"Disini kalian rupanya," ucap Namora yang datang dari arah belakang Qonin, Qonin memberi jalan sambil memberi senyum kepadanya.
"Tante,"
"Mamah," panggil Zanqi dan Qonin bersamaan, cuman beda sebutan. Lalu Zanqi meneruskannya dengan sebuah pertanyaan, "Kenapa mamah mencariku?? Bukannya banyak relasi penting di acara pesta?"
"Hah!! Orang-orang tidak berguna itu, memang seperti parasit, berani-beraninya mereka merendahkanmu seperti itu Zanqi!!!"
"Lihat saja, aku tidak akan tinggal diam!!" gerutu Namora yang masih kesal jika mengingat kejadian tadi.
"Bu Namora ... !!!" panggil Mang Asep dari kejauhan, ketika sudah di hadapan Namora dia berkata, "Dokter den Zanqi sudah datang dan kini sedang menunggu di ruang tamu, Bu."
"Baiklah, bawa Zanqi ke kamarnya Mang!!" perintah Namora.
"Baik, Bu," jawab Asep, dia dengan sigap segera berlari ke belakang Zanqi, kursi roda pun bergerak perlahan meninggalkan Qonin.
"Tunggu sebentar Mang!!" pinta Zanqi, dia segera memutar kursi roda mendekati Qonin.
Qonin terlihat menundukkan kepala karena bingung harus bersikap seperti apa dikala dirinya terjebak diantara percakapan privasi keluarga Narendra.
"Qonin, te ... rimakasih," ketus Zanqi gugup sambil memutar kursi rodanya dengan cepat dan berkata, "Ayo Mang!!!"
Qonin mengangkat kepalanya tanpa tahu melihat ekspresi Zanqi yang malu, Qonin pun tersenyum dengan perilaku Zanqi meskipun terdengar menyebalkan tapi dia lega.
Namora memperhatikan perilaku dua remaja di depannya, dia menghampiri Qonin dan berkata, "Saya sebagai mamahnya Zanqi juga mengucapkan banyak terimakasih, jika tidak ada kamu mungkin Zanqi selamanya akan mengurung diri di kamar."
"Nah ini bayaran yang sudah saya janjikan, kamu sudah boleh pulang," ucap Namora tersenyum menyerahkan amplop dari dalam dompet Louis Vuitton.
"Maaf tante, apa saya pantas mendapatkan uang itu setelah saya merusak acara penting anda," ucap Qonin mengerutkan dahi, dia sadar jika masalah besar terletak pada dirinya.
Namora menarik tangan Qonin, uang tersebut dia letakkan di telapak tangannya sambil tersenyum, "Kamu sangat berhak Qonin, jujur justru saya menyukai aksimu tadi. Saya sudah lelah berpura-pura bersikap ramah kepada mereka. Jadi jangan salahkan dirimu, ini sudah saya berikan dan kamu tahu apa artinya bahwa ...,"
"Bahwa anda tidak bisa menerima kembali barang pemberian, jika itu dikembalikan seperti menghina keluarga Narendra," ucap Qonin lancar, dia teringat perkataan sopir Namora.
"Wahh!! Luar biasa, kamu memang wanita yang sangat unik. Nah, sekarang pulanglah agar kedua orang tua tidak mencemaskanmu," Namora tahu betul menjadi orang tua, apalagi anak gadis seperti Qonin, orang tua normal pasti mencemaskannya jika malam mulai larut tapi anaknya belum pulang.
Qonin menunduk sebentar karena ucapan Namora benar, lalu dia kembali menatap Namora dan berkata, "Terimakasih Tante."
Namora mengangguk bagaikan isyarat untuk ucapan selamat malam, tidak lama Qonin berbalik, berjalan keluar rumah Namora sambil menggenggam erat amplop pemberian Namora.
"Oia, Qonin!! Saya tadi sudah perintahkan sopir untuk menghantarmu, jangan sekali-kali menolak ya!!" ucap Namora mencoba mengingatkan Qonin, aksi itu sebagai bentuk ucapan terima kasihnya.
"Baik, Tante. Saya sangat menghargainya, sekali lagi terimakasih, Tante," ungkap Qonin tidak berhenti bersyukur bisa mendapatkan uang untuk biaya sekolah Satrio besok.
Benar kata Namora sopir untuk Qonin sudah saja menunggu di depan gerbang, dia yang sudah terlihat batang hidungnya itu segera dipersilahkan masuk oleh sopir, bahkan membukakan pintu mobil layaknya Qonin adalah orang penting yang memiliki kedudukan.
"Selamat malam Mbak, masih ingat dengan saya?" Sopir Namora membuka percakapan ringan dengan Qonin.
"Saya tidak pernah lupa Pak, kalau boleh tahu siapa namanya, Pak?" tanya Qonin yang sudah berada di dalam mobil melaju pelan keluar dari pekarangan rumah Zanqi.
