aku masih mengantuk, gara-gara semalaman aku berlatih keras, meningkatkan kekuatanku. Aku sangat payah sekali dalam mengendalikan aura biru. Berlatih hingga pagi. Aku sekali lagi menguap lebar.
"Ada apa ini? Kenapa Profesor Lucius mengumpulkan kita di lapangan?" Aku bertanya penasaran, pada siapa lagi kalau bukan teman menyebalkan dan paling populer dikalangan gadis-gadis.
"Mana aku tahu. Apa aku harus menjawab pertanyaan mu yang tidak berguna?!"
"Aku hanya bertanya!" Aku berteriak marah di depan wajahnya yang sok datar dan keren. Wajahnya yang tampan itu buat aku kesal saja.
Rasa marahku kalah oleh rasa kantuk, hingga aku kembali menguap lebar. Seseorang memukul kepalaku. Aku siap memarahi seseorang yang sudah berani memukul kepalaku, tetapi aku mengurungkan niatku saat melihat siapa yang telah memukul kepalaku. Sarah, gadis yang membuat hatiku terpikat, tetapi pada akhirnya hanya ada cinta bertepuk sebelah tangan.
"Jangan buat masalah, dasar bodoh."
Sarah selalu saja galak padaku. Sudah berbagai upaya aku meluluhkan hatinya yang bagaikan singa betina, aku tidak mampu dan malah mendapat balasan yang sangat menyakitkan sekali.
"Aku kan hanya bertanya, kenapa mahasiswa tingkat kedua psuruh berkumpul di halaman kampus. Tidak usah marah kan?" Aku cemberut, mengusap kepalaku.
Sarah memang galak, tetapi ada Eriska yang berbaik hati menjawab pertanyaan ku.
"Nyonya Karin mengumumkan sesuatu pada mahasiswa tingkat kedua. Mengikuti sistem Akademik Magis di beberapa negara, Nyonya Karin memutuskan akan memberikan misi di awal untuk mahasiswa tingkat kedua."
Jawaban Eriska membuatku senang dan merasa tertantang, meski ada beberapa teman-teman yang lainnya merasa keberatan. Dan mungkin saja bertanya-tanya. Tapi ini menjadi langkah awal untuk melatih kekuatanku.
Tidak salah, saat Kakek Julian mengatakan kalau aku adalah Spirit Magis. Seseorang yang memiliki kekuatan sihir, mereka menyebutnya sebagai Spirit Magis. Dan, Akademik Trisakti Bahana adalah akademi sihir tertua, berdiri hampir lima ratus tahun. Sampai sekarang, kampus ini terus menerima para Spirit Magis muda untuk dilatih kekuatan sihir. Pemimpin akademik ini selalu berganti selama lebih dari sepuluh tahun, dan kini di pimpin oleh seorang wanita, bernama Nyonya Loren Karina, selain itu, beliau adalah Master Spirit Agung. Di samping Nyonya Karin, berdiri di atas podium adalah Profesor Lucius Samanta.
Di atas podium. Profesor Lucius mengenakan jubah hitam, dengan garis emas di tepian jubahnya. Dia tengah mengkoordinasi mahasiswa tingkat kedua.
"Nyonya Karin akan memberikan misi untuk kalian, mahasiswa tingkat kedua. Ini pertama kalinya, kalian akan melakukan misi. Ada beberapa tempat yang akan menjadi tempat misi kalian. Di pelosok desa."
Kebisingan mulai menyeruak, yang lainnya berbisik-bisik. Bertanya-tanya, misi apa yang akan mereka lakukan. Terlihat wajah-wajah antusias, begitu juga denganku. Ini akan menjadi panggung pertamaku, mematahkan argumen mereka yang mengatakan aku bodoh dan tidak berbakat. Aku yakin, aku pasti bisa menyelesaikan misi ini dengan sempurna dan membuat mereka yang mengejekku, mulut mereka tersumpal dengan kehebatan ku.
Aku mendengarkan Profesor Lucius yang kembali menjelaskan dan mengelompokkan kami.
"Satu kelompok terdiri dari dua belas orang. Satu kelompok ini juga di pecah lagi menjadi unit kelompok yang berisi enam orang. Kalau begitu, saya mulai memanggil nama kalian dan kalian ke depan, untuk kalian mengambil jubah resmi kalian."
Aku melihat beberapa dosen membawa satu kardus berisi jubah resmi Akademik Trisakti Bahana.
