Chereads / The Darkest Side Human / Chapter 24 - Sisi Tergelap Manusia

Chapter 24 - Sisi Tergelap Manusia

(Noah Chandra)

Melelahkan sekali hari ini. Seharian mengajar anak-anak di sekolah. Sebagian anak-anak yang ternyata Spirit Magis, aku mengajari mereka dasar-dasar kekuatan Magis, potensi yang sudah anak-anak miliki dari kecil. Selain itu, aku ikut membantu tukang kayu yang sedang memperbaiki bangunan sekolah. Aku masuk ke dalam dan langsung merebahkan diri di lantai yang dingin. Eriska, Sarah, Clarissa dan Rio, mereka sudah menyelesaikan tugas di hari pertama mereka. Rio dan Clarissa belum mendapatkan hasil dalam penyelidikan ini.

Aku melihat Ryan langsung masuk ke kamar. Si pintar dan sok keren itu, menyebalkan sekali. Sepanjang kami bertugas, tidak lebih aku dan Ryan selalu bertengkar hal sepele. Dari pada memilih antara Rio atau Ryan, aku memilih Ryan yang adalah sahabatku.

Ya, teman bertengkar ku.

Kebetulan sekali para gadis-gadis tengah berada di dapur, menyiapkan makan malam untuk kami. Tidak semua juga. Clarissa, gadis manja itu malas sekali memasak, malah asik di dalam kamar, sama seperti Ryan yang sampai sekarang tidak kunjung keluar kamar.

Aku menyelinap ke dapur, mengintip Eriska dan Sarah yang sedang asik sekali memasak sambil berbincang-bincang. Membayangkan mereka berdua suatu saat nanti akan menjadi seorang istri dan tengah memasak untuk suami tercinta. Aku begitu berangan-angan tinggi, membayangkan Sarah kelak menjadi istriku, memasak makanan untukku. Menghayal terlalu tinggi. Sebuah benda melayang mengenai kepalaku, merasakan kepalaku seperti ada benjolan akibat hantaman centong yang terbang ke arahku.

"Kamu sedang apa, Noah?"

Sarah galak dan ketus sekali padaku. Dia memang gadis yang galak dan entah mengapa, aku malah makin menyukainya. Tapi aku tetap takut melihat wajah garang Sarah.

"Aku hanya ingin melihat kalian yang sedang memasak, apa tidak boleh?" Aku bersungut-sungut kesal.

"Wajahmu seperti orang mesum."

Kepalaku tertunduk lesu, dikatakan orang mesum. "Sarah, jahat sekali kata-kata kamu. Serius, aku hanya ingin mencicipi masakan kamu. Pasti lezat sekali."

"Aku dan Sarah sedang masak sup dan ikan bakar, kebetulan kita tadi diberi bahan masakan dari ibu-ibu di Balai Desa," kata Eriska yang sedang mengaduk-aduk sup di panci.

Aku mendekat dan mencium bau rempah-rempah yang sangat menggugah selera. Sarah yang galak dan tidak pandai membuat kue, sedangkan Eriska pandai membuat kue. Ternyata Sarah juga pandai memasak. Aku mencicipi sup ayam buatan Eriska. Satu teguk kuah masuk ke dalam kerongkonganku, rasanya begitu lezat sekali. Tidak salah Eriska berbakat sekali meracik bumbu di dapur.

"Eriska benar-benar istri idaman dimasa depan." Aku memuji Eriska yang pandai sekali dalam memasak dan membuat kue. Gadis pemalu itu merona merah wajahnya. Beruntung sekali Ryan bisa memiliki Eriska yang lembut dan pandai dalam segala hal.

Bahaya! Aku merasakan aura yang sangat menakutkan sekali. Sarah sudah seperti iblis saja, yang kalau marah memunculkan tanduk di kepalanya. Kesempatan bagus, melihat aku memuji Eriska. Sepertinya Sarah cemburu.

