Prang!! Bunyi sesuatu benda pecah menyambut kepulangan Leon, yaitu asbak kaca pecah tepat di bawah kakinya, lalu disusul dengan kemarahan mama Leon memecah belah suasana di rumah.
"Aku muak Mas melihatmu bergonta-ganti wanita seperti itu, sudah berapa kali aku memergokimu?? Mungkin sudah ke 99 kalinya!! Pergi kau, Mas!! Cepat pergi dari rumah ini!!" Mama Leon marah dan mulai melempar apapun yang ada di dekatnya.
Dwi mabuk parah meskipun matahari baru saja tenggelam, dia pulang dengan penampilan acak-acakkan bersama seorang wanita yang ketakutan sambil berpakaian, lalu keluar melewati Leon yang membeku menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya.
"Hei wanita!! Tutup mulutmu!!" Dwi mengatakannya dengan kepala berat, dia menunduk, mulutnya sangat bau alkohol dengan keadaan seperti sudah dipastikan ada kekerasan.
Mama Leon menangis sambil menatap penuh amarah kepada Dwi yang duduk di sofa, dia berteriak untuk melepas rasa sesak akibat sakit hati yang dikhianati berulang kali, "Argghh!! Aku capek jadi istrimu, Mas!! Ceraikan aku atau aku sendiri yang menggugatnya!!"
Kata Cerai itu memicu kebrutalan Dwi, dia berdiri dengan cepat menampar dan mendorong istrinya sampai jatuh ke lantai, "Kau wanita tidak diuntung!! Diam dan jadilah istri penurut!!"
Leon yang sudah tidak kuat menahan melihat mamanya disiksa, dia berlari menghentikan kekerasan Dwi yang hampir saja menendang mamanya.
"Hentikan Pa!!" seru Leon memasang badan untuk melindungi mamanya.
"Jangan ikut campur kau anak sialan!!" umpat Dwi, dia sudah.menampar Leon.
Leon berhasil menangkis tamparan papanya, tapi Dwi tidak menyerah dia kembali memukul dan kali ini Leon menangkap tinju papa, dia menengok untuk berbicara kepada mama, "Ma, cepatlah selamatkan diri mama!!" Leon berseru memberi kesempatan kepada mamanya untuk pergi dari hadapan Dwi yang hilang kendali.
"Tapi bagaimana dengan kamu, Leon?" Tidak dapat dipungkiri jika mama menghawatirkan putranya.
"Aku bisa mengatasinya, Ma. Cepat pergi dari sini, Ma!!" seru Leon, dia sudah tidak tahan ketika tangan kiri Dwi yang bebas memukul Leon dimana saja yang bisa Dwi sasar.
Mama Leon hanya bisa menangis melihat bobroknya hubungan antara anak dan suaminya, dia berlari dengan hati terpaksa menahan pisau kepedihan yang menikam hatinya.
Leon memastikan jika mamanya sudah aman, lalu dia menangkap pukulan tangan kiri papanya, berteriak, "Cukup Pa!! Buat apa mempertahankan pernikahan jika papa tidak pernah mau berubah. Memang harusnya cerai saja!!"
Dwi tidak bisa mendengar kata cerai, dia sangat membencinya seperti ada suatu hal yang mengingatkan luka lamanya.
Plak!! Tamparan itu berhasil mengenai pipi Leon, dia
memeganginya dengan sorot mata kecewa. Segera saja dia pergi begitu saja dari hadapan Dwi.
"Hei!! Anak sialan!! Mau kemana kau?" teriak Dwi, setelahbmengatakan itu diia jatuh pingsan diatas sofa.
Leon naik ke kamarnya lantai dua, dia membuka pintu tersebut dengan kasar lalu membantingnya.
"Argghh!!! Kenapa aku dilahirkan di keluarga sialan ini!!!" pekik Leon merutuki dirinya sendiri, dia sudah sangat bosan menyikapi kelakuan papanya yang masih saja kasar.
"Jika bukan karena mama, mana sudi aku tinggal disini!!" Leon terus menggerutu untuk meluapkan amarahnya, dia sangat berat untuk kabur dari rumah dan terpaksa dia sering kali menenangkan dirinya untuk terus bersabar dengan cara merokok.
Di sepanjang malam Leon sudah menghabiskan 10 bungkus rokok, barulah dia bisa menenangkan diri dan tidak lama dia berbaring diatas ranjang sampai tertidur.
