Pagi ini mereka berkumpul di meja makan. Setelah mendengar nyanyian pagi ibu Kim yang merdu kedua putri itu akhirnya bangun. Seongeun sudah kelabakan karena kesiangan, tapi tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponselnya. Pesan itu dikirim oleh Chanhee, "hari ini kau boleh libur, karena aku tiba-tiba ada urusan mendadak."
Sedangkan Haewon juga mendapat pesan dari Yonghwa yang berisi, "hari ini bisakah kau mengantar Seunghan ke sekolah? Aku tiba-tiba ada urusan mendadak."
Setelah keduanya membaca pesan dari ponsel masing-masing, kini mereka saling tatap. Apa yang kedua orang itu lakukan? Urusan mendadak secara bersamaan?
Haewon mengiyakan permintaan Yonghwa, lagi pula dia telah mendapat cuti kerja. Hari ini dia hanya perlu membereskan beberapa berkas untuk dialihkan pada dokter yang menggantikannya. Dia juga bisa mengajak Seunghan bersamanya, pikir gadis itu.
Sedangkan Seongeun yang diberi libur hari ini memilih untuk membantu toko roti ibu Kim karena Haein tak bisa membantu hari ini. Anak itu sedang menyiapkan turnamen game yang sudah lama ia nantikan.
"Makanlah," ucap ibu Kim yang telah menata dua piring nasi goreng kimchi di hadapan kedua putrinya itu.
"Eomma, aku akan pergi untuk mengantar Seunghan ke sekolah lalu, aku akan pergi ke rumah sakit untuk membereskan beberapa berkas," ujar Haewon sembari menyendokkan nasi goreng kimchi ke dalam mulutnya.
"Aku akan membantu bibi di toko," ucap Seongeun setelahnya.
"Kau tak bekerja lagi Haewon-a? Dan kau Seongeun, apa hari ini tak bekerja?" Ibu Kim bertanya pada dua putrinya yang tengah sibuk melahap masakannya.
"Oh, aku lupa bilang pada eomma, kalau setelah Yonghwa melamarku aku akan fokus pada Seunghan dan mengurus rumah tangga," ucap Haewon.
"Kalau aku hari ini tiba-tiba diberi libur." Seongeun lanjut menjawab.
"Lalu bagaimana dengan pendidikanmu dan pekerjaanmu Haewon-a? Apa kau sudah memikirkannya dengan baik?" Ibu Kim kembali bertanya.
"Bukannya eomma tak mendukungmu, tapi kau yakin meninggalkan semua kerja kerasmu itu?" kata ibu Kim khawatir.
"Ya, yang dikatakan bibi benar. Aku juga kurang setuju jika Haewon harus meninggalkan pekerjaannya," sahut Seongeun.
"Bukan meninggalkan, aku hanya mengambil cuti dalam setahun. Bagaimanapun aku harus bisa lebih mengenal Seunghan dan Yonghwa kan? Setelah setahun aku akan kembali bekerja." Ucapan gadis itu hanya dibalas dengan anggukan oleh ibu Kim.
Ibu Kim memang sangat mendukung apapun yang dipilih oleh anak-anaknya dan tak pernah merasa curiga, dia percaya sepenuhnya pada anak-anaknya, tapi tidak dengan Seongeun yang sejak semalam memperdebatkan hal itu dengan Haewon. Gadis itu menatap jengah ke arah Haewon. Entah apa yang telah Lee Yonghwa itu tawarkan pada Haewon sampai gadis itu begitu tergila-gila padanya dan meninggalkan pekerjaannya hanya demi pria itu, pikirnya.
Padahal Haewon sudah berulang kali menjelaskan bahwa dirinya diberi kontrak pernikahan yang mengharuskan dirinya bekerja untuk Yonghwa menjadi psikiater pribadi Seunghan. Gadis itu juga berkata kalau dia tetap akan dibayar bahkan lebih tinggi dari gajinya selama ini.
Sejujurnya Haewon pun telah memikirkan tentang ibunya itu, bagaimana jika akhirnya ibunya tau bahwa dia dan Yonghwa hanya sebatas pernikahan kontrak? Anehnya ibunya tak bertanya banyak tentang Yonghwa, apa ibunya benar-benar tak ingin tau tentang Yonghwa atau ibunya hanya benar-benar percaya pada pilihannya?
Setelah menyelesaikan sarapan, Seongeun dan ibu Kim bersiap untuk pergi ke toko, sedang Haewon menunggu Seunghan datang. Kata Yonghwa dia akan mengantarkan anaknya itu ke tempat Haewon.