"Noah."
Namaku yang pertama di panggil.
"Ryan, Sarah, Clarissa, Eriska dan Rio. Kalian masuk kelompok 12, unit 7."
Aku, Ryan, Sarah dan Eriska satu kelompok, tetapi kenapa harus bersama Clarissa dan Rio. Anggota geng Clarissa yang selalu membully dan menindasku.
"Wanda, Jasmin, Aska, Marvin, Leo dan Rill. Kalian di kelompok 12, unit 10."
Masalah baru lagi. Wanda, Jasmin, Aska, Leo dan Marvin, mereka berempat anggota geng Clarissa. Untungnya aku mengenal Rill, dia teman baik seperti Ryan, meski aku tidak begitu dekat dengan Rill. Aku bersama mereka maju ke depan, mengambil jubah resmi kami.
Aku memerhatikan sekilas jubah resmi punyaku. Warnanya hijau tua, lebih berwarna hijau daun yang sudah tua dan ada logo kampus bergambar kepala elang. Setelah memberi penjelasan dan arahan dari Lucius. Besok, aku dan teman-temanku mulai bertugas, berangkat ke pelosok desa. Sebuah desa terpelosok.
Di saat itu lah, kami mengalami keanehan selama menjalani misi. Teka-teki yang membingungkan, hingga fakta yang mengungkap sesuatu yang membuat aku terkejut.
***
Ini kali kedua aku menguap lebar di dalam mobil, berangkat jam lima pagi. Aku, Ryan, Eriska, Sarah, Clarissa dan Rio menaiki mobil sutel, sedangkan unit kelompok 10 menaiki mobil sutel yang berbeda, dengan tujuan yang sama. Hanya saja, kami ke dua desa yang berbeda.
Aku masih mengantuk, jadi aku memutuskan untuk meneruskan kembali tidurku yang sempat tertunda. Memakan waktu tiga jam, belum lagi masuk ke daerah yang terpelosok. Di sepanjang perjalanan aku habiskan tidur di dalam mobil. Tak terasa ada seseorang yang membangunkan aku. Membangunkan aku dengan lembut, namun membuatku malah semakin mengantuk, hingga seseorang lain meneriakiku tepat di telingaku.
"WOY, NOAH. BANGUN!"
Aku langsung terbangun seketika. Aku tidak lagi mengantuk saat yang aku lihat adalah wajah Sarah yang sangat menyeramkan sekali. Hampir saja aku keceplosan mengatainya nenek lampir. Jika tidak, Sarah akan mendaratkan bogem di wajahku. Mengerikan sekali.
Aku turun dari mobil, merentangkan kedua tanganku.
"Sudah segar, Noah." Eriska bertanya padaku. Dia yang paling perhatian padaku.
Aku mengacungkan jempol ku. "Aku sudah segar bugar."
"Jadi, kita di sini ngapain?" Kita di sini seperti anak-anak yang hilang di tengah hutan belantara. Sepanjang perjalanan, aku tidak menyadari jalanan di sini sudah tak beraspal lagi, melainkan hanya jalan setapak lebar yang masih bisa di lalui roda empat. Mobil sutel yang mengantarkan kami, pergi meninggalkan kami.
"Nanti kita ada yang jemput. Mungkin, sedikit telat."
Eriska menjawab rasa penasaranku dan gadis itu selain perhatian padaku, tentu saja Eriska perhatian sama pacarnya. Ryan yang sok keren dan tampan itu di perhatikan lebih, bahkan mereka berdua saling merangkul tangan. Aku sedikit iri melihat mereka berdua.
Aku mendekati Sarah yang sibuk sendiri. Aku menyelipkan tanganku, merangkul tangannya. "Sarah." Sebelum senyumku mengembang sempurna, Sarah mendaratkan tamparan keras di wajahku. Merasakan cetakan tangan yang memerah di wajahku. Aku tidak akan coba-coba lagi merayu Sarah. Dia gadis yang galak sekali.
Tapi, sifat yang galaknya ini. Jauh di lubuk hati terdalamnya, aku bisa merasakan cinta bertepuk sebelah tangan, seperti yang aku alami saat ini. Hanya saja, aku tidak bisa memaksa Ryan menyukai Sarah, karena Ryan sendiri sangat mencintai Eriska.
Cinta sepihak seperti ini membuatku sakit kepala saja. Aku memutuskan berjalan-jalan sebentar, sembari menunggu jemputan kami yang belum kunjung datang.
