(Ryandra Lim)
Andi mengantar kami ke sebuah rumah kosong dan terlihat ada bekas sisa-sisa kejadian mengerikan di rumah ini. Saat kakiku melangkah masuk ke dalam rumah kosong ini, suasana mencekam dan aku bisa merasakan ada jejak-jejak magis di dalam rumah ini. Isi perabotan berantakan dimana-mana.
Aku melirik gadis kecil yang berada di samping Noah, mata gadis kecil itu berkaca-kaca.
"Jangan sedih. Kakak mau jadi teman Yuki, jadi Yuki tidak sendirian lagi." Noah mensejajarkan tingginya dengan Yuki. Menghibur anak kecil itu.
"Terima kasih. Kak Noah orang yang baik." Senyum ceria kembali menghiasi gadis kecil bernama Yuki itu.
Berkeliling di dalam rumah ini, mencari petunjuk sekecil mungkin, sebagai petunjuk utama. Profesor Sonata mengajari mahasiswa beberapa trik kecil sebagai Spirit Magis, selain mengandalkan kekuatan magis dan spirit, melainkan juga dalam mengintai dan mencari informasi.
"Ryan, aku menemukan jejak hitam di bawah dinding," kata Sarah yang memanggilku.
Aku mendekati Sarah, melihat sesuatu yang di tunjuk gadis berambut pendek sebahu itu. Benar apa yang dikatakan Sarah, ada jejak hitam yang menempel di dinding. Aku bisa merasakan jejak magis.
Masih belum cukup, mendapatkan informasi yang masih minim dan jejak yang sulit aku temukan. Karena sudah menjelang sore.
Andi mengantar kami ke rumah yang telah disediakan untuk kami beristirahat. Tidak perlu mengendarai motor, kami berjalan kaki menyusuri perkampungan yang tidak begitu ramai.
Noah, si bodoh itu cepat akrab sekali dengan anak kecil. Gadis kecil bernama Yuki itu disepanjang jalan ikut bersama kami. Tepatnya, anak kecil itu ikut bersama Noah. Genggaman tangan mereka bahkan sulit dilepas.
Ditengah jalan, kami terhenti sesaat oleh beberapa warga desa yang berkeluh-kesah pada Andi yang sebagai Kepala Desa. Beberapa permasalahan seperti kerusakan di sekolah, satu-satunya dasar non magis yang dimiliki desa ini. Karena sebagian warga desa juga ada yang non magis, non magis dan spirit magis saling berdampingan satu sama lain.
Kami kembali melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda. Di ujung sana, ada sebuah rumah minimalis. Andi mengajak kami masuk ke dalam rumah. Rumah ini terbilang sederhana dan khas rumah-rumah di perkampungan, alasnya bukan dari kramik, tetapi seperti alas yang di cor. Saat masuk, dihadapkan dengan ruang tamu dan ruang keluarga yang menyatu. Ruang ini cukup luas, di depan pintu masuk ada meja dan kursi panjang, di sudut ruang ada televisi tabung yang sudah lama sekali aku tidak pernah melihat lagi televisi jadul seperti itu. Ada tiga ruang, dua kamar dan satu sebagai gudang menyimpan barang-barang.
Aku, Noah dan Rio tidur di kamar depan, sedangkan para gadis-gadis di kamar sebelah. Di balik tirai ada dapur dan dua kamar mandi. Andi membuka pintu belakang rumah yang berhadapan dengan kebun dan di samping ada sebuah kolam ikan yang cukup luas. Banyak ilalang dan tanaman tinggi di sepanjang pinggir kolam. Andi menunjuk sebuah bangunan di seberang kolam ikan.
"Itu tempat pemandian. Kalau kamu mau berendam di sana, bisa, memang sedikit dingin. Tapi lumayan buat menyegarkan badan."
Setelah berkeliling sebentar, Andi kembali pamit pulang. Aku masuk ke dalam kamar, menyimpan barang bawaan dan masalah kembali terjadi. Di kamar ini hanya ada dua kasur. Satu kasur berukuran besar dan satu berukuran kecil. Noah menolak mentah-mentah berbagi ranjang bersama Rio.
"Aku tidak mau berbagi kasur dengan dia." Noah menunjuk Rio dan menatap sengit, begitu juga laki-laki pendek, berkulit putih itu juga menatap sengit Noah.
"Siapa juga yang mau satu kasur sama kamu."
Wajar jika Noah tidak mau berdekat-dekatan dengan temannya Clarissa. Gengnya Clarissa yang selalu menjadi alasan Noah selalu mendapat perlakuan tidak baik oleh mereka. Rasa sakit hati itu tidak akan pernah bisa hilang, sama seperti aku dulu. Pintar, jenius dan populer tidak akan membuatku lebih baik, malah semakin banyak orang-orang yang membenciku, hingga membuatku mengalami depresi saat itu.
Dari pada mereka ribut, terlebih aku lebih tahu sifatnya Noah seperti apa dan Noah lebih dekat denganku dari pada Rio. Jadi aku putuskan Rio tidur di kasur yang lain, biarkan aku merana, tidur di samping si bodoh ini.
Tidak tahu apa yang harus aku lakukan hari ini. Hanya berdiskusi dengan yang lainnya, meski pada akhirnya hanya ada keributan antara Noah, Sarah dan Clarissa, Rio. Aku putuskan mandi sore dan setelah aku segar bugar. Lebih baik, aku memutuskan untuk kembali ke rumah itu lagi. Menyelidiki kasus yang berhubungan dengan Necro, korban yang kemungkinan menjadi mayat hidup.