"Ah, aku coba ikan bakar buatan Sarah."

Aku mengambil sendok dan mencicipi sedikit ikan bakar buatan Sarah. Saat daging ikan itu masuk ke dalam mulutku. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Bukannya tidak enak, ini ikan bakar terlezat yang pertama kali aku coba. Tidak terasa sampai aku meneteskan air mata, karena pertama kalinya masakan buatan Sarah sangat lezat sekali.

"Tidak menyangka, dari semua masakan kamu yang tidak enak. Ikan bakar buatan mu lezat sekali. Sarah, kamu tidak gagal menjadi istri idamanku dimasa depan."

"Hah, tidak akan pernah aku menjadi istrimu," kata Sarah galak, menunjuk wajahku.

Kata-katanya sangat kejam sekali. Aku menangis karena patah hati dan ikan bakar buatan Sarah yang lezat

"Mau makan?" tanya Sarah yang wajahnya kembali ramah seperti biasa.

Aku mengangguk penuh semangat. Mengambil piring, Eriska dan Sarah mengisi piringku dengan begitu banyak sup dan ikan bakar.

"Habiskan makanannya. Awas saja kalau tidak habis, aku pukul kamu."

Kata-kata Sarah memang kasar sebagai seorang gadis, tetapi dibalik kata-kata kasarnya itu, tersimpan perhatian untukku. Eriska dan Sarah membawa makanan ke ruang tengah. Makan malam bersama beralaskan tikar di lantai, merasakan khas orang-orang desa yang makan bersama dengan kesederhanaan.

Baru dua malam ini aku menginap di sini, aku merasakan sebuah ikatan yang mulai terbentuk. Aku yang tidak begitu dekat dengan Rio, laki-laki di sebelahku ini sebenarnya baik. Hanya saja berada di lingkungan pergaulan yang sama dengan Clarissa, lingkungan yang tidak baik, membuat terbentuknya diskriminasi antar kelompok. Aku selalu yang menjadi tertindas oleh Clarissa dan teman-temannya. Entah kenapa, kali ini aku sedikit memaklumi lingkar pertemanan Clarissa dan Rio yang kurang baik.

Selesai makan malam, tidak ada kegiatan apapun. Aku luangkan waktu bersantai di luar, kebetulan juga ada televisi tabung. Aku menekan remote, mengganti-ganti saluran, mencari tontonan yang menarik, tetapi tidak ada yang menarik. Membosankan sekali. Aku memilih memainkan game online di handphone. Sialnya, tidak ada sinyal di sini. Hidup di perkampungan ada enak dan tidak enaknya. Seperti aku saat ini.

Menyebalkan sekali. Benda persegi di tanganku ini seperti benda tidak berguna saja. Aku bosan.

Sarah dan Eriska, mereka berada di dapur, tengah mencuci piring. Clarissa senang sekali mengurung diri di kamar, juga Ryan dan Rio yang masih di kamar. Mereka sedang berduaan kah? Aku selalu saja mempunyai pikiran jahil.

"Membosankan."

Aku telentang di lantai beralaskan tikar, menatap langit-langit atap. Memikirkan kejadian kemarin malam dan perkataan yang pernah Kakek Julian katakan padaku.

'Kamu sama seperti Irene, bisa merasakan hawa jahat, kegelapan yang mendalam. Entah itu manusia atau sesuatu yang jahat.'

'Lalu Kek, sesuatu yang keluar dari tubuhku itu apa? Aku melihatnya seperti sebuah rantai yang bercahaya.'

'Irene meninggalkanmu sebuah kenang-kenangan, yang kelak akan bisa kamu gunakan untuk membantumu. Kamu yang begitu payah dalam membentuk kekuatan Magis, dengan kenang-kenangan yang Irene berikan padamu. Noah, kamu pasti bisa menjadi Spirit Magis terhebat seperti ayah dan ibumu.'