Tak lama setelah ibunya dan Seongeun pergi, bel rumah Haewon berbunyi. Gadis itu bergegas menuju pintu dan menyambut bocah kecil yang telah rapi dengan seragam sekolah dan juga tas kecilnya.
"Maafkan aku harus merepotkanmu," ucap Yonghwa.
"Tak mengapa, lagi pula sekarang Seunghan juga adalah anakku kan?" kata gadis itu sambil tetap fokus pada Seunghan.
"Kalau begitu aku pergi dulu." Yonghwa menunduk mendekatkan kepalanya ke arah Haewon, dan memberinya sebuah kecupan di pipi, lalu melakukan hal yang sama pada Seunghan.
Perlakuan Yonghwa yang tiba-tiba itu membuat mata Haewon membulat, gadis itu kaget. Tapi, Yonghwa sempat berbisik di telinganya, "kita harus bersikap layaknya pasangan. Maaf, tapi aku akan menjelaskannya nanti."
Setelah itu Haewon berdiri sambil menggandeng Seunghan, dan mereka melambaikan tangan pada Yonghwa. Mereka tetap berdiri di sana, sampai mobil yang di kendarai oleh pria itu menjauh.
"Seunghan-a… apa anak manis mama ini sudah sarapan?" tanya Haewon pada Seunghan. Gadis itu sebenarnya tengah mengalihkan pikirannya dari kejadian yang barusan. Entah kenapa jantungnya kini berdegup kencang.
"Eung, Seunghan makan roti panggang dan telur," ucap Seunghan.
"Hari ini mama akan mengantar Seunghan ke sekolah. Mama harus bersiap sebentar, bisakah Seunghan menunggu mama?" kata Haewon lembut, yang langsung di hadiahi anggukan semangat oleh Seunghan.
Setelah mengambil tasnya dan memasukkan beberapa barang penting, akhirnya Haewon dan Seunghan pergi ke halte bus sambil bergandengan tangan. Betapa bahagianya bocah itu hari ini, dia bahkan tak berhenti tersenyum.
"Apa Seunghan sangat senang hari ini?" tanya Haewon sambil mengayun-ayunkan tangannya yang menggandeng tangan mungil Seunghan.
"Ya, Seunghan senang bersama mama." Ucapan bocah kecil itu membuat hati Haewon menghangat.
Tak lama mereka menunggu, akhirnya sebuah bus datang. Mereka menaiki bus itu dan pergi ke sekolah Seunghan. Bocah kecil itu benar-benar mengekspresikan kebahagiaan. Sekarang dia tengah menggoyangkan kakinya yang menggantung saat duduk di kursi bus. Hal itu membuat Haewon gemas padanya.
Mereka akhirnya turun di halte dekat dengan sekolah Seunghan, dan berjalan sedikit menuju gerbang sekolah. Saat ini Haewon akhirnya paham mengapa Seunghan sangat senang hari ini. Rupanya hampir semua murid datang bersama ibunya. Beberapa juga datang diantar oleh ayah dan ibunya.
Haewon merunduk, menyamakan tingginya dengan Seunghan. Gadis itu membuka tangannya dan memberikan Seunghan sebuah pelukan. Lalu dia mengecup pipi tembem bocah itu dan sedikit merapikan rambutnya.
"Hari ini bersenang-senang lah di sekolah, mama akan menjemput Seunghan nanti siang. Dengarkan perkataan guru ya." Haewon sekali lagi mengecup pipi Seunghan dan kali ini dibalas sebuah kecupan oleh bocah itu.
Seunghan berlari dengan semangat memasuki gerbang sekolah, di sana gurunya telah menunggu. Sesekali bocah itu membalikkan badannya dan melambaikan tangan pada Haewon.
Sementara itu, Yonghwa dan Chanhee kini tengah berhadapan dengan suasana tegang di hadapan kakek mereka. Semalam, setelah kembali dari kediaman keluarga Haewon, Yonghwa memutuskan untuk memberitahu kakeknya tentang pernikahannya yang akan dilangsungkan dalam waktu dekat.
Kakeknya yang tengah menonton drama malam itu terkejut mendengar perkataan Yonghwa yang tiba-tiba. Antara percaya dan tak percaya, cucunya itu mengatakan bahwa dirinya akan menikah. Oleh sebab itu akhirnya sidang pagi ini dilaksanakan.
