Chereads / The Darkest Side Human / Chapter 29 - Mengerti Perasaannya

Chapter 29 - Mengerti Perasaannya

(Noah Chandra)

Aku tidak salah lihat. Clarissa berjalan-jalan sendiri di malam hari, dan kebetulan sekali aku menemukannya. Memilih kembali ke penginapan atau ke rumah Pak Andi, atau.... mengikuti Clarissa?

Dia memang gadis yang menyebalkan sekali, musuh bebuyutanku. Perilakunya juga lebih buruk di banding Ryan. Aku menghela napas lagi. Terlalu berpikir serius, padahal aku sendiri adalah si bodoh yang terkenal dan mereka yang mengejekku senang memanggilku seperti itu atau si pembawa sial.

Clarissa menghilang di balik pepohonan. Aneh saja, kenapa dia berjalan ke area hutan. Mau tidak mau aku harus mengikutinya, jika terjadi sesuatu bagaimana? Aku juga yang akan kena masalah. Aku menyusul Clarissa yang berjalan ke area hutan.

Pohon-pohon di sini menjulang tinggi dan lebat sekali, sampai-sampai sinar bulan sulit menembus pepohonan. Aku merogoh hanphone di saku jaket, menyalakan flash lampu.

"Kemana dia pergi?" Aku kehilangan jejaknya, entah pergi kemana gadis tempramental itu pergi. Mencari kesana-kemari, tidak ada siapa-siapa.

Terdengar suara ranting patah. Aku menoleh ke samping, melihat Clarissa berjalan ke arah lain. Aku buru-buru mengikuti gadis itu, sebelum kehilangan jejak. Aku sudah memanggilnya, tetapi Clarissa tidak merespon atau menyahut panggilanku. Biasanya jika aku panggil, Clarissa akan melontarkan kata-kata hina. Tapi, ada yang aneh dengan Clarissa saat ini. Dia seperti tidak merespon ku. Seperti ada yang mengendalikannya. Aku takut jika terjadi apa-apa dengan Clarissa, aku mengikutinya dari belakang.

Berjalan di tengah hutan malam-malam seperti ini, sebenarnya Clarissa ingin pergi kemana? Sepanjang jalan dia tidak menyadari kalau aku mengikutinya. Di balik pepohonan tinggi. Aku melihat sebuah yang gua berada di tengah-tengah hutan. Gua di tengah hutan, aneh saja. Setahu aku, gua seperti ini biasanya ada di dekat perbukitan atau di lereng pegunungan. Di sini hanya hutan lebat.

Aku melihat Clarissa masuk ke dalam gua. Bagaimana ini? Bagaimana jika ada hewan melata atau hewan buas. Ini adalah hutan, segala macam binatang liar mungkin masih ada. Jangan lupa, makhluk-makhluk aneh lainnya seperti hantu mungkin. Aku berlari masuk ke dalam gua.

Yang membuatku terkejut dan aku berhenti berlari. Clarissa tidak ada di dalam gua. Padahal jelas sekali, aku melihatnya tadi masuk ke dalam gua. Gua ini hanya berupa lorong panjang, seharusnya aku bisa menemukan Clarissa.

"Jangan-jangan, Cla di culik hantu." Aku merinding ketakutan, jika memang itu benar.

Tanganku mencengkram kepala, lari kesana-kemari seperti orang gila. "Bagaimana ini? Bagaimana ini? Bagaimana ini?" Kata-kata itu terus berulang aku ucapkan di setiap kepanikan ku.

Aku menghentikan kegilaan ku, saat aku melihat obor-obor yang berada di sepanjang dinding gua menyala sendiri. Aku semakin merinding ketakutan melihat obor menyala sendiri. Kakiku melangkah mundur, ingin segera pergi dari tempat menyeramkan ini. Tapi, mengingat Clarissa berada di sini. Aku tidak bisa mengabaikannya, meski aku membencinya sekali pun. Aku memantapkan hatiku dan melangkah ke depan.

Lorong gua yang panjang dan untungnya cahaya obor menyinari sepanjang jalan, sehingga aku cukup bisa melihat sepanjang jalan. Hingga di ujung gua. Aku menghentikan langkahku. Aku menatap sekeliling ruang tengah gua yang cukup besar. Hidungku mencium bau kemenyan dan wangi-wangian yang sangat menyengat sekali.

Aku menutup hidungku saking bau yang menyengat, bukan bau busuk, hanya bau kemenyan dan wangi-wangian. Tapi aku merasa pusing sekali. Di depan sana, aku melihat altar yang terbuat dari batu. Ada kemenyan dan barang-barang ritual lainn yang tidak aku ketahui. Ada tulisan-tulisan aksara yang terpahat mengelilingi batu altar.

Aku memang bodoh. Aku tidak tahu arti dari huruf aksara ini. Tapi tunggu dulu. Bukannya di akademik aku juga belajar tentang bahasa aksara? Aku kembali menjambak rambutku, frustasi karena kebodohan yang benar-benar mengalahkan rekor manusia jenius.

Tunggu dulu. Sepertinya aku bisa sedikit membaca terjemahan aksara ini. Mataku menyipit, melihat jelas tulisan-tulisan yang terpahat itu. Jika tidak salah aku artikan.

"Cahaya-di-telan-kegelapan." Selanjutnya. "Memanggil-sesuatu-yang-tidak-murni-ke-dunia."

"Apa maksudnya?"