"Noah, kamu mau kemana?" tanya Sarah.
"Mau jalan-jalan sebentar. Aku bosan."
"Jangan jauh-jauh."
"Kenapa? Khawatir sama aku?" Aku menggoda Sarah, tetapi yang di goda malah semakin galak.
"Jangan mimpi."
Aku tertawa, karena sikap Sarah yang gengsi seperti itu membuatku sedikit senang. Sarah masih perhatian padaku. Aku berjalan masuk ke dalam hutan, mengikuti jalan setapak kecil. Perjalananku terhenti. Aku melihat seorang gadis kecil itu berlari dan terjatuh di depan mataku. Gadis kecil itu mengadu kesakitan, memegang lututnya yang lecet.
"Kamu tidak apa-apa? Sini biar Kakak bantu."
Aku membantu anak perempuan itu berdiri. Gadis kecil itu masih saja menangis. Aku tidak tahu bagaimana menenangkan dia. Teringat sesuatu, aku selalu membawa kotak obat di tas. Aku membuka tas ranselku, mengambil kotak obat, mencari-cari sesuatu, akhirnya ketemu. Hansaplast bergambar hello kitty. Aku menempelkan hansaplast di lutut Gadis kecil itu yang terluka. Dia itu tidak lagi menangis, malah tersenyum-senyum padaku dan memegang tanganku.
"Kakak orang baik."
Suara kecilnya yang polos membuatku gemas dan salah tingkah.
"Tentu saja, kakak ini baik loh." Aku membanggakan diriku, yang terlalu percaya diri sekali.
Gadis kecil itu malah tertawa semakin kencang. Entah kenapa tawanya itu membuatku ikut tertawa, seperti ada kupu-kupu yang menggelitik ku.
"Kakak pernah kehilangan orang yang kakak sayangi?"
Aku tidak mengerti, kenapa gadis kecil itu menanyakan sesuatu yang aneh. Tawaku mereda dan menatap anak itu.
"Kakak pernah kehilangan orang yang paling kakak sayangi."
"Siapa kak?"
"Orang tua kakak."
Topik pembicaraan yang sangat sensitif menyangkut ayah dan ibu, selalu membuatku sedih. Kehilangan sosok orang tua di hidupku.
"Kakak rindu orang tua kakak. Tapi kakak tidak bisa bertemu mereka, atau melihat mereka disaat kakak rindu. Kakak pasti selalu sedih dan sendirian."
"Tidak juga."
Anak itu menelengkan kepala, pertanda bingung. Tapi, malah membuatku tertawa melihat tingkahnya yang lucu.
"Orang tua kakak memang sudah tidak ada. Tapi, kakak selalu merasa mereka masih hidup."
"Benarkah?" Tanya gadis kecil itu. Mata kecilnya yang berbinar penuh semangat.
Aku mengangguk dan menunjuk dadaku. "Mereka hidup dan selalu hidup di sini. Kalau kakak rindu mereka, kakak genggam benda kesayangan mereka. Dengan begitu, kakak bisa merasakan mereka ada di sekitar kakak, melindungi kakak," ujar ku yakin dan memegang kalung pemberian ibuku.
Gadis kecil itu juga menunjukkan sebuah kalung bermanik-manik di hadapanku.
"Aku juga punya kak. Jadi kalau aku rindu orang tuaku, aku tinggal pegang ini dan aku bisa merasakan mereka ada di dekatku."
"Betul sekali."
Entah sudah berapa lama aku terus berceloteh bersama gadis kecil itu, aku begitu mudahnya akrab dengan anak kecil.
Sarah memanggilku.
"Noah."
"Ada apa?" tanyaku.
"Kamu lama sekali. Kita sudah dijemput. Kenapa kamu di sini?"
"Aku tadi habis ngobrol sama dia," kataku, menunjuk gadis kecil di belakangku. Tapi, anak perempuan itu sudah tidak ada.
"Bicara sama siapa?" Sarah bertanya bingung.
"Aku tadi ngobrol sama anak kecil di sini."
"Tidak ada siapa-siapa, Noah. Sudah ditunggu sama yang lain."
Aku yakin sekali, tadi aku berbincang-bincang dengan seorang anak perempuan. Tapi, baru sebentar aku menoleh, anak perempuan itu sudah tidak ada. Aneh sekali, anak itu cepat sekali menghilangnya.