"Biar Qonin yang cuci piring kotornya, Pak," ucap Qonin mengambil alih berdiri di wastafel, lalu dia mengambil piring bapaknya dan mulai mencuci, sesekali dia melirik Darman untuk mengajukan pertanyaan.
Darman tersenyum, dia masih disamping Qonin untuk mencuci tangannya, "Kaki bapak baik-baik saja, kamu jangan mencemaskannya. Masalah pemuda itu bapak juga tidak tahu."
Darman menjelaskannya tanpa menoleh, seakan bisa menebak apa yang ingin ditanyakan Qonin. Qonin buru-buru menyelesaikan cuci piringnya, dia melontarkan pertanyaan yang membuat Darman kesusahan menjawab.
"Tapi kenapa bapak memintaku untuk mengejarnya tadi?"
Darman yang sudah berjalan menuju ruang tengah itu berhenti, dia menghela napas, membalikkan badan sambil menjawab, "Susah juga berpura-pura tenang di hadapanmu. Tunggu sampai Ibuk dan Satrio tidur, nanti Bapak akan menceritakan semua."
Qonin meringis, tidak sia-sia dia mengejar bapaknya ke dapur untuk mengetahui kejadian yang lebih mendetail sore tadi.
"Cerita masalah apa, Pak?"
Ekspresi Qonin berubah seketika, dia mengulum mulutnya saat Narti masuk dapur langsung bertanya untuk menanggapi jawaban Darman.
"Haha ... itu Buk!!" Darman panik plus kaget dengan kedatangan Narti, dia melirik Qonin untuk meminta bantuan.
"Itu Buk, tadi Bapak hari ini tersandung di trotoar waktu perjalanan pulang ke rumah, tapi tenang kaki bapak baik-baik saja," jawab Qonin lengkap agar tidak membuat Narti cemas.
"Betul begitu kan, Pak? Hehe,"
"Ahh!! Iya, yang dikatakan Qonin benar Buk. Ha ha ha!" Darman tertawa garing justru memperlihatkan sesuatu yang disembunyikannya, terbukti dengan pandangan Narti yang menaruh curiga , Narti pun menyilangkan tangan.
"Bapak bohong!! Jangan dikira Ibuk tidak hafal perilaku bapak ketika berbohong," timpal Narti sambil menyipitkan mata, dia percaya ada sesuatu yang dirahasiakan darinya.
Qonin dan Darman segera menutup mulutnya rapat-rapat, tawa mereka seketika terhenti digantikan hawa mencekam yang didominasi oleh Narti.
"Bapak menyerah," ungkap Darman menghela napas, lalu dia bertanya, "Satrio mana, Buk?" Darman berencana untuk membagi ceritanya dengan Satrio juga.
"Dia keluar Pak, katanya ada kerja kelompok dengan temannya," Narti mencuci piring bekas dia makan, menjawab pertanyaan suaminya.
"Kebetulan sekali, ayo ikut Bapak untuk mendengarkan ceritanya," Darman sedikit lega mengetahui Satrio keluar, lalu dia berjalan menuju teras rumah untuk mencari semilir angin.
Qonin dan Narti bergegas mengikuti Darman, mereka berdua sama tidak sabarnya mendengar cerita Darman.
"Ini tentang apa sih, Pak?? Kenapa harus disembunyikan segala bikin Ibuk penasaran saja!!" Narti sudah duduk di 'Amben', kursi yang terbuat dari bambu. Dia duduk tepat di sebelah Darman, sedangkan Qonin memilih duduk di bawah depan kedua orang tuanya.
"Sabar Buk, ini bapak mau cerita. Jadi begini, Bapak jualan koran seperti biasa, ketika sore tiba ada seorang pemuda misterius ingin membeli semua koran bapak,"
"Alhamdulillah!! Masih ada orang baik juga ternyata, terus kenapa bapak bisa tersandung?? Ibu tebak, apa saking bahagianya bapak dapat rezeki banyak ingin segera pulang dengan berlari," Narti memotong ceritanya Darman.
"Aku rasa tidak begitu Buk, aku tadi menyaksikannya sendiri dan tahu persis perasaan Bapak seperti orang sedih kehilangan hartanya," Qonin menanggapi perkataan ibunya yang beda pemikiran.
Mereka berdua balik menatap Darman untuk mencari titik terang cerita yang sebenarnya, "Kalian itu, bapak belum selesai bercerita juga sudah berasumsi."