Entah apa yang di maksud Kakek Julian, aku tidak begitu mengerti dengan apa yang terjadi dengan tubuhku ini. Saat itu, perasaanku tidak enak. Seperti sesuatu yang gelap, kebencian yang mendalam bagaikan air bah gelap yang mengalir. Teriakan keputusasaan. Aku seperti melihat Ryan dari kejauhan, Ryan tenggelam di dalam air yang berwarna merah darah. Saat itu juga aku bergegas ke rumah terbengkalai milik Yuki.

Sampai aku dan Ryan kembali ke rumah. Dia tidak berbicara apapun padaku, seakan ada sebuah rahasia yang di tutupinya. Mungkinkah tentang sosok wanita bergaun merah itu yang selalu menghantui Ryan?

Selain Ryan yang melihat wanita bergaun merah itu. Aku juga bisa melihatnya dan di saat itu, untuk pertama kalinya hal istimewa yang aku miliki. Seperti sebuah kekuatanku terbangun dari tidur panjang.

Aku yang hanya melamun sendirian di ruang tengah. Pintu kamar laki-laki terbuka. Ryan keluar dari kamar, membawa perlengkapan mandi.

"Ini sudah jam berapa? Kamu baru mandi? Ternyata laki-laki tampan seperti kamu, ternyata bau."

"Aku mau berendam. Memang kamu, bodoh dan payah," kata Ryan, datar.

Menyebalkan sekali. Kalau bukan sahabatku, sudah aku lempar Ryan ke planet lain. Apa salahnya aku bertanya, karena Ryan membawa perlengkapan mandi, ternyata cuma mau berendam. Tunggu, berendam? Sepertinya asik juga.

"Berendam dimana?"

"Di dekat kolam ikan, di sana ada kolam air untuk berendam."

"Aku boleh ikut?" tanyaku semangat.

"Tidak. Mana mau aku mandi bersama laki-laki? Aku masih normal."

Baru saja aku memikirkan hal aneh, Ryan sudah ikut-ikutan berpikiran aneh saja. Aku kembali merebahkan badanku di lantai. Masa bodoh dengan sahabat super menyebalkan ku itu yang sudah menghilang di balik pintu.

Aku kembali bosan, hampir memejamkan mataku, saat aku mendengar suara keras Clarissa di dalam kamar.

"MAMA TIDAK PERLU MEMPERHATIKAN AKU. AKU BAIK-BAIK SAJA DI SINI. URUS SAJA PUTRI MAMA YANG SEDANG SAKIT ITU!"

Pintu kamar perempuan terbuka. Aku dan Clarissa saling pandang satu sama lain, memandang aura permusuhan. Tapi aku melihat di dalam sorot mata gadis angkuh itu yang berbeda, seperti ada luka yang mendalam. Sama seperti saat aku membenci Paman dan Tante. Clarissa keluar dari rumah, menutup pintu begitu kencangnya. Semoga saja pintu itu tidak hancur, karena sepertinya suasana Clarissa sedang tidak baik.

Clarissa seharusnya bersyukur karena mempunyai ibu sambung yang sayang, punya kakak laki-laki yang melindunginya. Meski, ada satu fakta yang menjadi rahasia umum. Clarissa mendapat perlakuan buruk dari ayahnya, semua itu hanya tipuan. Aku yang hanya anak tunggal dan sudah tidak memiliki orang tua, ingin sekali disayang oleh ayah dan ibu, jika mereka masih hidup. Padahal, Tante Selena orang yang baik sekali. Meski aku selalu menjadi bahan bullyan Clarissa, Tante Selena selalu baik padaku. Aku bisa merasakan kehangatan sosok seorang ibu dari Tante Selena.

Mungkin Tante Selena tidak bisa menggantikan sosok ibu kandung untuk Clarissa. Aku selalu melihatnya, sorot mata terluka dan penuh kegelapan yang hampir menenggelamkan Clarissa.

Apa setiap manusia memang memiliki sisi tergelap nya?