Selain itu, aku sudah lama sekali tidak merasakan aroma pedesaan. Dulu, sebelum nenek meninggal, aku sering mengunjungi rumah nenek yang berada di desa. Rumah nenek yang paling bagus diantara rumah-rumah di desa. Aku sering bermain ke rumah nenek, menikmati kedamaian pedesaan yang sangat sunyi dan tenteram. Tidak ada hiruk-pikuk perkotaan yang bising dan polusi.
Aku keluar dari kamar, bersamaan Eriska juga keluar dari kamar perempuan. Gadis yang aku cintai itu sangat cantik, mengenakan jins hitam dan Hoodie merah muda yang terkesan feminim dan manis. Rambut panjang Eriska diikat ekor kuda dan hanya menyisakan poni yang ditata rapih. Eriska selain memiliki sifat lemah lembut, juga seseorang yang memperhatikan penampilan.
"Mau kemana Ryan?" tanya Eriska.
"Aku mau selidiki rumah itu lagi. Mau ikut?"
Aku menawarkan Eriska, pergi ke rumah itu lagi, gadis itu mengangguk. Sesampainya di rumah kosong. Aku merasakan hawa yang tidak nyaman, apa lagi pada malam hari. Aku bisa merasakan aura magis yang sangat begitu kuat di dalam rumah itu.
"Kenapa?"
"Tidak ada. Kita masuk."
Pintu rumah kosong ini tidak dikunci, jadi aku bisa masuk ke dalam, disusul Eriska di belakangku. Suasana di dalam rumah cukup gelap, hanya ada cahaya dari luar yang menerangi ruangan ini dari jendela. Beberapa perabotan ada yang rusak parah dan berantakan dimana-mana. Debu menempel di meja. Aku melihat sebuah bingkai foto kecil di meja. Seorang anak perempuan dipangkuan seorang pria dan seorang wanita di samping si pria dan anak perempuan. Mungkin ini foto Yuki bersama kedua orang tuanya.
Rumah ini tidak begitu besar, hanya saja luas, terdapat beberapa ruangan di dalamnya. Entah sejak kapan aku terpisah dari Eriska. Eriska masuk ke ruangan lain, sedangkan aku terus berjalan di lorong, hingga aku berhenti di pintu ruangan. Aku tidak tahu ruangan apa di dalamnya. Aku masuk ke dalam, di dalam ruang ini hanya berisi perabotan yang tertutup kain putih. Tidak ada yang aneh di dalam ruang ini.
Aku melihat sesuatu yang berkelip di laci meja di depanku. Melihat sesuatu yang berkrlip itu ternyata hanyalah sebuah kalung yang dihiasi begitu banyak manik-manik. Aku pernah melihat kalung bermanik-manik ini sama persis dengan kalung yang dikenakan Yuki. Mungkin ada petunjuk lagi selain kalung bermanik-manik dan jejak hitam yang berada di ruang utama. Aku membuka setiap laci meja, hingga laci terakhir, saat aku membukanya. Aku dikejutkan oleh sesuatu yang tidak ingin lagi aku lihat.
Topeng wayang berwajah manusia, kulit putih, rona bibir merah yang tersenyum dan mata seperti bulir padi. Tanganku gemetar saat memegang topeng wayang ini. Aku tidak tahu perasaan apa. Seakan ada bahaya yang tengah mengintai di sekitarku.
Tanpa aku sadar, karena aku membelakangi sesuatu. Aku berbalik dan sesosok tertutupi kain putih menerjang ku hingga aku membentur laci meja. Di balik kain putih itu, seperti ada tangan yang mencekik leherku, sangat kuat sekali sampai membuatku kesulitan bernapas.
Tanganku berusaha melepas cekikan dileher ku, tetapi tidak bisa. Aura biru menyelimuti tubuhku, tanganku terentang tepat ke arah kain putih yang mencekik ku. Seperti ada gelombang kejut, kain putih itu terpental, begitu juga cengkraman dileherku terlepas, aku bisa menghirup udara sebanyak mungkin. Melihat sosok di dalam kain putih itu tersungkur. Sesuatu yang membuatku terkejut, kain putih itu kembali mengempis, seperti tidak ada orang di dalamnya saat aku menyibak kain putih itu. Aku bisa merasakan aura magis yang begitu jahat di sekelilingku.
Situasi dalam bahaya. Aku bergegas keluar dari ruangan ini, tetapi langkah kakiku kalah cepat, pintu menjeblak tertutup. Mengurungku di dalam dengan sosok-sosok berkain putih, dengan tinggi menyerupai manusia, menyudutkan aku. Satu lawan lima sosok yang aku yakini bukanlah sosok yang hidup. Situasi ini semakin rumit.
Aku tidak ingin lagi takut dan terus berlari ketakutan seperti dulu. Kali ini aku harus berani. Tidak peduli sosok-sosok berkain putih mulai beringas mengeroyokku. Aku menghadapi sosok-sosok tak hidup itu. Aku menghindar, berkelit dan tanganku menyibak sosok berkain putih itu. Tidak ada siapa pun dan kain putih itu kembali menjadi kain putih biasa, dalam satu kali tarikan. Semua kain putih tersibak. Hingga semuanya kembali normal. Tanganku terentang ke depan, aura biru menyelimuti ku. Dalam hitungan detik, semua kain putih itu hangus menjadi debu, seperti terbakar.
Merasa sudah tidak ada bahaya lagi. Aku membuka pintu, dan disaat itu lah, aku tidak menyadari ada bahaya yang datang menghampiriku. Sesuatu bayangan hitam berlari menerjangku, hingga aku tersungkur dengan kepalaku yang membentur lantai. Rasa sakit yang tak tertahankan di kepala, membuat kesadaranku menghilang dan semuanya menjadi gelap.