Aku bingung setelah menterjemahkan tulisan yang terpahat di batu altar. Belum usai dengan kebingunganku. Suara teriakan Clarissa terdengar, entah berada di mana.

"Cla."

Aku berlari ke arah di mana mendengar suara teriakan Clarissa, di lorong sebelah. Lorong ini gelap sekali, untungnya aku membawa obor. Mencari-cari keberadaan Clarissa. Aku yakin sekali, aku mendengar teriakannya tadi. Hingga aku mendengar suara samar-samar di depanku. Lorong di depanku gelap gulita, aku memicingkan mata, mencoba melihat sesuatu di depan sana.

Sosok manusia menerjangku hingga aku terjatuh ke tanah, obor yang aku pegang terlepas. Untungnya api tidak padam, jadi aku bisa melihat siapa yang menyerangku.

"CLA!"

Tiba-tiba Clarissa menyerangku seperti orang kesetanan. Aku menghindar kesana-kemari, menghindari Clarissa yang tiba-tiba menyerangku. Ada apa ini? Apa yang terjadi dengan Clarissa? Itu yang menjadi pertanyaanku, melihatnya seperti di kendalikan sesuatu.

"Cla, sadar. Ini aku, Noah."

Berkali-kali aku memanggilnya, dia tidak sadar dan malah semakin menyerangku. Hingga aku tersudut di dinding gua. Clarissa mencengkram leherku kuat sekali. Aku kesulitan bernapas, bola mataku seakan ingin terlepas dari tempatnya. Aku tidak mau melihat Clarissa seperti ini. Masa bodoh jika Clarissa nanti sadar dan memakiku habis-habisan. Tanganku terangkat, mengepal dan meninju wajahnya. Clarissa tersungkur ke lantai dan melepas tangannya yang mencekik ku. Aku terbatuk-batuk, kuat sekali cekikan nya padaku, seperti bukan orang normal saja.

"Ada apa ini? Kenapa kamu memukul aku?" Clarissa bersungut-sungut, marah dan memegang pipinya yang lebam.

"Aku yang harusnya bertanya, kenapa kamu mencekik aku? Apa kamu berniat ingin membunuh aku?" Aku balas membentaknya garang, menunjuk luka goresan di leherku.

Clarissa tidak lagi marah-marah seperti biasanya. Ada sorot mata aneh yang aku lihat di matanya, sorot mata sendu. Entah apa yang terjadi dengan Clarissa. Rasa kesal ku sedikit mereda, aku mengulurkan tanganku, membantunya berdiri. Bukannya menyambut uluran tanganku, Clarissa menepis kasar tanganku.

"Jangan memasang kebaikan, yang sebenarnya pura-pura," kata Clarissa ketus dan berdiri sendiri.

Aku mendengus, melihatnya sok kuat dan tidak membutuhkan siapa pun.

"Ya, sepertinya wanita seperti kamu tidak pantas mendapat perlakuan baik. Hidupmu lebih nyaman dengan kesendirian."

Clarissa terpancing kata-kataku, meluapkan kemarahannya, menyudutkan ku di dinding gua. Aku tersenyum remeh melihatnya menatapku tajam dengan sorot matanya itu. Sorot mata yang penuh kesendirian. Tidak peduli Clarissa selalu membuat masalah, menjadi yang paling kuat. Aku bisa melihat isi hatinya seperti apa.

"Ah, topeng di wajahmu tebal sekali. Tapi sayangnya, topeng kamu tidak sempurna menyembunyikan kesendirianmu."

Clarissa semakin mencengkram kuat kerah jaket ku. Tatapan matanya yang tajam, siap mencabik-cabik ku. Tapi untuk apa takut dengan orang seperti dia.

"Maksud kamu apa?"

"Maksud aku, kamu tidak perlu berlaga paling kuat, kalau hanya menyembunyikan kesendirian kamu." Aku mendorong Clarissa keras, melepaskan cengkeramannya dariku. "Kamu seharusnya tidak seperti ini. Menyembunyikan kesendirianmu, rasa sakit hatimu. Aku dan kamu sama, dan aku bisa merasakan rasa sakit di hatimu."

Clarissa menyembunyikan kepalanya, menunduk. Mungkin yang aku katakan terlalu menyakiti hatinya. Tapi, jujur, aku merasakan bagaimana Clarissa rasakan.

"Aku sudah mengatakan, kamu tidak perlu ikut campur."

Sorot matanya itu, aura gelapnya sangat dingin sekali, di penuhi kesendirian. Aku terdiam, tidak berkata apa-apa, Clarissa berjalan pergi meninggalkanku. Aku melihat punggungnya yang kian menjauh.

Mungkin kali ini aku sedikit kelewatan, membuatnya marah. Aku mengambil obor yang tergeletak di tanah dan menyusulnya. Aku sudah sejajar dengannya, Clarissa hanya diam saja saat aku mengajaknya mengobrol.

"Cla, aku minta maaf karena memukulmu. Tapi, kalau kamu marah padaku, tidak masalah kalau kamu mau balas dengan pukul aku."

Clarissa tetap diam seperti tadi. Tapi kali ini, Clarissa memang diam, bukan karena dikendalikan oleh sesuatu. Aku terus berjalan di sampingnya, sesekali aku melirik ke arahnya. Clarissa tetap diam, tidak banyak bicara, tidak marah-marah seperti biasanya. Mungkin memang aku tidak mengerti perasaannya dan malah mengejeknya.