Kakeknya bernama Lee Myungho, pemilik Hwa Group sekaligus satu-satunya orang yang telah membesarkan Yonghwa semenjak kepergian kedua orang tuanya. Itulah sebabnya kakeknya merasa tak percaya pada Yonghwa yang selalu berkata bahwa dirinya tak akan menikah.
Pagi ini pun kakeknya ikut mengantarkan Seunghan ke rumah Haewon untuk melihat gadis yang akan dinikahi oleh Yonghwa. Itulah mengapa Yonghwa harus melakukan hal itu pada Haewon tadi pagi. Dia harus memberi kesan yang baik pada kakeknya itu agar dia percaya padanya.
"Apa kalian berdua tengah bersekongkol?" tanya Myungho pada kedua cucunya itu.
"Mana mungkin aku akan membohongi kakek seperti Yonghwa. Kakek tau, aku juga terkejut saat Yonghwa melamar gadis itu semalam," ucap Chanhee.
"Apa kau sungguh melamar gadis itu Yonghwa-ya?" Myungho masih tak percaya pada cucunya itu.
"Ya, aku melamarnya. Namanya Kim Haewon, dia seorang psikiater anak. Latar belakang keluarganya sederhana, dia dibesarkan oleh ibunya dan memiliki seorang adik laki-laki bernama Haein. Dia adalah gadis dengan latar belakang keluarga yang baik." Yonghwa menjelaskan.
"Lalu sudah berapa lama kamu mengenalnya?" tanya Myungho.
"Apa kakek masih belum percaya? Akankah Seunghan memanggilnya dengan sebutan mama jika gadis itu adalah orang asing?" Kali ini Yonghwa memakai Seunghan sebagai alasan.
Myungho akhirnya berpikir bahwa cicitnya itu bahkan tak mau banyak berbicara pada dirinya, Yonghwa, dan Chanhee. Lalu bagaimana bisa gadis itu mengambil hati Seunghan sampai-sampai cicitnya itu memanggilnya dengan sebutan mama.
"Kau tak menikah dengannya hanya karena Seunghan kan?" Myungho kembali bertanya.
"Tentu hal pertama yang kupikirkan adalah Seunghan, tapi seiring berjalannya waktu aku mulai menyadari bahwa aku juga menyukai gadis itu," terang Yonghwa yang kini telinganya memerah. Myungho yang melihat hal itu tau bahwa cucunya itu tak sedang berbohong.
"Yonghwa… kau benar-benar yakin akan menikah gadis itu?" Sekarang giliran Chahee yang bertanya.
"Ya, kenapa tak yakin? Bukankah Hyung juga tengah dekat dengan seorang gadis?" ucap Yonghwa balik menyerangnya.
"Apa? Kau juga tengah dekat dengan seorang gadis Chanhee-ya? Kalian ini tidak sedang membohongiku kan?" Myungho semakin ragu.
"B-bukan begitu, ya, a-aku juga dekat dengan seorang gadis, t-tapi kan dia adalah sekretarisku." Chanhee mengelak.
"Sekretaris macam apa yang diperlakukan seperti pacar?" Yonghwa kembali menyerang Chanhee.
"Hah sudahlah, kalau begitu aku tak mau tau, aku harus bertemu dengan calon menantuku besok malam. Kalian berdua bawalah kedua calon menantuku." Myungho yang pusing dengan keributan kedua cucunya itu akhirnya memutuskan untuk keluar dari ruang kerja Yonghwa.
Setelah kakek mereka keluar, akhirnya ketegangan di antara mereka mencair. Namun kini keduanya saling menatap dengan tatapan jengah. Mau tak mau Chanhee harus memikirkan bagaimana cara menyatakan perasaannya pada Seongeun.
"Hyung… satu kosong," ledek Yonghwa.
"Karena mu aku harus berpikir bagaimana caranya membawa Seongeun." Chanhee menghela nafas berat.
"Nyatakan saja perasaanmu," ucap Yonghwa enteng.
"Ya! Kau bahkan bersembunyi di balik kontrak," Chanhee meninggikan suaranya.
"Ya! Tak bisakah kau diam?" Yonghwa balas berteriak, dan mereka akhirnya diam. Benar-benar seperti dua bocah yang tengah berkelahi.
"Aku harus berusaha akrab dengan Haewon," kata Chanhee.
"Ya! Untuk apa kau mendekati gadisku?" ucap Yonghwa.