"Baguslah, tidak saya sangka kita bisa bertemu lagi ya mbak. Panggil saya Pak Budi," jawab Budi tersenyum, dia kembali bertanya, "Oia mbak, dimana alamat rumahmu?"
Qonin memberitahunya secara rinci, nama jalan, blok, rt, rw juga. Mereka asyik mengobrol di sepanjang jalan sampai tidak sadar tinggal 2 blok lagi sudah tempat tinggal Qonin.
"Tolong berhenti disini saja, Pak. 1 meter lagi sudah rumah saya, sayang jalannya sempit jadi mobil tidak bisa melewatinya," terang Qonin.
"Siip, misi menghantar mbak Qonin selesai. Saya langsung balik ya mbak," ucap Sopir.
"Siip juga Pak, terimakasih banyak dan hati-hati di jalan, Pak!!" Ucapan selamat tinggal Qonin disertai lambaian tangan, mobil tersebut melewati jalan di samping kanannya.
Perjalanan kembali ditempuh oleh Qonin dengan berjalan kaki, hatinya tenang ketika uang sudah di tangan, semakin dekat jarak rumahnya semakin membuatnya ingin berlari agar sampai di rumah.
"Buk!!! Pak!! Itu lihatlah mbak Qonin sudah pulang!!" seru Satrio yang menunggu di depan rumah ditemani oleh Darman, Narti yang sudah menunggu lama itu segera keluar rumah, wajah yang semula cemas berubah lega.
"Qonin!! Ibuk sangat mencemaskanmu, kenapa baru pulang?? Ayo cepat masuk rumah, ganti baju dan makan," ucap Narti sambil menggandeng tangan Qonin yang diikuti oleh Darman dan Satrio.
"Maaf Buk, tadi Qonin membantu bapak jualan koran di perempatan jalan dekat Mall sana," ucap Qonin mengambil segelas air, lalu menegaknya hingga tandas.
"Haduh!! Kami yang dirumah sangat mencemaskanmu, Bapak dan Satrio tadi sempat mencarimu disana, tapi tidak juga menemukanmu. Apa sepi sekali hari ini Qonin?"
"Iya, sepi banget Buk. Hanya 3 koran saja yang terjual," Qonin menjawab sambil melepas jaket dan ransel yang dia letakkan diatas meja.
"Iya, Buk. Bapak tadi juga begitu, tidak banyak orang yang membeli koran hari ini," imbuh Darman sambil menguyah singkong rebus dengan minuman pendamping kopi.
"Yah!! Besok Satrio tidak bisa bayar SPP dong. Bagaimana ini Pak, aku nggak mau berhenti sekolah. Satrio nggak mau!!!" pekik Satrio tiba-tiba sudah saja berdiri dari tempat duduknya dengan amarah menggebrak meja.
"Satrio tenanglah!!" Qonin ikut berdiri untuk mencoba menenangkan amarah adiknya, dia berjalan menghampiri Satrio sambil mengelus lengannya.
Namun, tidak berhasil ketika amarah Narti lebih besar dan mendominasi seisi rumah Qonin.
"Dasar anak nakal tidak tahu kondisi!! Hei cepat kemari!! Memangnya kenapa tidak sekolah, Hah!! Ibuk saja tidak sekolah juga masih bisa hidup!!" bentak Narti naik pitam melihat kelakuan Satrio.
"Iya hidup menjadi orang miskin, Satrio bosan Buk. Satrio ingin sekolah tinggi dan menjadi orang sukses," kata Satrio dengan nada tidak kalah tinggi.
"Apa kamu bilang!!! Minta ditabok sama panci ya!! Awas kamu ya!!" ungkap Narti tidak bisa sabar mendengar ocehan Satrio.
"Sabar Buk, dia masih kecil dan wajar saja jika belum mengetahui kondisi kita," Darman pun ikut meredakan amarah istrinya, ketika Qonin sudah mencoba membujuk Satrio.
"Aku punya uang!! " teriak Qoni ingat bahwa dia sudah menyelesaikan keuangan keluarganya, semua perhatian tertuju ke Qonin, dia yang mulai marah membuka ransel dengan paksa dan mengeluarkan amplop, lalu dilempar ke atas meja.
Narti melihat amplop tersebut dengan sedikit kaget, darimana Qonin bisa mendapatkan uang setebal itu. Dengan ragu Narti mengambil amplop untuk melihat seberapa banyak uangnya.
"Qonin!! Darimana kamu mendapatkan uang sebanyak ini?? Dan kenapa kamu bisa memakai baju sebagus itu?? Cepat jawab!!!" teriak Narti menggeleng tidak percaya dengan sangkaan buruk di dalam pikirannya, dia meneteskan airmata.