Chereads / The Darkest Side Human / Chapter 25 - Di Balik Bayangan Gelap

Chapter 25 - Di Balik Bayangan Gelap

(Noah Chandra)

Aku bosan di dalam sendiri, tidak tahu ingin melakukan apa. Masih jam tujuh sore, mungkin bermain bersama Yuki lebih mengasyikan. Sedikit kekanakan, tetapi aku seperti memiliki kedekatan yang spesial dengan Yuki. Gadis kecil itu juga menyenangkan sekali. Terbukti saat aku main ke rumahnya, aku disambut pelukan hangat gadis kecil itu. Mengangkat tubuh kecil itu dan berputar-putar sampai aku dan Yuki pusing, demi melihat Yuki tertawa senang.

"Maaf, sudah merepotkan kamu," ujar Andi menyambutku di teras rumahnya.

"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin bersama Yuki, apa boleh?"

"Silahkan. Ajak juga saudara-saudaramu yang lain, Yuki."

"Yuki punya saudara?" tanyaku bingung.

"Yuki memang tinggal di sini bersama saya dan ayah saya. Ah, kebetulan mereka datang."

Aku mengikuti arah pandang Andi. Seorang wanita tinggi, berkulit putih dan rambut panjang di ikat ekor kuda. Wanita itu menggandeng tiga anak laki-laki yang usianya, ada yang sepantaran Yuki dan dua nya mungkin di atas Yuki.

"Maaf, aku baru bisa datang ke sini sekarang."

"Tidak apa-apa Sari. Pastinya Yuki rindu sekali, tidak ada teman bermain."

Wanita bernama Sari itu memeluk Yuki dan menyapaku."

"Sari ini tunanganku. Kebetulan anak-anak ini Sari yang adopsi. Orang tua mereka meninggal saat peristiwa pembantaian." Andi menjelaskan padaku, raut wajahnya tersirat kesedihan melihat anak-anak tanpa orang tua. Sama seperti aku yang sudah tidak mempunyai orang tua dari aku masih kecil.

"Aku sudah menganggap anak-anak ini seperti anakku sendiri, sama seperti Andi yang menganggap Yuki seperti putrinya."

Aku menganggu-anggukkan kepala.

"Anak-anak ini, anak angkat aku. Bima, Ari, dan Seno. Kalian kenalan sama Kak Noah."

"Hai Kak Noah." Ketiga anak-anak kecil itu menyapaku.

"Halo, salam kenal juga. Ok, jadi kita mau main apa?" Aku memecah keheningan dengan mengajak anak-anak ini bermain di pelataran halaman rumah Andi. Tidak begitu sepi juga, karena rumah Andi berdekatan dengan rumah-rumah warga lainnya.

Yuki menggambar sesuatu di tanah dengan tongkat kayu. Aku tidak begitu mengerti dengan permainan anak-anak di pedesaan. Anak-anak di perkotaan biasanya bermain game online di hanphone, tidak seperti anak-anak di desa yang memainkan permainan yang sangat unik sekali. Membuat gambaran kotak-kotak di tanah dan ada tulisan angka di setiap kotak.

Aku tidak mengerti cara permainan ini. Yuki menjelaskan cara bermainnya, aku mendengarkan dengan seksama. Cara bermainnya cukup mudah. Melempar batang kramik ke salah satu kotak itu, setelah itu aku harus melewati kotak itu, setelah itu aku harus mengambil batang kramik dan kembali ke garis awal. Setiap aku melewati kotak, di usahakan jangan sampai keluar kotak. Jika keluar, maka gagal dan akan diganti dengan pemain yang lain. Jika batang kramik sampai di puncak kotak, pemain akan menang dan boleh memilih kotak lain sebagai rumah. Pemain lain tidak boleh menginjak kotak yang sudah menjadi milik orang lain.

Jadi begitu cara bermain anak-anak di desa. Tanpa ada gadget dan teknologi, mereka bisa membuat permainan yang menyenangkan sekali dan tidak membuat bosan. Aku ikut bermain dengan anak-anak. Bayu dan Sari duduk di teras rumah, sambil bercengkrama dan sesekali mengawasi anak-anak yang bermain di luar.

Permainan ini jauh lebih menyenangkan, di banding bermain game online. Seperti sebuah ikatan yang penuh kehangatan. Awalnya, aku, Yuki, Bima, Ari dan Seno yang bermain. Anak-anak di dekat rumah Bayu, semua keluar dan ikut bergabung bersama kami. Permainan semakin menyenangkan dan ramai dengan anak-anak lain yang ikut bermain.

Aku berkali-kali kalah dan terjatuh. Semakin lama permainan ini sulit sekali. Tapi, aku sangat senang sekali. Beban berat yang selama ini aku pikul, kian mereda saat aku bermain bersama anak-anak kecil ini, mengulang masa kanak-kanakku yang tidak pernah ada kebahagiaan. Hanya ada kesuraman dan kebencian dari orang-orang terdekatku. Di sini aku sangat begitu nyaman sekali.

Tidak terasa sudah menjelang malam. Para orang tua menjemput anak-anak mereka yang tengah asik bermain. Dengan wajah cemberut, anak-anak yang lain pulang ke rumah, menyisakan aku, Yuki, Bima, Ari dan Seno. Aku tidak sengaja melirik mereka berempat, ada sorot rindu dan menginginkan sosok orang tua di kehidupan mereka. Aku mengerti sekali perasaan mereka, bagaimana hidup tanpa orang tua.

