Bab 25
Aku pun melanjutkan langkahku, tapi langsung terhenti saat terdengar suara Aleysa kembali.
"Tapi kalau Bu Intan yang jadi mamanya, Aleysa mau."
Deg!
Hening, tak ada sahutan dari Intan. Mungkin dia sedang memikirkan jawaban yang tepat. Kuharap dia tidak salah menjawab. Angan sampai dia membeberkan rahasia kami selama ini.
"Kenapa ibu diam saja? Ibu gak mau jadi Mama aku sesungguhnya?" Aleysa kembali terdengar bertanya pada Intan.
"Papa itu sangat mencintai mama kamu, Aleysa. Lagi pula, Ibu sudah punya suami, jadi gak mungkin menikah sama Papa kamu."
Aku lega mendengar jawaban yang bagus dari Intan. Sejak dulu dia memang bisa diandalkan, kalau dulu dia tak mau memenuhi permintaan kami. Mungkin sekarang Aleysa takkan ada bersama kami.
"Bu Intan sudah punya suami? Di mana sekarang? Kenapa Bu Intan malah kerja jaga Aleysa?" tanya Aleysa bertubi-tubi.
"Suami ibu lagi kerja jauh di luar negeri. Terus kenapa ibu malah kerja jaga Aleysa. Dulu yang maksa Ibu jadi pengasuhnya siapa, hayo?" tanya Intan seraya tertawa.
"Oh, iya. Aleysa yang paksa ibu. He-he-he." Terdengar tawa Aleysa juga.
Tak lama kemudian terdengar lagi suara Intan menyuruh Aleysa untuk tidur. Aku pun bergegas berjalan ke kamarku karena sebentar lagi pasti dia akan keluar dari kamar Aleysa.
***
POV Intan
"Sudah jangan ngambek lagi. Lebih baik kamu tidur sekarang. Besok kan sekolah," bujukku.
"Iya, Bu."
Aleysa kemudian berbaring dan memejamkan matanya. Kuelus rambutnya perlahan agar dia cepat tertidur. Tak alam kemudian, dengkuran halus terdengar dari mulut Aleysa.
Aku menarik napas lega setelah melihat Aleysa yang tengah tertidur dengan lelapnya. Kebenahi selimutnya kemudian mengecup keningnya dengan penuh rasa kasih sayang.
Aku tahu sekarang hari-hari yang Aleysa lalui pastilah berat bagi anak seumurannya. Aku harus menemui Pak Arfan sekarang!
Aku pun keluar kamar dan kebetulan melihat pintu kamar pak Arfan baru saja menutup.
Tok! Tok! Tok!
Kuketuk pintu kamar Pak Arfan pelan sambil memanggi namanya. Aku mundir selangkah saat pintu terbuka dan pak Arfan muncul dengan wajah heran.
"Ada apa, Intan. Apa Aleysa sudah tidur?" tanya Pak Arfan.
"Sudah, Pak. Ehm, kalau boleh saya ingin bicara sebentar dengan Bapak," ucap Intan.
"Di ruang tengah saja," kata Pak Arfan.
Kami pun berjalan beriringan dengan posisi aku di belakang menuju ke ruang tengah.
"Duduk, Intan!" suruh Pak Arfan ketika kami sudah tiba di ruang tengah.
Pak Arfan mengambil posisi di kursi tunggal sehingga aku memilih duduk di sofa panjang.
"Kamu mau bicara apa? Katakanlah!"
"Kenapa Aleysa sampai marah seperti itu, Pak. Dia sangat takut jika sampai Bapak menikah dengan wanita lain. Maksudnya siapa, Pak?" berondong Intan dengan banyak pertanyaan.
"Oh, itu. Sebenarnya Bu Poppy teman saya hanya bercanda. Namun, Aleysa menganggapnya serius."
"Bu Poppy?" tanyaku.
"Heem, tadi waktu di acara pesta, kami bertemu dengan Bu Poppy. Dia memang suka bercanda, dia berkata kalau Aleysa akan jadi anaknya. Aleysa marah dan ngambek minta pulang sat itu juga," terang Pak Arfan.
Jadi ini semua karena candaannya Bu Poppy, walaupun aku belum mengenal bahkan belum pernah bertemu dengan wanita itu, tapi aku merasa kesak mendengar candaannya yang tak bermutu itu.
"Seharusnya, Bapak bisa memberi pengertian pada Aleysa pada saat itu, Pak. Kasihan dia, saya takut dia lama-lama merasa trauma nanti," kataku dengan sedih.
"Yah, Saya mengaku salah. Maafkan saya, ya," ucap Pak Arfan lirih.