"Ya! Aku ini hyungmu… mana mungkin aku akan mendekati gadismu! Aku hanya ingin berteman dengannya agar bisa lebih dekat dengan Seongeun."
Entahlah ada apa dengan mereka, rasanya seperti melihat dua bocah yang tengah bertengkar karena barang berharga miliknya di usik. Akhirnya mereka saling menghela nafas berat secara bersamaan.
Kali ini Yonghwa menyesali perbuatannya semalam. Maksudnya dia ingin memberitahu kakeknya agar dia tak dipaksa untuk mengikuti kencan buta. Ternyata malah berakhir dengan seperti ini. Bagaimana cara dia mengatakan hal ini pada Haewon, pikirnya.
Sedangkan Chanhee kini tengah memikirkan cara untuk membawa Seongeun ke hadapan kakeknya. Sejujurnya dia telah jatuh cinta pandangan pertama pada Seongeun. Menjadikannya sebagai sekretaris hanyalah sebuah alasan agar dia bisa lebih mengenal gadis itu.
Sementara kedua orang itu tengah pusing memikirkan keadaan mereka, di tempat lain Haewon tengah menunggu Seunghan di cafe dekat sekolahnya. Gadis itu tak mungkin pergi terlalu jauh, karena hari ini sekolah Seunghan hanya setengah hari. Dia mengambil ponselnya dan mencari sebuah room chat dengan nama Lee Yonghwa di sana.
"Aku sudah mengantarkan Seunghan ke sekolah, sekarang aku sedang menunggunya di cafe dekat sini. Apa urusanmu berjalan lancar?" ketik gadis itu.
Ponsel Yonghwa berbunyi, dia melihat layar dan mendapati nama Haewon tertera di sana. Pria itu membuka pesan dari Haewon. Dia sedikit tersenyum mengingat apa yang ia lakukan pagi tadi.
"Urusannya sedikit sulit, tapi aku bisa menjemputmu dan Seunghan jam sebelas siang nanti. Terima Kasih sudah mengantar Seunghan hari ini chagi," balas Yonghwa.
"Apa kita boleh memakai kata 'chagi'?" dia buru-buru mengirim sebuah pesan lagi pada Haewon.
Di cafe, Haewon kini sedikit terperanjat melihat pesan yang masuk dari Yonghwa. "Aku tak salah bacakan? Pria itu memanggilku apa? Chagi? Kata-kata yang digunakan untuk sepasang kekasih? Sayang? Hah? Aku tak sedang bermimpikan?" batin Haewon. Lalu kemudian pipi gadis itu memerah dan terasa panas mengingat apa yang terjadi pagi tadi.
"Ya, tentu saja. Mulai sekarang kita bisa saling memanggil dengan sebutan chagi," ketiknya. Bagaimanapun Haewon berusaha agar tampak biasa saja, tetap saja pipi merah gadis itu bisa mengungkapkan segalanya.
"Aku akan segera pergi ke sana, tunggu aku chagi." Kali ini telinga Yonghwa lah yang memerah.
Kedua orang itu secara tak sadar saling jatuh cinta, tapi saling bersembunyi di balik kata pernikahan kontrak.
"Aku harus pergi menjemput Seunghan dan calon istriku," kata Yonghwa sembari bangkit dari sofa dan mengambil jasnya.
Sedangkan Chanhee masih terdiam di sana dengan pikiran yang sama, sebelum akhirnya pria itu juga bangkit dari duduknya dan pergi ke sebuah tempat.
Yonghwa mengendarai mobilnya menuju cafe yang dikatakan oleh Haewon, sesekali pria itu menutupi wajahnya. Dia masih tersipu jika mengingat kembali kejadian tadi pagi dan isi chatnya dengan Haewon.
Sekarang pria itu sedang bertanya pada dirinya sendiri, apa dia benar-benar jatuh cinta pada gadis psikiater itu? Ataukah dia hanya terbawa perasaan? Dia kembali mengingat tujuan utamanya membuat pernikahan kontrak dengan Haewon. Ya, semua ini hanya untuk Seunghan.
Namun, siapa yang tau tentang hati seseorang? Bukankah cinta tumbuh karena terbiasa? Kedepannya akankah mereka hanya sebatas kontrak ataukah hati ikut terlibat? Hanya tuhan yang tau bagaimana takdir membawa mereka. Katanya kedua insan dengan benang merah tak akan bisa dipisahkan sekeras apapun kamu berusaha. Apakah mereka termasuk dua orang yang terikat benang merah?