Darman menggeleng melihat kelakuan anak dan istrinya, sebelum dia mulai bercerita lagi, dia melihat keadaan sekitar dan dirasa aman ketika tetangga kanan kirinya belum pulang dari tempatnya bekerja. Darman pun mengeluarkan amplop coklat yang sangat tebal dari saku celana yang dia pakai.
"Pemuda misterius tadi membayar dengan semua uang yang ada di amplop ini. Bapak keberatan merasa aneh saja ada pemuda yang memberikan uang sebanyak itu dan belum tahu motif serta darimana asal-usulnya. Jadi bapak sangat panik, ketika mau mengembalikannya lagi ... eh pemuda itu justru kabur entah kemana," beber Darman.
"Ohh pantas saja bapak memintaku untuk mengejarnya, iya ya Pak!! Motif pemuda itu apa?? Dia siapa?" Qonin bertanya sambil mengingat kembali postur pemuda misterius dengan pakaian serba hitam tadi sore.
"Gawat juga ya, Pak. Jangan-jangan dia perampok lagi?? Ya ampun pak, gimana ini? Pak ... pak buang saja uang itu agar tidak membawa sial di keluarga kita!!" pekik ketakutan Narti, seperti biasa prasangka buruknya lebih dulu muncul dan jeleknya lagi diungkapkan secara berlebihan.
"Tenang dulu Buk!! Jangan berpikiran yang bukan-bukan, uang ini bapak simpan saja dulu dan berusaha mencari pemuda misterius ini," timpal Darman.
Qonin yang mengamati amplop dengan seksama itu meraihnya, lalu mengernyitkan dahi.
"Apa yang tertulis disini!!" seru Qonin membuat kedua orang tuanya menatap Qonin, dia pun segera membaca tulisan di atas amplop tersebut.
'Pak, Maafkan perbuatan lampau saya yang membuat Pak Darman menjalani hidup seperti saat ini. Saya tahu seberapa banyak uang yang saya berikan tidak akan mampu membalikkan waktu, jadi tolong terima uang pemberian saya untuk membantu mengurangi rasa bersalah saya, meskipun itu hanya sedikit.'
Qonin membolak-balik lagi amplop yang dia pegang, mencari informasi lebih pemuda misterius itu. Namun, dia tidak menemukannya sema sekali.
"Alhamdulillah, rezeki Pak!!! Ternyata orang baik masih ada di muka bumi ini," ungkap Narti dengan penuh haru, amplop yang ada di tangan Qonin dia rebut dan melihat isinya dengan mata berbinar betapa banyak uang yang dia terima selama hidupnya ini belum pernah pegang, maupun membayangkannya sekalipun.
"Tapi Buk, pemuda itu siapa? Dan kesalahan apa yang dia perbuat? Kenapa dia tidak minta maaf secara langsung?? Aneh, padahal dia mengenal bapak, tapi kenapa harus bersembunyi seperti itu?" Qonin sebaliknya, dia tidak merasa senang ketika dia melihat bapaknya masih diam belum berkomentar, dia berharap Darman setuju dengannya.
"Kamu itu bagaimana sih, Nin?? Pemuda itu sudah mempunyai itikad baik ingin meminta maaf, yang seharusnya kita lakukan adalah menerima itikad itu. Benar begitu kan, Pak?" Narti mencari pembelaan dari suaminya.
Darman masih terdiam untuk berpikir apa yang harus dia lakukan, tanpa Narti harapkan Darman menengadahkan tangannya sambil berkata, "Buk, bawa sini uangnya!!"
Narti terkejut, dia seperti tidak rela menyerahkan uang itu ke Darman. Darman berkata lagi, "Apa yang dibilang Qonin ada benarnya Buk, bapak pikir uang itu belum jelas sampai bapak tahu siapa pemuda misterius itu. Jadi mana uangnya Buk?"
Darman memintanya tegas layaknya perintah, meskipun memintanya sambil tersenyum, Narti menuruti perkataan suaminya, dia menundukkan kepala tanpa perlawanan meletakan amplop diatas tangan Darman.
Di rumah keluarga lain yang bertepat di teras juga, terasnya sangat luas 5 kali lipat dari rumah Qonin. Rumah bernuansa gaya Eropa yang banyak memiliki jendela kaca menjadi tempat tinggal pemilik mobil jaz yang baru saja masuk ke dalam pekarangannya.
"Hah!! Sampai rumah juga. Hari ini aku lelah sekali!!" gumam Leon turun dari mobilnya.