(Noah Chandra)
'Kenapa kamu tidak menepati janji? Aku sudah memenuhi permintaanmu, membantai mereka yang menjadi halangan untukmu.' Raut wajah pria berkacamata mengkerut ketakutan.
Siapa yang sudah pria berkacamata itu bantai? Aku mendengar seksama pembicaraan.
'Manusia terkadang tidak bisa menepati janji mereka. Manusia hanya pembohong ulung, di penuhi kebusukan. Apa salahnya jika aku tidak menepati janjiku? Karena kamu sendiri sudah mengkhianati aku.' Suara dingin itu berintonasi keras, seperti marah sekali, tetapi wanita bergaun merah hanya diam saja. Melainkan sosok di balik kegelapan itu yang berbicara lewat gema yang bisa aku dengar di kepalaku.
Pria berkacamata mengangkat sebuah kalung bermanik-manik. 'Aku tidak mau lagi menjadi boneka balas dendam mu.'
Sosok dibalik kegelapan mendengus tertawa. Tawa yang sangat dingin sekali, membuat aku merinding ketakutan. 'Sampah.'
Sosok dibalik bayangan itu menghilang, seperti ditelan dalam kegelapan. Di sekeliling kabut mulai menyelimuti. Sosok wanita bergaun merah terselimuti kabut, dari balik bayangan. Wanita itu seperti berubah, hanya menampakkan bayangan saja. Tapi menyeramkan sekali. Kepala wanita itu tertekuk kesana-kemari, perubahan juga terjadi pada tangan dan kaki wanita itu yang tertekuk ke dalam. Badan wanita itu tertekuk juga, hingga muncul kepala seekor ular dan seluruh badan ular yang panjang, dan besar. Suara desisan yang amat mengerikan sekali, terdengar di kepalaku.
Pria berkacamata itu semakin meningkatkan kewaspadaan, sambil menggenggam erat kalung manik-manik ditangan. Di balik kabut bukan lagi sosok wanita bergaun merah, melainkan berubah menjadi seekor ular besar. Aku merasakan aura yang sangat jahat sekali. Wajah pria berkacamata itu berkeringat dingin, melihat sesuatu yang membuatnya luar biasa ketakutan.
Kabut tebal menyembunyikan sosok ular besar itu, berjalan melata mengejar pria berkacamata. Aku berusaha untuk menolongnya. Tapi badanku menembus pria berkacamata itu. Aku melihat tangan dan tubuhku bercahaya, seperti transparan. Sepertinya aku berada di dalam ingatan peristiwa itu.
Seorang wanita dan anak perempuan keluar dari kamar. Aku mengenal anak perempuan itu, Yuki bersama ibunya.
Kabut gelap mengelilingi rumah, seperti air bah yang siap menelan apapun. Mereka bertiga mencapai pintu keluar, tetapi badan panjang ular itu melilit kaki pria berkacamata hingga jatuh. Pria berkacamata itu terjatuh ke lantai dan ada tangan-tangan tak kasat mata yang menarik pria berkacamata.
Pria berkacamata itu tertelan oleh kabut gelap. Tapi aku bisa melihat di balik kabut itu. Sosok ular besar dan mata merah menyala. Sosok ular itu mencengkram badan pria berkacamata, mengangkat setinggi mungkin. Pria berkacamata memberontak, kakinya menendang-nendang. Pria berkacamata itu berhasil melepaskan diri dengan luka-luka di sekujur tubuhnya, merangkak keluar. Pria berkacamata itu melemparkan sesuatu kepada Yuki dan istrinya. Entah apa yang pria berkacamata itu bicarakan, tiba-tiba aku tidak bisa mendengar suaranya lagi. Pria itu kembali diseret ke dalam. Kali ini, pria berkacamata itu tidak bisa lepas lagi.
Aku ngeri melihat sesuatu di depan mataku. Sesuatu yang membuatku mual dan ingin memuntahkan sesuatu di perutku.
Lihatlah, tubuh pria berkacamata itu tiba-tiba mengempis seperti balon. Wajah dan dagingnya mengkerut, seperti ada yang menghisapnya. Hanya menyisakan wajah yang cekung yang memperlihatkan tengkorak dan tulang-tulang yang dibalut kulit saja. Tidak terbayangkan hal seperti itu terjadi di depan mataku.
Kacamata itu terlepas, aku bisa melihat tatapan kosong mata pria berkacamata itu. Aku di lempar kembali ke suatu tempat, suatu tempat yang sangat gelap. Hanya ada aku seorang diri. Telingaku dipenuhi suara-suara menakutkan. Aku bisa melihat wajah-wajah mengerikan mengelilingiku, wajah-wajah itu meraung, menangis, banyak lagi suara-suara kelam dan gelap.
