POV Arfan
"Baiklah, kamu boleh bantu Pak Dirman melayani para pelayat yang datang!" ucapku setelah berdiam diri beberapa saat.
"Terima kasih, Pak," sahut Intan.
Dia pun berlalu ke belakang, aku menghela nafas panjang kemudian beranjak ke ruang depan untuk menemani Mama dan Mama mertuaku.
Mereka berdua duduk di sebelah jasad Mia, istri tercintaku yang kini setelah pergi meninggalkanku dan Aleysa. Aku sudah mengikhlaskan kepergiannya demi melihat penderitaannya selama ini.
Mia yang malang, walaupun rahimnya telah diangkat beberapa tahun lalu yang membuat Mia tak bisa hamil dan melahirkan. Namun, penyakit kanker itu tetap bersarang dan menggerogoti tubuhnya.
"Pergilah sayang, Mas akan menjaga anak kita sebaiknya seperti permintaan kamu. Namun, soal keinginan kamu yang terakhir itu ... ah! Rasanya aku tak bisa memenuhinya, Mia," keluhku dalam hati.
"Pak Arfan, jam berapa Bu Mia akan dikuburkan?" tanya Pak RT padaku.
"Seperti rencana semula, Pak. Sehabis salat Zuhur ini," jawabku.
"Kalau begitu, jenazah sudah bisa dimandikan sekarang, ya. Karena satu jam lagi sudah masuk waktu Zuhur," sambung Pak RT lagi.
"Iya, Pak. Silakan!" ujarku kemudian.
Aku pun mengangkat tubuh Mia dengan dibantu oleh beberapa warga ke belakang untuk dibersihkan dan dimandikan.
Mama mertua tampak masih terpukul dengan meninggalnya putri semata wayangnya itu. Beliau menangis dalam pelukan mamaku, mereka berdua saling menguatkan.
"Arfan, Mama masih gak menyangka kalau umur Mia begitu pendek. Kasihan sekali dia," ucap mama mertua di elea Isak tangisnya.
"Iya, Ma. Arfan juga merasa sangat sedih dan kehilangan. Kasihan Aleysa harus kehilangan kasih sayang mamanya," balasku.
"Sudah, Mbak. Jangan ditangisi terus. Kasihan Mia, nanti langkahnya berat di alam sana," ingat mamaku.
Mama mertua tampak mengangguk kalau ber-istighfar berulang kali.
"Pak Arfan, silakan. Kalau mau ikut memandikan!" seru Pak RT membuatku menoleh padanya.
"Ayo Ma, kita mandikan Mia untuk terakhir kalinya!" ajakku pada kedua mamaku.
Tak lama kemudian, Mia telah selesai dimandikan dan akan segera dikafani. Tepat saat azan Zuhur bergema, Mia pun dibawa ke masjid untuk di dapatkan.
_____
"Selamat jalan, Sayang. Kebersamaan kita hanya sampai di sini saja. Semoga kamu tenang dan bahagia di alam sana," ucapku dalam hati.
Proses pemakaman Mia telah selesai berbelanja.wakyu yang lalu, para pelayat juga telah kembali ke rumahnya masing-masing.
Sekarang hanya tinggal aku, Aleysa dan Intan serta kedua mamaku. Mama mertua masih bersimpuh di seberangku, sambil menangis dia mengelus papan yang bertuliskan nama Mia.
Mama mertuaku benar-benar merasa terpukul. Aku bisa mengerti sebab hanya Mia lah satu-satunya milik Mama setelah papa mertuaku meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Sekarang dia hanua tinggal sendiri di rumahnya di Surabaya sana.
Mama mertua benar-benar sendirian, karena dia juga tak punya saudara kandung. Mama mertua juga merupakan anak tunggal dan aku kurang mengenal keluarga besar dari pihak mertuaku itu.
"Papa, kita pulang, yuk!" ajak Aleysa dari belakangku.
Aku menoleh ke belakang, Aleysa tengah berdiri disamping Intan. Melihat Intan, aku kembali teringat permintaan Mia yang terlahir kali sebelum dia makin parah dan tak bisa bicara lagi.
***
"Mas, aku merasa umurku tak.lama lagi, aku sudah tak kuat menahan sakit ini," ucap Mia saat kami sedang menikmati suasana sore di teras rumah.
"Kamu itu bicara apa, Mia. Kamu pasti sembuh, Minggu depan kita akan pergi ke Singapura untuk berobat," sahutku dengan sedih.