"Eh, kenapa bapak malah minta maaf sama saya. Seharusnya Bapak minta maaf dengan Aleysa. Kasihan dia, Pak," kataku seraya tertawa.
Aku merasa sungkan melihat wajah Pak Arfan yang tampak sangat menyesal itu.
"Ya, besok pagi saya akan minta maaf dengannya. Hmm, kamu boleh beristirahat, Intan!"
Aku mengangguk kemudian beranjak ke kamar untuk tidur. Namun, sebelumnya aku melaksanakan salat isya terlebih dahulu.
***
Satu Minggu kemudian.
Aleysa sudah melupakan rasa kesalnya pada Pak Arfan. Dia sudah mau tersenyum dan biara jika ditanya oleh papanya itu.
Hari itu adalah hari Minggu. Sejak pagi, Aleysa sudah sibuk mengajak papanya untuk berjalan-jalan keluar, sementara Pak Arfan tampak ingin bersantai di rumah.
"Papa, ayo dong! Masa libur di rumah aja," kata Aleysa merayu papanya.
"Papa capek, Aleysa. Mana besok pagi-pagi sekali ada meeting dengan klien lagi," jawab papanya beralasan.
Aleysa tampak mulai cemberut. Aku yang sedang menata meja makan untuk sarapan pagi hanya mendengarkan percakapan mereka saja.
"Ih, papa jahat! Lebih penting kerjanya dari pada aku!" sentak Aleysa lalu berlari ke kamarnya.
Aku hanya menghela napas saja, pasti sebentar lagi Pak Arfan akan menyuruhku untuk membujuknya. Selalu seperti itu jika Aleysa marah atau ngambek dengan papanya.
"Intan, tolong ...." Pak Arfan tak meneruskan kalimatnya permintaan nya.
Benar, kan? Aku sudah bisa menduganya. Aku pun hanya mengangguk, lalu berjalan ke kamarnya Aleysa.
Kuketuk pintu kamarnya sambil memanggil nama Aleysa.
"Masuk, Bu!" seru Aleysa dari dalam kamar.
Kudorong pintu kamar yang ternyata aku dikunci itu. Aleysa tampak tidur dengan posisi tengkurap di tempat tidurnya.
"Anak ibu kenapa lagi, kok marah-marah terus sekarang?" tanyaku setelah duduk di sampingnya.
Aleysa membalikkan tubuhnya, wajahnya memerah dengan mata yang basah. Rupanya dia menangis tadi.
"Papa jahat, Bu. Papa udah gak sayang sama aku. Mas minta jalan-jalan aja gak dikabulkan," jawab Aleysa mengadu padaku.
Kupeluk anakku tersayang dengan hati sedih. Alyssa hanya ingin bermain dnwganpapanya yang seriap hari selalu sibuk dengan pekerjaannya. Aleysa pasti merasa kehilangan perhatian dari Pak Arfan.
Akhir-akhir ini Pak Arfan memang sekali sibuk demgan pekerjaannya. Seharusnya dia tidak boleh seperti rumah. Namun, aku tak bisa memaksa Pak Arfan untuk membagi waktu buat anaknya sedikit saja.
"Papa bukannya gak sayang, kan, tadi Papa bilang dia capek. Besok ada rapat."
"Itu cuma alasan papa aja, Bu. Masa nemanin aku ke mall capek. Papa bisa duduk menunggu aku bermimpi, gak bakalan capek, deh!"
Aku menghela napas melihat Aleysa yang bicara sambil memonyongkan bibirnya. Sebenarnya terlihat lucu, tapi aku tak boleh tersenyum apalagi tertawa. Dia bisa makin ngambek nanti.
"Bagaimana kalau jalan-jalannya sama ibu saja. Kita pergi ke mal. Kami bisa main sepuasnya, terus kita makan ayam goreng yang banyak. Gimana?" bujuku.
Mata Aleysa tampak membelalak kemudian mengangguk sembari tersenyum.
"Mau, Bu!" serunya senang.
Kalau begitu, sekarang kita sarapan. Terus siap-siap untuk pergi ke mal. Eh, tapi izin sama papa dulu, ya. Kalau boleh kita pergi," kataku lagi.
"Oke!"
Aleysa pun berlari keluar kamarnya dengan semangat. Aku mengikuti dari belakang, dan kulihat dia tengah meminta izin pada papanya.
Pak Arfan tampak melirik padaku kemudian mengangguk. Aleysa pun berseru senang sambil memeluk papanya.
Ah, anakku. Mudah sekali membuatmu tersenyum.
Bersambung.