Aku tidak tahan lagi mendengar suara mengerikan yang membanjiri kepalaku. Sesuatu seperti suara dentingan, entah suara dari mana membuatku kembali tersadar. Aku kembali berada di ruangan ini lagi, kali ini nyata dan bukan mimpi yang aku lihat. Aku mengelap wajahku yang berkeringat. Melihat tanganku yang basah oleh keringat. Mimpi itu seperti nyata, aku seperti di bawa ke suatu tempat, lalu di bawa ke tempat yang hampa. Hanya dilingkupi aura dingin, kejam dan gelap.
"Aku mimpi apa tadi?" Aku tersengal-sengal dan keringat yang sudah membasahi pakaianku.
Mimpi itu mengerikan sekali. Aku membawa topeng wayang dan kalung liontin, memasukannya ke dalam jaket. Segera aku bertemu Andi dan Kakek Hamidan, ingin menanyakan sesuatu pada mereka. Mereka pasti tahu sesuatu.
Di tengah jalan, aku melihat Clarissa berjalan sendirian di luar. Saat aku panggil, gadis tempramental itu tidak merespon panggilanku. Aku jadi penasaran, jadi aku buntuti dia dari belakang.
***
(Clarissa Lim)
Tidak ada yang menyenangkan sama sekali selain menyelidiki kasus pembunuhan aneh pasangan suami-istri. Ada kemungkinan juga berhubungan dengan Necro. Tidak ada hasilnya sama sekali saat aku kembali ke rumah itu. Aku tidak begitu suka berbicara dengan orang-orang kampung, mereka berada di bawahku dan tidak selevel denganku. Untungnya ada Rio yang membantuku, menanyakan dan mencari bukti sebanyak mungkin. Saat peristiwa tewasnya pasangan suami-istri, muncul Necro yang meneror warga desa dan warga desa terlindungi dari Necro oleh bantuan Spirit Magis.
Sesampainya di penginapan, aku segera mandi dan selesai mandi. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Tidak sudi aku harus membantu Eriska dan Sarah memasak di dapur. Aku tidak mau dan itu bukan pekerjaanku. Aku hanya tinggal duduk enak dan makanan sudah tersedia di depan mata.
Aku sedang asik di kasur sambil membaca buku. Pintu kamar terbuka. Sarah memasang muka tidak menyenangkan padaku. Menyebalkan sekali harus berdebat dengan gadis menyebalkan itu, belum lagi sikapnya itu. Memangnya aku takut?
"Dari pada kamu santai-santai, sebaiknya ikut bantu aku dan Eriska masak."
Aku tidak mendengarkannya dan sibuk membaca buku. Tidak sudi aku harus ikut memasak di dapur.
"Kamu disini tidak bisa manja-manja, Cla. Kamu mendengarkan aku tidak?" Sarah marah dan mengambil paksa buku novel yang sedang asik aku baca.
Suasana hatiku yang kurang bagus, ditambah sikap menyebalkan Sarah membuatku tersulut emosi.
"KAMU BENAR-BENAR PENGGANGGU YA!" Aku berdiri dari ranjang, menantang, menatap Sarah yang sudah berani mengusikku.
Eriska datang dan melerai aku dan Sarah yang siap bertengkar, dan mungkin saja adu jambak rambut jika tidak bisa menahan emosi.
"Sudah, kalian berdua jangan bertengkar. Sarah, sudah biarkan saja. Mungkin Cla sedang lelah."
Napasku menderu kencang, tak kala kemarahan menyelimuti ku. Eriska membawa Sarah keluar dari kamar, aku luapkan kemarahan ku dengan melempar buku ke sembarang tempat. Aku marah, aku kesal. Kemarahan yang tak beralaskan ini membuatku sangat frustasi. Aku habiskan waktu mengurung diri di kamar, hingga beberapa jam kemudian, seseorang mengetuk kamar dan membuka pintu kamar. Eriska mengajakku makan bersama yang lainnya di luar.
"Cla, makan bersama di luar? Aku masak sup ayam dan ikan bakar, yang lain sudah menunggu kamu di luar."
Aku benci dengan sikapnya Eriska yang baik padaku, seakan perbuatan baiknya itu membuatku terhina dengan sikap kasar ku selama ini. Tapi, rasa kesal ku kalah dengan rasa lapar. Perutku tidak mau diajak kerja sama, malah protes ingin makan. Lihat kan, senyum menyebalkan Eriska, membuatku malu saja. Aku keluar dari kamar. Semua orang sudah duduk melingkar di lantai beralas tikar, satu bakul nasi dan lauk pauk yang tersedia menggugah rasa lapar ku. Aku palingkan wajahku, kala aku dan Sarah saling pandang, melempar kebencian satu sama lain.
Lebih baik duduk jauh-jauh dari mereka. Menyebalkan sekali harus makan bersama mereka. Selesai makan, aku lebih memilih menyendiri lagi di kamar, kamar adalah tempat favoritku untuk menyendiri dan menenangkan diri.
Belum juga aku merebahkan diri di kasur, benda pipih di sampingku bergetar. Seseorang yang tidak ingin aku lihat dan aku dengar, seseorang yang paling aku benci. Tapi, sangat mengharapkan kasih sayangnya. Mama Selena menelpon ku.