Mia menggeleng, tiba-tiba dia terbatuk sambil.mweingis menahan sakit di perutnya.
"Apa kamu sudah bertemu dengan Intan, Mas?" tanya Mia kemudian.
"Sudah, kebetulan kemarin bertemu di acara kantor temanku. Kamu ingat Gupta, kan?"
"Gupta? Oh, pengusaha muda yang pacaran sama orang Singapura itu, kan?"
"Heem, tapi dia sudah menikah. Kamu tahu siapa istrinya?" tanyaku.
Mia menggeleng dan dia sampai terbelalak saking kagetnya saat tahu keswbiy nama Intan sebagai istrinya Gupta.
"Intan? Mas yakin tidak salah orang?" tanyanya tak percaya.
"Iya, Mia. Mas sudah ketemu langsung sama Intan. Kami juga sudah berbincang walau tak lama," jawabku seraya tertawa.
"Ah, sayang sekali. Padahal ...."
Mia tak meneruskan ucapannya membuatku merasa penasaran. Apa yang akan dikatakannya, ke.apa dia kelihatannya ragu.
"Padahal apa, Mia?"
Mia menatapku dengan lekat, kemudian menggenggam tanganku dengan erat.
"Berjanjilah, Mas. Jika aku sudah tiada dan nanti Mas bertemu dengan Intan saat dia tidak bersama Gupta lagi. Mas harus menikahi dia!"
"Apa? Kamu akan segera sembuh. Jangan bicara yang tidak-tidak, Mia!" seruku marah.
Mia tertawa kemudian mencoba untuk berdiri, tapi rasa sakit di perutnya membuat dia tak sanggup untuk berdiri. Mia pun kembali duduk di kursi rodanya sambil tertawa kecil.
"Kamu lihat, Mas. Untuk berdiri saja aku sudah tidak sanggup, aku merasa umurku sudah tak lama lagi dan aku tak mau Aleysa jatuh ke tangan wanita yang lain. Aku mau di asuh oleh Intan. Maka dari itu, berjanjilah untuk memuji permintaanku ini, Mas!"
Aku tak menjawab pertanyaan.eintaan Mia yang dianggap aneh itu. Dia ingin aku menikahi Intan jika dia sudah tiada. Sungguh permintaan yang sulit kulakukan, mengingat aku sangat mencintai Mia. Lagi pula, sekarang Intan sudah menikah dengan Gupta.
Rasanya tak masuk akal jika mereka akan berpisah. Namun, karena Mia terus memaksa akhirnya aku pun mengangguk tanpa mengiyakan permintaannya agar dia tenang.
Aku percaya Mia akan sembuh dan keluarga kami akan kembali ceria seperti dulu lagi. Namun, ternyata apa yang dikatakan Mia menjadi kenyataan. Dia semakin parah dan akhirnya meninggal dunia. Aku juga bertemu Intan kembali dan anehnya, ternyata dia sudah berpisah dengan Gupta.
Suatu kebetulan atau memang sudah begitulah jalan yang harus dihadapi, aku juga tak mengerti. Sekarang, keinginan terakhir dari Mia terus membayangi pikiranku.
***
Aku bingung harus bagaimana menentukan sikap selanjutnya. Tak mungkin aku meminta Intan untuk menjadi istri sekaligus ibu dari Aleysa. Apalagi status dia sekarang adalah pengasuhnya Aleysa.
Aku merasa bingung sendiri, berhari kemudian aku mencoba untuk mengacuhkan keinginan Mia itu. Aku memilih menyibukkan diri dengan pekerjaan, sementara itu Mama dan Mama mertuaku telah kembali ke ruang mereka masing-masing.
Aleysa juga tampaknya telah menerima kepergian mamanya. Dia tampak nyaman menjalani hari bersama Intan. Akhirnya, aku mulai melupakan permintaan Mia. Kupikir, biarlah begini saja. Toh, keinginan Mia agar Aleysa diasuh oleh Intan sudah terkabul.
Sampai suatu malam, aku bermimpi bertemu dengan Mia. Namun, dia tak memandangku. Aku hanya bisa melihat punggung nya saja karena Mia berdiri membelakangiku.
"Mia, kamu ...."
"Kamu membuatku sedih dan kecewa, Mas!"
"Maksud kamu apa, Mia?" tanyaku bingung.
"Kamu melupakan permintaanku itu, Mas!"
Bersambung.