Bunyi nyaring dari alarm ponsel membuat tidur Leon terganggu, tapi mendengar alarmnya berbunyi langsung dia paksakan duduk.
"Ahh!! Cepat sekali pagi, perasaan aku tidur baru 5 menit yang lalu," gumam Leon malas, dia berusaha terjaga dan menggelengkan kepala agar matanya mau terbuka.
Berjalanlah Leon menuju ke kamar mandi untuk bersiap ke sekolah, sekolah adalah tempat pilihan Leon kabur, meskipun sebentar dia bisa melupakan sejenak kehidupannya di rumah.
"Hiih!!! Dingin sekali hari ini!!" gumam Leon menggigil
sampai rasa kantuknya pergi, hilang seketika, dia sudah berpakaian seragam dengan cepat, lalu dia mencari lapisan terluar yaitu jaket.
Tok ... tok!! "Leon, mama boleh masuk?" Mamanya Leon
mengetok pintu, dia ingin berbicara dengan anaknya.
"Masuk Ma!!" timpal Leon dari bilik kamar, dia sendiri masih sibuk memilih jaket.
"Kamu kehilangan sesuatu? Apa yang kamu cari?" tanya mamanya terlihat panik, dia menghampiri Leon berniat untuk membantu Leon.
"Nggak, Ma. Aku lagi memilih jaket, heran kenapa semua jaket ini kelihatan usang, tidak ada yang cocok," gumam Leon.
Leon sangat dekat dengan mamanya, sehingga mamanya tahu apa yang Leon suka, benda, barang baru beli maupun pakaian, seperti jaket.
"Pakai saja jaket pemberian mama, katanya kamu suka? Lagian mama juga senang lihat kamu pakai jaket kulit itu, terlihat pas sekali di kamu," ungkap Mamanya Leon.
Leon berhenti mencari jaket, dia bingung harus menjawab apa. Dalam hatinya sedang mengalami perang batin, Duh!! Bagaimana nasib jaketku?? Apa dibuang sama wanita sialan itu? Apa yang harus aku katakan kepada Mama?
"Leon?? Apa kamu berikan lagi ke temanmu?? Anak jalanan? Anak panti? Kali ini kepada siapa kamu berikan barangmu?" Pertanyaan mamanya itu menyadarkan Leon.
"Haha!! Ehmm," jawab Leon mulai panik, dia berpikir sejenak dan berucap, "Tumben pagi ini datang ke kamar Leon?? Biasanya bertemu di meja makan. Ada apa Ma?"
Pertanyaan Leon mengecoh rasa penasaran mamanya, dia berhasil mengalihkan pembicaraan untuk tidak membahas jaket.
Mamanya menunduk dalam, tidak lama kemudian dia mengangkat kepalanya perlahan sambil menguatkan diri untuk berucap, "Leon, ayo kita kabur dari rumah ini bersama!!"
Leon sedikit kaget dengan keputusan mamanya, dia tahu betul jika kabur dari rumah itu berati siap hidup miskin, karena papanya pernah menyinggungnya. Sedangkan Leon sudah terbiasa
hidup serba ada, salah satu alasan lain Leon harus kuat bersabar menghadapi papanya adalah ini.
"Apa mama yakin?? Kita keluar hanya boleh membawa barang yang melekat di tubuh saja," timpal Leon mengingatkan mamanya.
Mamanya mulai meneteskan airmata, dia menunduk dan terisak cukup dalam sambil berkata, "Mama sudah tidak kuat, Leon. Mama sudah tidak dihargai oleh papamu."
Leon memeluk mamanya, mencoba menangkannya. Pilihan pahit itu harus dipertimbangkan betul, meskipun semua pilihan tidak ada yang manis. Tapi menurut Leon menjadi orang kaya itu sudah image-nya.
"Sabar Ma, Leon tahu sekali perasaan mama. Tunggu sampai Leon berhasil menjadi ahli waris keluarga Wijaya, saat itulah aku akan membuang papa," ungkap Leon sungguh-sungguh, tanpa dia sadar rasa sakit hati dari perilaku papanya menjadikan dia ingin balas dendam.
Pintu kamar Leon terbuka lebar, beberapa pembantu yang mulai bekerja itu tidak berani membersihkan kamar Leon, ketika mengetahui nyonya besarnya menangis.
"Apa yang kalian bicarakan?" Dwi datang secara tiba-tiba sampai membuat Leon dan mamanya kaget, mereka cemas jika pembicaraannya di dengar oleh Dwi.