"Sdah malam, waktunya tidur. Besok kita bermain lagi, bermain yang menyenangkan."

Aku menghibur mereka yang sedikit murung. Senyum anak-anak itu kembali ceria, terlepas mereka tidak mempunyai orang tua. Yuki, Bima, Ari dan Seno masih punya dua orang yang sangat menyayangi mereka. Andi dan Sari yang sudah seperti orang tua untuk mereka.

Aku berpamitan pada Andi, Sari dan anak-anak yang sudah aku anggap seperti adikku sendiri.

***

Setelah aku bermain di rumah Andi, bermain bersama Yuki dan anak-anak lain yang baru aku kenal. Aku tidak kembali ke rumah penginapan, melainkan ke arah lain. Ada sesuatu yang ingin aku selidiki dan ingin aku pastikan. Rumah lama Yuki. Aku masuk ke dalam rumah itu, pintu masuk yang seperti saat itu, tidak terkunci. Kakiku melangkah masuk ke dalam rumah. Suasana yang sangat gelap sekali. Aku menyalakan lampu flash di handphone ku, seketika ruangan ini terang. Tidak begitu terang, setidaknya aku bisa melihat sesuatu di balik kegelapan.

Aku berjalan-jalan di dalam rumah tua ini, masuk ke setiap ruangan yang ada. Tidak ada apa-apa. Rasa penasaranku dengan kejadian kemarin. Raut wajah Ryan yang seperti orang cemas dan ketakutan. Aku hanya ingin tahu, apa yang terjadi dengan Ryan kemarin dan sesuatu yang aku lihat sekilas dibenak ku. Mungkin, dengan menyelidiki lagi, akan menuntun ke sebuah kasus tersembunyi. Saat aku berjalan di lorong, ada sebuah pintu di samping. Seakan ada sesuatu yang membuatku begitu tertarik ingin masuk ke dalam ruangan itu. Ingin tahu, apa yang ada di dalam ruangan itu.

Untungnya pintu tidak terkunci, aku masuk ke dalam. Entah ruangan apa itu, semua perabotan ditutupi kain putih. Aku menyingkap kain putih yang menutupi sebuah meja. Bentuk meja ini aneh sekali, bentuknya bulat, ada ukiran-ukiran di sepanjang meja. Sesuatu berkilau di meja itu. Sebuah kalung berliontin, aku membuka liontin ini. Ada dua foto yang tersimpan di dalam liontin. Foto seorang anak kecil yang aku kenal, Yuki dan seorang wanita cantik yang tersenyum. Mungkinkan ini foto ibunya Yuki.

Sesuatu terjatuh ke lantai. Aku mengambil benda yang terjatuh itu. Sebuah topeng wayang berwajah manusia, bibir merona merah yang tersenyum, bulir mata seperti padi.

Topeng apa ini? Aku baru melihatnya. Tidak juga. Aku pernah melihat topeng yang seperti ini, di rumah orang tuanya Ryan. Kenapa topeng seperti ini ada di sini? Ini menjadi tanda tanya besar dikepalaku.

Saat aku menyentuh kedua benda itu di tanganku. Kepalaku tiba-tiba berdenyut sakit. Seperti ada lubang hitam yang menyeretku, masuk ke dalam lingkaran hitam. Mataku yang dari tadi terpejam, terbuka perlahan. Memperlihatkan sesuatu yang membuatku bingung. Aku masih berada di rumah Yuki, tetapi suasana rumah ini berbeda sekali dengan suasana rumah yang aku lihat. Rumah ini masih ada penghuninya dan tidak terbengkalai. Ruangan ini juga terlihat berbeda sekali.

'Kamu sudah berjanji padaku untuk tidak mengganggu anak dan istriku.'

Aku terkejut dan sampai terjatuh ke lantai, melihat seorang pria berkacamata yang tiba-tiba muncul di sampingku. Seperti hantu gentayangan yang muncul tiba-tiba. Tapi, suara pria itu seperti gema, suara itu berada di dalam kepalaku. Pria itu entah berbicara dengan siapa di belakangku.

'Tidak, aku tidak janji seperti itu.'

Perasaan dingin ini, sangat dingin sekali. Seperti tidak ada aura kehidupan, hanya ada keputusasaan yang di telan oleh kegelapan. Kebencian yang sangat besar sekali. Suara sosok lain itu menggema di pikiranku. Tapi, suara itu sangat dingin dan suara wanita, sampai-sampai tanganku refleks memeluk diriku sendiri. Kebencian dan dendam ini membuat bulu kudukku merinding. Sesuatu yang sangat berbahaya sekali berada di belakangku.

Takut, tetapi aku sangat penasaran sekali dengan suara dingin itu. Aku menolehkan kepalaku ke belakang, melihat sesuatu yang membuat mataku membulat sempurna. Sosok wanita bergaun merah yang pernah aku temui. Sosok wanita itu juga yang selalu menghantui Ryan. Tapi, bukan sosok wanita bergaun merah yang membuatku terkejut dan tersirat ketakutan yang begitu besar. Ada sosok lain di belakang wanita bergaun merah itu, sosok yang menyembunyikan diri di balik kegelapan. Hanya ada sorot mata bercahaya yang aku lihat di balik kegelapan.

Siapa sosok lain itu? Begitu banyak aura kebencian dan dendam yang mendalam.